Maka, pelestarian situs budaya atau situs arkeologi di tengah gegap gempita wisata alam, adalah upaya menjaga atau merawat identitas budaya, ini yang patut mendapat apresiasi.
Selain yang saya katakana soal dua situs arkeologi Watu Marengke dan Watu Siouw Kurur, yang terletak persis di bagian tengah atau sentra puncak bukit Warembungan, tempat obyek wisata yang dikenal Padie's Kimuwu atau Bumbungan Padi itu. Juga terdapat artefak-artefak arkeologi yang membuktikan bahwa di sekitar obyek wisata itu, kemungkinan adalah kampung-kampung kuno yang ratusan atau bahkan ribuan tahun lalu itu, leluhur Minahasa bermukim.
Tembikar-tembikar kuno, yang ditemukan di lokasi itu, bahkan dikumpulkan oleh pengembang dan pemilik Padie's Kimuwu di satu tempat, di situs tersebut, membuktikan, adanya kampung kuno yang pada masa lampau cukup padat.Â
Sayangnya, temuan itu sudah tidak insitu (tidak diketahui tempat asal pengambilan artefak). Seandainya, pada awal sebelum pengembangan obyek wisata dilaksanakan, tim arkeologi bisa melihat dan memetakan titik-titik temuan artefak itu, sehingga bisa membuat pemetaan jejak-jejak kampung kuno itu di bagian mana lokasinya dari Padie's Kimuwu.
Artinya setelah episode kampung kuno, menggunakan tembikar untuk perkakas sehari-hari, dilanjutkan dengan mengenal perkakas import, berupa keramik-keramik Cina itu.
Hal ini menjelaskan, bahwa kampung-kampung kuno di Bukit Warembungan, tempat proyek pengembangan obyek wisata, telah pernah ada sejak ratusan tahun atau mungkin bahwan ribuan tahun lalu, kampung-kampung kuno leluhur Minahasa.
Kondisi ini, bisa menjadi refleksi, dalam kerangka pelestarian budaya, pengembangan obyek wisata yang terus berpacu dengan waktu dan semakin hari semakin berkembang, perlu tetap menerapkan assessment sumberdaya arkeologi dan sumberdaya budaya yang ketat, untuk melihat potensi-potensi sumberdaya arkeologi berupa situs-situs arkeologi yang kemungkinan terdampak akibat proyek pengembangan obyek wisata. Namun, contoh kasus Padie's Kimuwu, pengembangan obyek wisata yang kini semakin viral, namun tetap melestarikan obyek situs arkeologi atau situs budaya, justru bagian integral dari pengembangan obyek wisata, perlu diberi apresiasi.Â
Namun belajar dari pengalaman ini, asesmen arkeologi perlu ditingkatkan, koordinasi dan kerjasama dengan lintas sektoral, dengan pemangku kepentingan dalam pengelolaan situs arkeologi dan Cagar Budaya perlu semakin ditingkatkan sinergitasnya. Karena dalam kaidah undang-undang, ada aturan yang mengatur soal zonasi situs arkeologi atau Cagar Budaya dalam pengembangan kawasannya. Salam Budaya...Salam Lestari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H