Perdebatan Narasi Pembangunan Waruga
Dialektika tentang waruga memang terus bergulir, seiring waktu yang terus mengalir, dan beberapa kali kebijakan pembangunan kerap kali tergelincir menafikkan keberadaan waruga, meskipun seringkali mendapat protes warga. Di satu sisi, pemerintah daerah sesungguhnya juga memberi perhatian terhadap pelestarian waruga, meski tampak terkesan hanya menggunakan cara pandangnya sendiri. Di luar itu, ada pula oknum-oknum tak bertanggungjawab juga melakukan pengrusakan waruga, seperti yang pernah terjadi pada situs waruga Keima, Kabupaten Minahasa Utara. Â
Di tengah, berbagai polemik tentang keberadaan sumberdaya warisan budaya waruga, temuan-temuan baru dan juga adanya beberapa peristiwa penghancuran waruga, Balai Arkeologi Sulawesi Utara, memviralkan ide rekayasa situs bertajuk pembangunan taman purbakala seribu waruga.Â
Dalam prinsip penyelamatan situs, ide itu dinilai sebagai ide yang spektakuler, namun dalam sisi lain, dianggap bakal mereduksi nilai sejarah dan budaya. Polemik dan perdebatanpun bergulir.Â
Wacana Balai Arkeologi Sulawesi Utara menuai pro dan kontra, namun kondisi ini sudah diduga dan sudah diproyeksikan oleh Balai Arkeologi Sulawesi Utara. Wacana atau ide pembangunan taman seribu waruga, sebetulnya memang wacana untuk memantik respon publik untuk peduli terhadap warisan budaya waruga, warisan budaya yang khas dari leluhur Minahasa.Â
Ide itu sebenarnya, melihat potensi waruga yang seringkali masih terabaikan, dan ditemukan dalam posisi atau lokasi yang tidak menguntungkan.Â
Menyatukan waruga dalam pembangunan taman 1000 waruga, sesungguhnya terkhusus bagi waruga yang betul-betul terancam kebaradaannya dan dan terancam hancur. Â
Tidak diberlakukan pada seluruh waruga yang ada. Apalagi keberadaan waruga, yang saat ini dapat dijumpai, pada umumnya juga sudah mengalami proses pemindahan. Artinya sudah tidak insitu lagi atau bukan tempat asli, awal ditemukannya waruga. (detikmanado) .Â
Tanggapan lebih tajam lagi disampaikan akademisi Universitas Kristen Indonesia (UKI) Tomohon, Dr. Denni HR Pinontoan, yang mengatakan ide Balai Arkeologi Sulawesi Utara itu, tidak tepat dalam upaya perlindungan, justru patut dipertanyakan, mengapa keberadaan waruga tidak segera didaftarkan sebagai Cagar Budaya.Â
Juga tanggapan lainnya misalnya dari  Fabian Kaloh, anggota DPRD Provinsi Sulut, yang mendukung ide tersebut, serta beberapa tanggapan lainnya (detikmanado).