Kabupaten Minahasa, sungguh memang daerah yang indah, kaya sekaligus menakjubkan, namun juga penuh pertanyaan. Kekayaan Minahasa, bukan hanya sumberdaya budayanya, tetapi juga potensi wisata.
Dua perpaduan obyek wisata yang memikat sesungguhnya, namun juga mengundang pertanyaan, juga beberapa kecemasan. Terutama, pesatnya laju pengembangan obyek wisata, yang perlu diimbangi oleh kesadaran akan kelestarian budayanya.
Bukit Warembungan, adalah salah satu fenomena yang menarik diperbincagkan dalam khasanah pengembangan obyek wisata, juga sekaligus tentang sejauh mana kesadaran masyarakat untuk melestarikan sumberdaya budaya, terutama situs-situs arkeologi yang terdampak oleh pengembangan obyek wisata.
Saya dan beberapa peneliti Balai Arkeologi Sulawesi Utara, di awal tahun 2019, mendapat laporan masyarakat di Desa Warembungan, yakni tentang adanya situs arkeologi di tengah pembukaan lahan obyek wisata di Bukit Warembungan.Â
Sebelum Bukit Warembungan, semakin pesat sebagai obyek wisata seperti sekarang ini, sewaktu awal pembukaan lahan, pembukaan rintisan pembuatan jalan menuju Puncak Warembungan, kami sudah lebih dulu melakukan survei dan peninjauan atas laporan warga, yang juga pemuda Desa Warembungan, yang kebetulan adalah seorang pegiat budaya dan anggota organisasi masyarakat, yang sekaligus penari Tari Kabasaran, tarian tradional khas Minahasa.
Kami melakukan survei di lokasi yang saat ini dijadikan obyek wisata, bernama Padie's Kimuwu. Sewaktu pertama kali kami kesana, tempat wisata itu belum dibangun, baru rintisan jalan yang dibuka.
Namun kami cukup bersyukur, bahwa obyek situs arkeologi di lokasi puncak Bukit Warembungan, tempat yang kini berdiri Padie's Kimuwu itu tetap dipertahankan dilestarikan.Â
Pihak investor, membuat pagar keliling dari tembok dan menandai bahwa tempat itu adalah situs budaya. Kami cukup lega, bahwa pihak pengembang, memahami konteks warisan budaya leluhur, sehingga alih-alih menghilangkan, justru membangun situs budaya itu terinegrasi dengan obyek wisata.
Di luar soal pakem zonasi cagar budaya berdasarkan UU Cagar Budaya Nomor 11 Tahun 2010, di mana keletakan antara situs budaya sebagai zona inti dan obyek wisata dalam kategori zona pengembangan dan zona pemanfaatan, diatur jarak dan posisinya.Â
Namun, upaya pihak pengembang, tidak menghilangkan situs budaya, justru mengintegrasikan, atau memahami situs budaya sebagai bagian dari obyek wisata yang dikembangkan, bagi saya pribadi sebagai arkeolog sangat memberikan apresiasi.