Bagi Balai Arkeologi Sulut sendiri, pro kontra terhadap ide pembangunan Taman Seribu Waruga, bisa dimaknai secara positif, justru menjadi titik balik balik kesadaran masyarakat, sebagaimana yang pernah saya ulas di Kompasiana, sebelumnya. Hal ini karena, secara institusional, Balai Arkeologi Sulawesi Utara, sebagai lembaga riset, tidak memiliki kewenangan dalam pembangunan fisik, semata-mata rekomendasi hasil penelitian dan hasil analisa terhadap kondisi waruga.Â
Pendaftaran Waruga sebagai Cagar Budaya, menjadi kewenangan Tim Ahli Cagar Budaya yang bisa dibentuk oleh Pemerintah Daerah, juga dalam koordinasinya dengan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Kemendikbud, yang berkedudukan di Gorontalo. Dalam hal ini memang dibutuhkan koordinasi dan sinergi lintas instansi dan multistakleholder.Â
Pembangunan Kawasan Waruga Kuwil
Ditengah-tengah wacana itu, Pemerintah Provinsi, melalui  Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey sendiri telah meletakan batu pertama taman wisata budaya waruga di lokasi pembangunan Bendungan/waduk Kuwil Kawangkoan, Kabupaten Minahasa Utara, Kamis (13/8/2020). Peletakan batu pertama taman wisata budaya waruga, dengan alokasi anggaran Rp33 miliar yang dibangun di atas lahan seluas 3,1 hektar dengan 87 makam ini bernilai konstruktif dalam rangka pemantapan pembangunan daerah di sektor kebudayaan bahkan dapat menjadi sarana penunjang pembangunan pariwisata di Sulut (daerah.sindonews). Â
Apa yang dikerjakan Pemprov melalui Dinas  Pariwisata dan Kebudayaan, dengan menggandeng Balai Besar Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS I), tampaknya kelanjutan dari kompensasi pembangunan proyek Waduk Kuwil, yang sebelumnya menggusur dan berakibat hancurnya puluhan waruga (gempaberita).Â
Juga sebagaimana banyak diberitakan soal pembangunan waduk Kuwil di tahun 2016 itu, yang mengakibatkan kerusakan waruga, akibat terdampak pembangunan waduk.Â
Dengan Balai Arkeologi Sulawesi Utara, koordinasi dibutuhkan dalam kaidah-kaidah ilmiah tertentu yang dibutuhkan dalam proses relokasi dan pembangunan lokasi waruga yang baru. Â
Kawasan Waruga, yang akan dikembangkan sebagai destinasi wisata budaya adalah asset pemerintah daerah dan masyarakat, oleh karena itu kewenangan pemerintah daerah dan juga masyarakat Sulut untuk mengelola dan mengembangkannya.Â
Namun mengingat obyek cagar budaya itu memiliki nilai kekhususan dan juga menjadi perhatian pemerintah pusat, tentu saja diperlukan sinergitas multistakeholder dalam pelaksanaannya.
 Koordinasi antara pemerintah daerah dan unit pelaksana teknis Kemendikbud diperlukan untuk lebih memberikan tata kelola yang baik dalam hal pengembangan obyek yang diduga cagar budaya maupun yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya.Â