Indonesia yang sangat majemuk, Indonesia yang banyak pulaunya itu disatukan oleh laut. Jadi laut adalah pemersatu Indonesia, bukan memisahkan pulau-pulau. Meski demikian, sistem pendidikan masih sangat Jawa sentris. Kita dari SD dulu diajarkan tentang "ini Budi" yang tidak dikenal ditempat lain, seperti di Atambua, yang tidak mengenal "Budi". Selain itu kami belajar batik, tapi kami tidak diajarkan tentang budaya kami sendiri yakni membuat tenun, sehingga kadang kami merasa terasing dari budaya kami sendiri.Â
Kemajemukan juga dilihat dari kemajukan Tanah dan Air. Tanah di Jawa yang subur, berbeda dengan Tanah di Nusa Tenggara Timur yang kering. Sehingga memaknai kemajemukan, juga dengan cara menjaga tanah dan air. Tidak membuang sampah plastik sembarangan. Membuat tanah tidak subur. Membuang sampah plastik ke laut, menjadi mikro plastik dan dimakan oleh ikan, lalu ikan dimakan oleh manusia. Sesungguhnya itu berbahaya bagi manusia.
Problem lingkungan adalah problem serius, sehingga Sovia dan komunitasnya, melakukan clean up lingkungan pantai di pesisir Atambua. Misi Trash Hero Belu, menuju Atambua bebas sampah, karena kami mencintai Atambua, mencintai Indonesia, mencintai kemajemukan Indonesia, mencintai Indonesia dengan menjaga tanah air kita."Jangan pernah terlelap, jangan pernah tertidur, menjaga Keindonesiaan" tutup Sovia.Â
Pengalaman menyentuh lainnya diungkapkan oleh Suster Klementia, dalam tayangan video yang ditampilkan dalam diskusi daring itu, kita bisa melihat aktivitas atau aksi Suster Klementia, mengajak anak didik umur 6-15 Tahun di Paroki Bunda Allah Santa Maria di Ponu. Pegiat pendidikan dan lingkungan ini, dengan tekun menginisiasi menanam berbagai jenis tanaman di lahan kering di Ponu, NTT di masa kemarau. Cara merawat kemajemukan, merawat Keindonesiaan, dengan cara menjaga tanah dan air di lingkungan tempat tinggalnya.Â
Baihajar Tualeka, satu dari sedikit aktivis perempuan Maluku, yang mengalami langsung bagaimana kerentanan konflik, senantiasa menguji perdamaian di Indonesia. Sehingga kemajemukan adalah ragam konteks, warisan budaya yang harus dijaga dan dipelihara. Pendidikan adalah realitas, untuk meningkatkan rasa dan kepekaan sosial, untuk menguatkan Keindonesiaan. Maluku, yang pernah mengalami konlfik, maka kita berusaha selalu merajut perdamaian dari wilayah yang tersegregasi karena konflik. Kemajemukan adalah kekayaan warisan budaya, yang harus kita jaga dan justru karenanya kita bisa merajut nilai dalam memperbaiki kohesi sosial, meskipun dampak konflik sosial itu sempat mengganggu kohesi sosial itu.Â
Namun harus diakui, dalam kehidupan sehari-hari, anak dan perempuan adalah kelompok yang paling rentan dari dampak konflik. Selain itu dalam kondisi kekinian, yakni kondisi pandemi, di banyak tempat gizi buruk mengancam anak-anak Indonesia, karena dampak orang tuanya yang kehilangan pekerjaan. Juga karena tingkat pendidikan orang tua yang sangat rendah, serta beberapa kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan juga meningkat.Â
Ketika kita bicara pendidikan informal, untuk merubah perilaku para pelaku kekerasan, maka yang perlu diintervensi oleh negara adalah bagaimana melakukan diskusi, bersama suami istri untuk pola asuh keluarga yang lebih baik, yang ramah terhadap anak. Pola asuh ini untuk meningkatkan pendidikan keluarga berwawasan gender. Jadi dalam keluarga, peran domestik seorang perempuan bukan hanya tugas istri, namun dapat berbagi dengan peran dan tugas suami atau ayah di dalamnya.
Dalam situasi pandemi, tugas seorang ibu menjadi lebih berat, karena pola asuh dan sistem pendidikan, menyebabkan tugas seorang ibu menjadi lebih berat, selain tugas domestik mengasuh anak, juga dibebani dengan pendampingan atau menjadi guru di rumah. Inisiasi dan kreativitas dalam situasi pandemi, justru banyak dilakukan oleh para ibu, sehingga memang beban lebih berat.Â
Menurutnya dalam situasi pandemi ini. Anak juga  harus belajar dari lingkungannya, anak diberi ruang untuk berpartisipasi. Bagaimana anak, bisa mengeksplorasi apa yang terjadi, dan bersama orang dewasa melibatkan partisipasi, dalam bersama memberi dukungan kepada anak. Orang dewasa berperan memberikan pendidikan tentang nilai. Anak bukan obyek, tetapi setara tentang hak pendidikan yang layak.  Anak tidak boleh terlalu terbebani dengan sistem pendidikan yang ada sekarang, karena bisa jadi membuat anak menjadi stress dan pada akhirnya tidak bahagia. Bahkan beberapa anak, mengalami ancaman terhadap kekerasan.Â
Maka dibutuhkan pendidikan yang lebih integratif. Mendesain metodologi interaksi anak, sehingga anak belajar dengan bahagia. Kreatif dan inovatif dalam pendidikan anak dalam situasi sulit. Di Maluku, memberi ruang belajar anak tentang nilai-nilai kemajemukan. Anak-anak yang tinggal di Maluku, tersegregasi, maka perlu diajarkan tentang nilai-nilai kemajemukan dan nilai-nilai toleransi, agar anak menghargai dan saling menghormati, membuka ruang-ruang perjumpaan dalam perbedaan untuk merawat perdamaian.Â
Prof Amin Abdullah, Guru Besar Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga, mengatakan pendidikan di tanah air, menghadapi situasi plural dari banyak aspek, jadi tantangan terhap kemajemukan. Pendidikan yang nalar ketunggalan, memang tidak relvan, tidak cocok untuk Indonesia yang majemuk. Sistem pengajaran di Jawa, dengan di Ambon, dengan di Atambua misalnya, memang sepertinya tidak bisa tunggal, tidak bisa diseragamkan.Â