Banyak pelajaran penting sesungguhnya yang bisa dipetik dari masa lalu, untuk bekal kehidupan masa depan lebih gemilang. Namun banyak diantara kita justru, menganggap remeh masa lalu itu. Masa lalu bukan soal, nostalgia belaka, atau romantisme sejarah. Namun petiklah makna yang tersirat maupun yang tersirat di dalamnya. Belajar dari masa lalu, untuk masa depan gemilang.Â
Demikianlah ungkapan bijak, yang sering saya dengar, sebagai seorang arkeolog. Kami mempelajari masa lalu, memetik makna penting di dalamnya, lalu mengabarkan pelajaran penting masa lalu, ke masa kini, yang kadang banyak problematikanya. Untuk edisi ini, penulis hanya akan membahas satu aspek saja, dari berbagai aspek yang bisa dibahas soal topik pilihan ini. Edisi ini penulis akan memberi ulasan atau opini, soal kedaulatan pangan.Â
Indonesia, sudah 75 tahun merdeka, namun semakin lama, terasa ketergantungan terhadap negara luar semakin besar. Padahal Indonesia dulu pernah swasembada pangan. Ekspor beras pada masa pemerintahan Orde Baru, menunjukkan dominasi Indonesia di bidang pangan, setidaknya untuk kawasan Asia Tenggara.Â
Jika masa Orde Baru, danggap masa kelam demokrasi, tetapi ada pelajaran, ada sisi positif dan penting yang tidak bisa diabaikan, yakni ketahanan ekonomi Indonesia, sebelum krisis moneter 1998, menjadi salah satu barometer ekonomi di negara-negara berkembang. Oleh karena itu Indonesia pernah menjadi negara yang dijuluki Macan Asia. Tentu sisi-sisi positif itu menjadi pelajaran penting untuk modal sosial pembangunan saat kini dan di masa yang akan datang.Â
Di bandingkan dengan negara lain, Indonesia sesungguhnya memiliki sumberdaya alam yang melimpah, sumberdaya mineral merupakan salah satu sumberdaya yang sangat diandalkan, dan tentu saja potensi itupun menjadi hasrat negara-negara lain, terutama negara-negara industri maju, yang sangat menggantungkan hidupnya pada ketersediaan energi, seperti minyak, gas, listrik dan sebagainya. Ini menjadi tantangan paling berat bagi Indonesia sebenarnya. Mengingat Indonesia yang memiliki potensi itu, namun keterbatasan teknologi, infrastruktur dan sumberdaya manusia, sehingga kita seringkali menjadi obyek ekploitasi bagi negara-negara pengolah, melalui pintu masuk investasi.Â
Sumberdaya alam lainnya seperti pertanian, perkebunan dan juga sumberdaya maritimnya, bisa dikatakan Indonesia adalah negara yang paling maju dan  kaya soal ini. Namun fakta hari ini, Indonesia melakukan impor berbagai komoditi pangan dari luar, dari mulai beras, sayuran, dan buah-buahan.Â
Belum lagi, sumberdaya kelautan dan perikanannya. Kita mempertanyakan, sejauh mana ekspor sumberdaya laut kita, di sisi lain, ternyata kita juga masih mengimpor garam? Ini tentu  kondisi anomali dan sangat ironis, bagaimana bisa Indonesia, yang dikenal sebagai negara Kepulauan, negara maritim dengan kepemilikan kawasan laut yang sangat luas ini mengimpor garam?
Ada apa dengan kekayaan laut Indonesia? kadangkala kita mungkin tidak habis pikir, mengapa ini semua terjadi? persoalannya, apakah terletak pada kondisi sumberdaya manusia kita yang tidak bisa memproduksi garam yang berkualitas? apakah rendahnya teknologi yang kita kuasai sehingga tidak mampu melakukan itu? atau instrumen negara yang tidak mampu membendung intervensi asing yang menciptakan ketergantungan Indonesia untuk melakukan impor garam?Â
Di salah satu media, menguraikan soal mengapa Indonesia masih melakukan impor garam (http://indonesiabaik.id/), antara lain, Pertama, Indonesia memang memiliki garis pantai yang panjang, namun sayangnya tidak semua pantai bisa dijadikan lahan garam. Dari 99.093 km garis pantai Indonesia hanya sekitar 250 km2 yang bisa digunakan menjadi lahan garam. Kedua, faktor cuaca merupakan masalah utama dimana untuk mendapatkan garam dengan kualitas industri diperlukan musim kemarau yang panjang.
Selain itu, kelembaban udara di Indonesia cukup tinggi sekitar 60-70%. Terakhir, industri pengolahan garam di Indonesia masih menggunakan cara yang tradisional. Akibatnya, mutu garam yang diproduksi tidak begitu baik dan tidak cocok untuk penggunaan garam dalam skala industri. Namun, rasa-rasanya argumen itu tidak cukup buat nalar kita bisa menerimanya, mengingat luasan kawasan laut Indonesia, dan jumlah produksi garam dalam negeri yang Indonesia bisa hasilkan.Â
Penulis sendiri melihatnya ini sebenarnya soal legacy, bahwa kita saat ini sesungguhnya memiliki persoalan dalam memahami legacy, memahami kekayaan warisan sebagai sebuah modal pembangunan yang harus dikelola. Juga legacy soal cara-cara leluhur itu mengelola kehidupannya. Sejak dulu, leluhur kita sesungguhnya sudah mengajarkan kita soal konsep survival, tentu saja sesuai kondisi masa lampau yang ada. Namun bukan soal survival saja,  juga soal bagaimana mengembangkannya untuk membangun relasi dengan pihak lain.