Pak Kades atau sebutannya Bapak Raja, tampak terkejut. Beliau menyarankan untuk tidak ke Pulau Setan, berbahaya bagi orang luar.
Beliau katakan juga, sedangkan penduduk setempat belum ada yang masuk di pulau itu, apalagi kami, orang luar dan baru saja menginjakkan kaki di daerah itu.
Mendengar penjelasan Bapak raja Kamatubun, kami tidak surut, justru semakin gencar malam itu juga melakukan pendekatan dan penjelasan-penjelasan secara ilmiah serta prinsip kedatangan bermaksud baik, yakni untuk mengungkap sejarah dan peradaban masyarakat Pulau Seira, ke kancah sejarah nasional.
Akhirnya, kami mendengar klaimat persetujuan meluncur dari mulut Bapak Raja, dan beliau sendiri justru menawarkan kami untuk mendampingi dengan tiga orang perangkat desa.
Pulau Setan Nus Nitu Tanimbar Barat
Esok paginya kami meluncur ke Pulau Setan, menggunakan perahu motor yang disebut katinting. Dua katinting mengantar kami pagi itu. Di sepanjang perjalanan laut, kami melalui hutan-hutan bakau yang rimbun. Di sepanjang perjalanan, Pak Kades, menceritakan tentang cerita soal buaya putih yang ditakuti oleh penduduk pulau Siera, jika melintas di wilayah hutan bakau ini.
Konon dulu beberapa orang dari kampung di pulau tetangganya, sudah pernah menjadi korban keganasan Buaya Putih, yang dipercaya sebagai mahluk jadi-jadian. Saat-saat tertentu, buaya itu akan muncul jika melihat ada sesorang yang dianggapnya ingin berbuat jahat.
Saya cukup bergidik mendengar cerita itu. Soal buaya, sepertinya bisa saja itu memang cerita nyata, karena memang melihat air laut yang tenang, diantara hutan bakau, sangat memungkinkan bersarangnya buaya. Namun soal mitos buaya putih, cerita ini di beberapa tempat lain juga sering saya dengar.
Oleh karena itu, beliau menyarankan, agar pulang jangan kemalaman, bahaya jika melewati hutan bakau ini pada malam hari. Kamipun mendegar dan mengikuti saran pimpinan desa itu. Semoga tidak kemalaman di perjalanan. Begitu yang saya pikirkan, setelah mendengar cerita Pak Kades situ.