Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tanda Jingga

27 Agustus 2020   11:33 Diperbarui: 3 September 2020   12:56 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: https://pxhere.com/

Tanda Jingga, adalah simbol kebersamaan, walaupun bukan keseimbangan sebagaimana Yin dan Yang. Tanda Jingga adalah simbol keindahan, walaupun bukan seperti pelangi sehabis hujan. Tanda Jingga adalah simbol malam, walaupun bukan seperti bintang dan bulan. Terlalu jauh dari kesempurnaan. Tanda Jingga hanyalah sebuah usaha penyatuan, yang tak tahu sampai kapan. Dan penyatuan itu ternyata hanya terjaga sepanjang lima tahun saja. Dan sesudahnya adalah sebuah perjalanan yang pincang. Tanda tanpa Jingga lagi. 

***

Waktu masih pagi, mentari baru saja beranjak menaiki bukit yang terlihat jauh dari tepi kota. Aku sudah sampai di tepi kota, dimana taman bunga tempat pusara Jingga sudah di depan mata. Aku tak mau menyebut tempat pemakaman Jingga sebagai pekuburan. Aku lebih suka menyebutnya taman bunga. Dimana bunga kamboja, bunga lili, bunga mawar dan melati mengelilingi pusara Jingga. Tempat yang selalu menghadirkan wangi di setiap waktunya. Begitu pula Jingga, tentu akan lebih tenang dalam diamnya sepanjang waktu yang terus berlalu, dalam kuncup wangi bunga sepanjang masa. 

Kudekati pusara Jingga seperti ingin menggapai langit dari atas bumi, namun tak mungkin akan sampai. Aku hanya mampu duduk bersimpuh dan menengadah ke langit, yang tiba-tiba saja mendung di pagi itu, padahal baru saja mentari menaiki bukit. Dan butir hujanpun seketika jatuh, tanpa mampu aku bendung. Rintik hujan yang jatuh bukan dari langit, tapi dari kedua mataku yang terpaksa aku pejamkan. Tapi tetap saja merembes melalui sudut-sudut kelopakku yang tak bisa kututap rapat. 

Aku termenung, dan butir hujan seakan memberi tanda kehadiranku di pusara Jingga. Tanah seperti sedikit bergetar, atau mungkin hatiku yang bergetar. Ketika kurasakan ada langkah kecil dan pelan mendekati pusara Jingga, tempatku duduk bersimpuh. Kubuka mata. Dari tepi jalan kulihat seorang gadis kecil melangkahkan kakinya yang mungil mendekat ke tempatku, di pusara Jingga. Akupun tertegun, dan segera kusapu hujan di pelupuk mataku. Semakin dekat, gadis kecil itu semakin jelas terlihat. 

Gadis kecil, berumur sekitar 4 tahun. berkulit langsat, dengan panjang rambut sebahu. Membawa sekeranjang bunga mawar dan melati. Aku semakin tertegun, gadis kecil itu, matanya kulihat seperti mata Jingga, juga dekik pipinya. Dekik pipi Jingga.  Aahh...bibir dan hidung gadis kecil..itu bibir dan hidungku...

Tiba-tiba aku ingin memeluknya. Tanda Jingga masih selalu ada...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun