Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pulau Setan, Gua Tengkorak, dan Kampung Kuno di Tanimbar Maluku Barat Daya

10 Agustus 2020   13:42 Diperbarui: 12 Agustus 2020   14:35 1363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Batu Butu Buntal. Sumber:Dokpri/Balar Maluku

Saya mendengar informasi yang cukup mengejutkan beberapa tahun lalu, sewaktu yang masih bekerja di Balai Arkeologi Maluku, di kota Ambon. Informasi itu seputar dunia arkeologi, yakni informasi tentang adanya kampung kuno di wilayah Kepulauan Tanimbar, di kecamatan Tanimbar Barat, Maluku Barat Daya.

Mengejutkan, karena informasi dari seseorang yang menceritakan soal temuan arkeologi yang diliputi oleh berita aneh yang cukup mistis kedengarannya.

Cerita Mistis di seputar Penemuan Arkeologi

Bagi arkeolog, seputar informasi temuan arkeologi, seringkali dibumbui cerita mitos dan mistis itu sebenarnya tidak aneh.

Seringkali orang awam, memberi informasi tentang tinggalan arkeologi, diselingi cerita mistis karena ketidakpahamannya tentang arkeologi sebagai disiplin ilmu yang mempelajari tentang peninggalan budaya masa lampau.

Hal ini bisa dimaklumi, karena orang awam biasanya memahami arkeologi, seperti apa yang dilihatnya dalam berbagai film, seperti The Mummy, yang memang banyak bumbu-bumbu mistisnya.

Demikian pula seputar mitos. Seringkali informasi kearkeologian, juga tidak bisa dilepaskan oleh informasi-informasi berbau mitos, yang sarat dengan informasi yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah.

 Justru itu menjadi tantangan bagi arkeolog, untuk menjelaskan kedudukan yang sebenarnya tentang seputar dunia arkeologi. Arkeologi sebuah ilmu, yang mempelajari tentang peninggalan budaya masa lampau, melalui kaidah ilmiah, teori dan metodologi yang ilmiah.

Namun, bukan berarti kedudukan mitos dan mitologi tidak ada fungsinya. Seringkali mitos-mitos yang berkembang di masyarakat kami pahami sebagai informasi awal, untuk selanjutnya melakukan pembuktian secara ilmiah.

Mitologi menjadi pintu masuk bagi kami para arkeolog, salah satunya menjadi data dan informasi awal untuk menelusuri jejak-jejak purbakala yang diceritakan oleh informan, tentang mitos-mitos itu.

Bahkan, seringkali mitos di masyarakat dapat menjadi cara pandang masyarakat, yang dapat dipahami sebagai bentuk kearifan lokal untuk melestarian warisan budaya.

Saya ingin mengungkapkan satu contoh mitos sederhana seputar data arkeologi atau peninggalan masa lampau. Misalnya, menurut mitos masyarakat ada sebuah tempat yang angker di sebuah pulau, dimana arwah datuk-datuk hingga kini masih bergentayangan menunggu pulau itu dan tidak sembarang orang bisa mendatangi pulau itu, untuk bisa menemukan tempat datuk-datuk itu dahulu kala.

Tempat itu konon adalah sebuah tempat rahasia, dimana leluhur dulu hidup, dan pada saat semua penduduk sudah tidak ada lagi, karena suatu bencana, mereka semua mati, akhirnya tempat itu kosong tak berpenghuni.

Namun konon di malam-malam tertentu, bagi orang-orang yang melintas di tepi pantai di pulau itu, mendengar suara-suara aneh seperti teriakan-teriakan seseorang.

Beberapa cerita orang lain, berbeda lagi kadang kala, ada kejadian, bahwa di pulau kosong itu, ada bunyi-bunyian seperti orang menumbuk sesuatu dan beberapa diantaranya ada suara piring pecah dan sebagainya.

Kejadian aneh itu kemudian diceritakan dari mulut ke mulut menjadi mitos, tentang adanya pulau kosong yang berhantu.  

Bagi saya seorang arkeolog, cerita mitos itu membuat saya penasaran dan ingin membuktikan bahwa mitos itu sebenarnya mengandung informasi penting untuk ditelusuri, tentang kemungkinan adanya jejak-jejak purba di suatu pulau itu. Bukan berarti, dengan adanya informasi mitos itu selalu menjadi pegangan arkeolog untuk melacak jejak purba, namun cerita mitos itu, barangkali bisa menarik pikiran para arkeolog untuk menelusuri jejak purba yang terkandung dalam mitos itu.

Jika seandainya kita mendegar cerita mitos di penduduk-penduduk lokal yang tinggal di pulau-pulau jauh dan terpencil, mitos itu bisa jadi memang suatu informasi yang menarik.

Saya sendiri pernah mengalami beberapa kali, menerima informasi soal itu dari masyarakat lokal yang kita temui. Mendengar mitos-mitos seperti itu, arkeolog bisa melacaknya, mungkin dengan melihat peta-peta kuno, yang mungkin bagi masyarakat kebanyakan tidak dipahami, bahwa di dalam peta kuno, misalnya melalui peta kuno zaman Belanda, beberapa diantaranya ada yang sudah digambarkan atau dilukiskan, tentang kampung-kampung kuno yang dulu memang sudah pernah ada, dan kemudian ditinggalkan penduduknya karena berbagai sebab di tahun tertentu, bisa karena daya dukung lingkungan, ketersediaan sumber air, populasi penduduk yang semakin bertambah dan sebagainya.

Nah, cerita-cerita mitos itu bisa menjadi informasi tambahan untuk melacak dimana gerangan kampung-kampung kuno yang disebut daerah berhantu itu. Itu sekedar contoh tentang informasi berbau mitos itu, yang tak bisa saya ceritakan secara detail, panjang dan lebar.

Intinya, beberapa cerita mitos meskipun tidak selalu, namun seringkali dapat menjadi salah satu infromasi awal untuk membuktikannya secara ilmiah, tentu saja, adanya jejak-jejak masa lampau, yang dapat ditemukan bukti-buktinya pada saat kini.

Berhubungan dengan itu, kembali saya ulangi seperti di awal penulisan ini, soal informasi mengejutkan, adanya sebuah pulau kecil tak berpenghuni, yang saya terima dari seseorang di salah instansi pemerintah, tentang adanya pulau tak berpenghuni, yang disebutnya Pulau Setan, di wilayah Kepulauan Tanimbar bagian barat Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Konon, di pulau itu banyak ditemukan tengkorak-tengkorak di dalam gua.

Terkejut dan sekaligus penasaran dengan informasi itu, maka saya mencoba menelusurinya. Berbekal referensi-referensi yang saya temukan, saya beranggapan, bahwa di wilayah yang disebut terdapat Pulau Setan itu, kemungkinan memang terdapat jejak-jejak purba yang bisa dibuktikan secara ilmiah. Bukti-bukti arkeologi kampung kuno, pasti akan kami temukan, demikian waktu itu saya dan beberapa teman arkeolog di Balai Arkeologi Maluku, berdiskusi.

Setelah itu, kami menyusun proposal riset arkeologi dengan wilayah penelitian di Kepulauan Tanimbar bagian barat, sebagaimana cerita awal yang kami peroleh soal mitos tentang adanya Pulau Setan itu.

Perjalanan pertama, kami harus menuju ke Saumlaki, ibukota Kabupaten Maluku Barat Daya, yang termasuk dalam gugus kepulauan Tanimbar.

Di Kepulauan Tanimbar, memang sebelumnya sudah banyak ditemukan jejak-jejak pemukiman kuno, oleh tim Balai Arkeologi Maluku, disertai berbagai bukti fitur dan artefaktualnya. Perahu Batu Sangliatdol, salah satu bukti arkeologi paling fenomenal yang sudah banyak dikenal oleh masyarakat dan juga para budayawan, juga para arkeolog dan antropolog manca negara.

Kembali soal informasi Pulau Setan, informasi ini merupakan data terbaru yang kami peroleh yang sebelumnya belum pernah diteliti oleh arkeolog maupun antropolog manapun.

Informasi yang mengejutkan, karena selama penelitian arkeologi sebelumnya, tidak pernah mendengar informasi ini. Setelah tiba di Saumlaki, kami mempersiapkan diri untuk menuju lokasi yang kami rencanakan dari awal. Di Saumlaki, kami justru tidak menemukan informasi apapun soal Pulau Setan.

Namun merujuk wilayah Tanimbar Barat, sesuai informasi awal yang kami peroleh, kami disarankan untuk berangkat terlebih dahulu ke Pulau Sierra, yang disebut sebagai pulau yang paling memungkinkan kami tempuh.

Lokasinya di bagian barat Saumlaki. Kami buka peta, di bagian barat Saumlaki, di Pulau Tanimbar, Pulau Sierra, terletak di bagian baratnya, atau disebutnya sebagai gugus Tanimbar Barat.

Perjalanan Menuju Pulau Setan

Kami menyewa speed, menuju Pulau Siera, yang kemudian kami tahu, di Pulau itu terdapat beberapa desa dan kami untuk pertama kalinya menuju sebuah desa, namanya Desa Kamatubun, desa, dimana dermaga terlihat, untuk kami merapat setelah dua jam perjalanan laut menggunakan motor speed.

Akhirnya kami berada sepekan di Pulau itu, untuk menelusuri berbagai informasi jejak purba di wilayah pulau-pulau Tanimbar Barat.

perjalanan ke Pulau Setan Nus Nitu. Dokpri
perjalanan ke Pulau Setan Nus Nitu. Dokpri
Hari telah menjemput malam, dan kami akhirnya memutuskan bermalam di Desa Kamatubun. Sambil meneguk kopi, kami bercengkerama dengan Kepala Desa Kamatubun, dan menceritakan soal maksud kedatangan kami.

Pak Kades atau sebutannya Bapak Raja, tampak terkejut. Beliau menyarankan untuk tidak ke Pulau Setan, berbahaya bagi orang luar.

Beliau katakan juga, sedangkan penduduk setempat belum ada yang masuk di pulau itu, apalagi kami, orang luar dan baru saja menginjakkan kaki di daerah itu.

Mendengar penjelasan Bapak raja Kamatubun, kami tidak surut, justru semakin gencar malam itu juga melakukan pendekatan dan penjelasan-penjelasan secara ilmiah serta prinsip kedatangan bermaksud baik, yakni untuk mengungkap sejarah dan peradaban masyarakat Pulau Seira, ke kancah sejarah nasional.

Akhirnya, kami mendengar klaimat persetujuan meluncur dari mulut Bapak Raja, dan beliau sendiri justru menawarkan kami untuk mendampingi dengan tiga orang perangkat desa.

Pulau Setan Nus Nitu Tanimbar Barat

Esok paginya kami meluncur ke Pulau Setan, menggunakan perahu motor yang disebut katinting. Dua katinting mengantar kami pagi itu. Di sepanjang perjalanan laut, kami melalui hutan-hutan bakau yang rimbun. Di sepanjang perjalanan, Pak Kades, menceritakan tentang cerita soal buaya putih yang ditakuti oleh penduduk pulau Siera, jika melintas di wilayah hutan bakau ini.

Konon dulu beberapa orang dari kampung di pulau tetangganya, sudah pernah menjadi korban keganasan Buaya Putih, yang dipercaya sebagai mahluk jadi-jadian. Saat-saat tertentu, buaya itu akan muncul jika melihat ada sesorang yang dianggapnya ingin berbuat jahat.

Saya cukup bergidik mendengar cerita itu. Soal buaya, sepertinya bisa saja itu memang cerita nyata, karena memang melihat air laut yang tenang, diantara hutan bakau, sangat memungkinkan bersarangnya buaya. Namun soal mitos buaya putih, cerita ini di beberapa tempat lain juga sering saya dengar.

Pulau Setan Nus Nitu di Tanimbar Barat, Maluku Barat Daya. Sumber: dokpri/lucas wattimena/balar maluku
Pulau Setan Nus Nitu di Tanimbar Barat, Maluku Barat Daya. Sumber: dokpri/lucas wattimena/balar maluku
Menurut Bapak raja, banyak tempat yang akan kami datangi, bukan hanya Pulau Setan, namun beberapa pulau kecil disekitarnya.

Oleh karena itu, beliau menyarankan, agar pulang jangan kemalaman, bahaya jika melewati hutan bakau ini pada malam hari. Kamipun mendegar dan mengikuti saran pimpinan desa itu. Semoga tidak kemalaman di perjalanan. Begitu yang saya pikirkan, setelah mendengar cerita Pak Kades situ.

Kami menepi, setelah sampai di sebuah pulau kecil, dengan pasir putihnya. Tidak ada yang aneh dengan pulau itu. Setelah Pak Kades, membaca doa-doa tertentu, kami turun dari perahu. Namun oleh Pak Kades, kami diminta untuk tidak langsung mendekat ke pulau itu. Kami menurut dan mendengar penjelasan Pak Kades.

Pulau Setan adalah jembatan penghubung antara orang mati dan hidup. Orang yang mati berjalan menuju arah barat. Kedua pulau masih satu daratan, yang dipisahkan oleh meti pasir yang besar.

Pulau Setan juga merupakan penanda kalau ada orang mati terdengar suara tangisan sampe ke Pulau Seira, dan masyarakat tahu bahwa akan ada orang mati. Pulau Selu ditinggalkan oleh penduduk karena wabah ikan tona-tona sejenis ikan momar. Sedangkan penduduk meninggalkan Pulau Wuliaru menuju seira karena wabah lalat.

Jadi Pulau Seira ini dihuni oleh leluhur yang datang dari Pulau Selu dan Pulau Wuliaru. Yang berada di sekitar Pulau Seira. Sedangkan Pulau Setan dari dulu memang tidak berpenghuni. Begitu penjelasan Pak Kades Kamatutubun itu.

Gua Tengkorak di Pulau Selu

Penasaran dengan cerita Pak Kades, saya meminta beliau dan perangkat desa mengantar kami menuju ke Pulau Selu, yang dekat dengan Pulau Setan itu, justru saat air turun (meti), tampak pasir putih tampak seperti pasir putih yang menghubungkan Pulau Setan ke Pulau Selu di bagian baratnya.

Pak Kades setuju, dan mau mengantar kami ke Pulau Selu. Akhirnya kami mepercepat gerakan, kami langsung merapat ke Pulau Selu. Begitu tiba, kami menyusuri sungai kering ke sebuah lokasi yang ditunjuk oleh Pak Kades. Kami melihat ke tebing yang tidak begitu tinggi.

Gua Tengkorak di Pulau Selu. Sumber: dokpri/balar maluku
Gua Tengkorak di Pulau Selu. Sumber: dokpri/balar maluku
Yakni terdapat deretan beberapa gua. Setelah semakin dekat, kami lihat, di lubang-lubang gua, kami temukan banyak tengkorak manusia. Kami menduga bahwa gua ini adalah gua penguburan, orang-orang Pulau Selu dulu. Di dalam situs ceruk ini ditemukan kumpulan frgamen tulang dan tengkorak manusia yang diletakkan pada mulut gua. Di sekitar ceruk ditemukan sebaran fragmen tembikar tanah liat polos,  berukuran  tebal  dan  tipis. Gerabah tipis kemungkinan hanya digunakan untuk ritual keagamaan, yang berhubungan dengan keberadaaan tengkorak.

Temuan tulang manusia tidak utuh kurang lebih 20-30 buah, diantaranya tulang tengkorak, tulang paha dan tulang lengan, tengkorak 3 buah, 1 tengkorak kulit kepala, dan fragmen pecahan botol mungkin sebagai wadah air untuk sesajian. Sekitar situs terdapat susunan dinding semacam benteng tradisional (lutur), karena lutur membatasi antara permukiman dan situs penguburan.

Tapi kami belum percaya, adanya lutur itu sebagai kampung kuno, karena tidak mungkin penduduk masa lampau membangun permukiman sedekat ini dengan tempat penguburan di gua tengkorak ini. Kami berpikir, susunan batu itu, sebagai batas atau untuk melindungi area gua tengkorak, agar tak mudah didatangi orang atau penduduk dari kampung kuno lainnya. Perang antar suku, zaman dulu mungkin sering terjadi di pulau ini.

Kampung Kuno Leluhur Penduduk Pulau Seira

Kami terus melacak kampung kuno, tempat asal tengkorak-tengkorak itu dikubur. Kami mejelajahi Pulau Selu, dan pada akhirnya menemukan tanda-tanda adanya kampung kuno. Berada pada ketinggian, 105 mdpl, pusat kampung ditandai oleh meja batu (dolmen) dan beberapa susunan batu, yang tampak sebagai pondasi dan umpak tiang rumah. Jejak-jejak pemukiman diantaraanya lutur-lutur yang tampak rata dengan tanah, sebagai bekas pondasi rumah.

Kami juga melacak informasi yang disampaikan di awal saat kami mendatangi Pulau Setan, yaitu, asal muasal kampung dimana penduduk Pulau Seira berasal. Lokasi situs berada medan yang cukup sulit, untuk mencapai lokasi situs, tim harus menembus hutan bakau dengan berjalan kaki setelah sampai di pantai. Meskipun jarak tempuh yang harus melalui  hutan bakau tidak panjang, namun kondisi tanah berkumpur dan akar-akar bakar cukup menyulitkan perjalanan. Setelah menembus bakau, tim survei mendaki bukit yang tidak terlalu tinggi. Pada pintu masuk ke bukit itu, terdapat susunan batu, yang menandai bahwa wilayah itu sudah  memasuki  kawasan  situs.  Susunan  batu  di  atas  bukit  itu menggambarkan lokasi untuk mengintai orang luar yang hendak masuk ke pemukiman itu. Lokasi yang strategis berada pada ketinggian dan jarak pandang yang luas ke bawah, menunjukkan situs tersebut aman sebagai lokasi hunian sekaligus sebagai pertahanan.

Batu Buntal Misterius

Batu Butu Buntal. Sumber:Dokpri/Balar Maluku
Batu Butu Buntal. Sumber:Dokpri/Balar Maluku
Di Pulau Wuliaru, kami justru menemukan bukti permukiman kuno yang aneh dan misterius. Yakni sebuah batu bulat atau buntal, dipercaya oleh penduduk sebagai batu pusat bumi. Ini aneh dan misterius, sepanjang pengalaman kami, sebelumnya dimanapun tidak ada jenis temuan arkeologi seperti ini. Kami tidak menemukan referensi tentang tinggalan megalitik, jenis artefaktual batu berbentuk bulat dan berukuran besar. Ukuran keliling batu kira-kira mencapai 3 meter. 

Saya mencoba mendekapnya, dan kedua tangan saya tak bisa saling bertemu atau menyentuh. Batu buntal tersebut, tampak diukir, terdapat bekas pahatan-pahatan melingkar dan bersambung mengelilingi batu dan memenuhi badan batu. Tampak menunjukkan pola tertentu, dengan motif hias garis atau sulur yang melingkari batu. 

Tidak diperoleh keterangan dari penduduk fungsi batu tersebut. Namun keletakan batu yang berasosiasi dengan batu meja menunjukkan batu tersebut kemungkinan bermakna sakral, untuk keperluan ritual adat. Hingga saat ini batu bulat itu masih misterius. Entah digunakan untuk apa, dan kira-kira digunakan pada masa budaya sequen waktu yang mana. Kemungkinan memang awal zaman megalitik, namun entah berapa umurnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun