Artinya, ada kesadaran pihak pengembang untuk melestarikan situs budaya ditengah proyek pengembangan obyek wisata, yang tentu mengeluarkan cost yang sangat mahal.
Saya dan tim waktu itu juga sempat berbincang dengan pihak pengembang, atau yang saat ini sebagai pemilik Padie's Kimuwu. Waktu itu pemilik Padie's Kimuwu, Reinhard Wewengkang, yang kami temui saat mulai membangun jalan rintisan menuju puncak Bukit Warembungan, mengatakan, obyek situs budaya tetap dilestarikan, karena ini menyangkut warisan budaya orang Minahasa. Justru dengan jalan rintisan dan pengembangan obyek wisata nantinya, masyarakat pengunjung juga sekaligus dapat melihat situs budaya warisan leluhur Minahasa.
Di situs arkeologi yang dibangun menjadi bagian dari Padie's Kimuwu, terdapat dua tempat yang dipagari tembok, yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Watu Marengke dan Watu Siouw Kurur.Â
Bagi masyarakat yang awam terhadap pemahaman arkeologi, informasi yang diketahui hanya berdasrkan tradisi lisan atau turun temurun.
Menurut pengetahuan awam masyarakat, dua situs arkeologi itu, Watu Marengke dipercaya sebagai tempat penghormatan kepada leluhur penghulu perang, Empung Totokal.
Sementara, Watu Siouw Kurur dipercaya sebagai tempat dari Empung Siouw Kurur, Leluhur pemberi tanda kematian dan kehidupan (Kumparan.com).
Hal ini karena dalam pemahaman simbol-simbol budaya dalam khasanah arkeologi, tempat-tempat tinggi di puncak bukit, dalam masyarkat masa lampau pada episode megalitik, menandai sebagai masyarakat yang sudah memiliki organisasi kuat dan tradisi pemujaan dan ritual yang kuat. Tempat tinggi bermakna sakral, tempat bersemayamnya roh leluhur, sehingga di tempat ketinggian di puncak bukit, tentu saja pada masa lampau digunakan sebagai tempat pemujaan.
Namun, tentu saja dalam era millennial sekarang, pemahaman tentang itu dimaknai sebagai bentuk-bentuk kearifan lokal warisan masa lampau. Pelestarian dimaksudkan sebagai upaya menjaga nilai identitas dan karakter budaya masyarakat masa lampau, tidak dalam konteks pemahaman secara teologis atau secara agama. Namun dalam kacamata arkeologi dan antropologi, agama sebagai bagian dari proses budaya.