Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membajak Waktu, Membajak Teknologi, dan Menyiapkan Masa Depan Generasi

16 Agustus 2020   09:38 Diperbarui: 23 Agustus 2020   17:03 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai seorang arkeolog, tentu cara berpikir saya adalah memetik pelajaran masa lalu untuk membangun pola hidup di masa kini dan masa depan. Masa kini, tak pernah ada tanpa masa lalu, dan masa depan ditentukan sejak hari ini. Jadi rangkaian waktu itu selalu memberikan pelajaran. Demikian cara seorang arkeolog melandasi cara berpikirnya. Pada prinsipnya kembali lagi ke soal belajar dari masa lalu untuk masa depan gemilang.

Saat ini, adalah era teknologi digital. Maka mau tidak mau, suka tidak suka kita juga beradaptasi dengan perkembangan teknologi saat ini. Suka tidak suka, kita akan berkejaran dengan waktu untuk menguasai teknologi. Jika kita bicara teknologi, maka Indonesia dihadapkan pada fenomena tuntutan untuk menguasai teknologi, salah satunya adalah teknologi industri. 

Kita tahu, Indonesia kaya akan sumberdaya mineral, contohnya sumberdaya mineral logam dan sumberdaya mineral minyak dan gas alam. Sumberdaya mineral tidak terbaharui itu, tentu saja terbatas, pada masanya nanti akan habis. Oleh karena itu kita perlu memikirkan strategi untuk membajak waktu, sesegara mungkin bisa menguasai teknologi industri itu. Sementara, berkejaran dengan waktu, kita juga harus bisa membajak pengetahuan tentang teknologi dari negara-negara yang maju teknologi industrinya untuk bisa menggerakkan proses produksi sendiri, tanpa ketergantungan dengan pihak luar.

Tentu saja, kita semua paham, mengapa indutri pertambangan dikuasai bangsa luar, padahal kita yang memiliki sumberdaya alamnya. Itu semua karena kita tidak memiliki kemampuan mengolahnya. Artinya kita tidak cukup memiliki kemampuan teknologi industri yang dibutuhkan. Freeport, yang menguasai sumberdaya mineral di wilayah Provinsi Papua, contoh yang sangat nyata. Puluhan tahun, sejak berdirinya PT. Freeport di tahun 1967, sumberdaya mineral logam di Timika, yang menghasilkan logam emas, dikuasai oleh perusahaan asing, itu karena infrastruktur dan teknologi mereka kuasai. 

Kita tahu, 2018 lalu Pemerintah Indonesia, mengakuisisi kepemilikan saham milik Freeport MacMoran, induk dari PT. Freeport Indonesia,
sebesar 51% melalui PT. Inalum, BUMN Indonesia. Meski demikian, selain proses transisi akuisisi juga memerlukan proses panjang dan memakan waktu, yang lebih jelasnya lagi, infrastruktur dan teknologinya masih dikuasai oleh Freeport MacMoran, sehingga Freeport tetap menguasai 49 % sahamnya. 

Tentu saja, keuntungan pemberian deviden, pajak dan royalti memang lebih besar. Namun, bagaimanapun Inalum, BUMN sebagai pemegang saham terbesar, memiliki ketergantungan pengembalian peminjaman atas upaya mengakuisisi saham Freeport itu. Selain itu,  memiliki beban hutang, investasi Inalum, kemungkinan akan memetik hasilnya baru di tahun 2021 (cnbcindonesia.com). 

Artinya, ada konsekwensi dan biaya yang sangat mahal dari proses divestasi saham Freeport tersebut. Meski demikian, upaya 'membajak' saham itu lompatan yang patut diapresiasi, meskipun banyak pernak-pernik dampak beban yang harus ditanggung. 

https://fotokita.grid.id/
https://fotokita.grid.id/
Selain itu, beberapa lalu kita diributkan soal penolakan TKA asal Tiongkok yang akan bekerja di perusahaan Nikel di Sulawesi Tenggara. Jika melihat kenyataan soal proses produksi, ketakberdayaan Indonesia menguasai teknologi industri untuk pengolahan dan produksi nikel dan logam bahan baku battery, yang kini menjadi rebutan dunia industri, menjadi argumen yang masuk akal. 

Bagaimanapun, tanpa penguasaan teknologi yang dimiliki Indonesia, suka tidak suka, memang membutuhkan tenaga dari luar untuk bisa menjalankan industri logam tersebut. Sebuah investasi, tentu membutuhkan banyak instrumen untuk menggerakkannya, selain penguasaan teknologi, sumberdaya manusia, infrastruktur, regulasi dan sebagainya. 

Berkaca pada situasi demikian, memang kita membutuhkan lompatan berpikir, dalam rentang waktu yang kita miliki ini, sambil belajar dalam proses bekerja dalam pengolahan sumberdaya mineral dan logam yang dikelola oleh negara-negara luar, dibutuhkan strategi membajak waktu secara cepat. Kemampuan alih teknologi sesegera mungkin dikuasai para anak bangsa. Selanjutnya Indonesia, perlu membangun infrastruktur yang dinamis, yang menggerakan roda industri secara terus menerus. 

Lagi-lagi, jika belajar dari masa lalu, hasil riset arkeologi sesungguhnya mengabarkan banyak informasi penting, yang selama ini tidak atau jarang ditengok oleh generasi bangsa ini. Tentu pelajaran dari masa lampau itu, yang kita petik adalah soal nilai penting budayanya, yang bisa menjadi spirit dan filosofi bangsa. 

Bukan soal penguasaan teknologinya, sebab tentu saja teknologi masa lampau masih sangat sederhana. Dalam berbagai riset arkeologi, misalnya pada zaman Kesultanan Banten, ditemukan wadah-wadah peleburan logam, dari penelitian oleh seorang arkeolog senior Universitas Indonesia, salah satu bagawan arkeologi Indonesia, bernama Moendardjito. Tahun 1977, beliau melaporkan hasil penelitiannya di situs Banten Lama. 

Ditemukannya wadah pelebur logam, membuktikan bahwa sejak masa lampau, Indonesia sudah mengenal teknologi pengolahan logam. Waktu lampau ini, jika saja dipahami dan dipelajari prosesnya, tentu memberi pengetahuan dan dasar-dasar filofofis bangsa untuk membajak waktu, menguasai teknologi pengolahan logam. 

Selain itu, berbagai penemuan benda-benda logam, yang diperkirakan merupakan buatan masyarakat lokal membuktikan, bahwa pengalaman bangsa Indonesia, sebenarnya sudah sangat panjang dalam industri pengolahan logam. Informasi masa lampau ini, sesungguhnya adalah nilai-nilai budaya dan dasar filosofis yang penting bagi generasi saat ini, untuk mengambil alih penguasaan teknologi, yang sesungguhnya bukan hal baru dalam khasanah budaya nusantara. 

Bukan hanya bagi arkeolog, sesungguhnya bagi kita semua, temuan-temuan artefak logam di situs-situs kuno, memberikan oengetahuan berharga bahwa perlatanan logam sejak zaman paleometalik (zaman perundagian) sudah demikian dikenal oleh masyarakat Nusantara ini. Bahkan teknologi peleburan logam, juga dikenal pada masa-masa berikutnya. Para arkeolog, mempelajari arkeolometalurgi, untuk mempelajari teknologi logam yang digunakan pada masa lampau.

https://www.materi4belajar.com/
https://www.materi4belajar.com/
Ilustrasi lain, budaya keris masyarakat Nusantara. Pamor keris dihasilkan dari logam-logam yang berkualitas. Hasil kreasi pembuatan keris yang sudah sangat lama dikenal oleh masyarakat Nusantara itu, merupakan bukti bahwa demikian melekatnya kebudayaan nusantara dengan teknologi pengolahan logam. Para empu pembuat keris, paham bagaimana memilih tingkat kekerasan logam besi yang akan digunakan untuk membuat keris. Para empu itu, juga memahami bagaimana tingkat kerumitan pola lipatan dan pamor keris yang kira-kira bisa dihasilkan (www.researchgate.net/). 

https://nasional.republika.co.id/
https://nasional.republika.co.id/
Belum lagi, jika kita mempelajari logam besi zaman Kerajaan Luwu, yang tersebar dapat ditemukan di situs-situs arkeologi di sekitar Danau Matano. Bisa jadi, tambah nikel Soroako saat ini, cikal bakalnya sudah dimulai sejak masa Kerajaan Luwu dulu. Bedanya, pada masa Kerajaan Luwu, pengolahan logam besi, merupakan kekayaan yang diolah sendiri oleh anak negeri. Di jaman now, Nikel Soroako masih dikuasai perusahaan asing, begitu juga dalam gugusan daratan sepanjang wilayah itu, mencapi ke wilayah Bungku, di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. 

Dengan demikian, kesimpulan yang sederhana membaca fenomena ini adalah, bahwa ruh kebudayaan dan jati diri budaya nusantara sesungguhnya sejak masa lampau, mengenal pengolahan logam. Jadi jika berkaca pada lampau, dasar-dasar filosofis dan karakter budaya nusantara, sesungguhnya dapat dengan mudah mengadaptasi perkembangan zaman. Alih teknologi industri yang berkembang di zaman millenial ini, bisa kita trasnferkan menjadi pengatahun generasi bangsa. Generasi millenial saat ini, belajar tentang pengalaman masa lampau, lalu menjadi spirit di masa kini dan masa depan untuk membajak teknologi yang dikuasai bangsa luar, untuk meyiapkan masa depannya.

Momentum HUT 75 RI adalah saatnya kita memulai gerakan revolusi kebudayaan, untuk menyerap pengalaman masa lampau, mengambil hikmah dan memaknai nilai-nilai penting budaya, menggali dasar-dasar filosofi dan menyerap saripati kekayaan budaya bangsa, kekayaan nusantara masa lampau untuk menjadi spirit bangsa, membajak waktu, membajak teknologi untuk menguasai teknologi, menguasai pasar, menggerakkan dan menghidupkan industri dengan kemampuan bangsa sendiri, sambil terus melestarian nilai-nilai budaya masa lampau, sebagai landasan filofosis, bangsa menuju bangsa yang maju dan berdaulat di segala bidang kehidupannya. Salam Kemerdekaan....Merdeka!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun