Bagi kalangan penggiat budaya, pencinta warisan budaya, pamong budaya dan peneliti arkeologi, nama Kawasan Megalitik Lore Lindu (KMLL) sudah demikian dikenal. Juga beberapa kalangan  jurnalis yang konsen terhadap warisan budaya. Apatah lagi bagi masyarakat di wilayah Kabupaten Poso khususnya dan Sulawesi Tengah umumnya. KMLL, sudah menjadi ikon budaya yang populer di kalangan masyarakat.
Bagi Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbud, KMLL adalah sebuah ruang kebudayaan, kawasan warisan budaya leluhur, yang kini diperjuangkan menjadi kawasan cagar budaya warisan dunia atau world heritage. Memang saat ini mungkin masih tumbuh dalam angan atau mimpi, yang masih jauh dari harapan. Namun berbagai usaha untuk mewujudkan itu, semakin menguat.
Harapan dan energi yang dikumpulkan, adalah kombinasi saling menyentuh dan melengkapi. Bagi kami, Balai Arkeologi Sulawesi Utara dan Pusat Penelitian Arkeologi nasional, yang bergerak di wilayah hulu, tentu saja, menyodorkan informasi-informasi penting, yang dapat menjadi penguatan energi, untuk usaha mewujudkan mimpi itu, tentang KMLL menjadi kawasan World Heritage.
Sudah sekian panjang riwayat penelitian arkeologi di lakukan oleh Pusat Panelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkeologi Sulawesi Utara. Upaya mengungkap misteri peradaban masa lampau, dengan bukti hadirnya berbagai obyek arkeologi berupa patung-patung megalitik, berukuran seperti manusia, bahkan beberapa patung manusia raksasa. Juga berbagai alat-alat perlengkapan lainnya, seperti kalamba, lumpang batu raksasa dan sebagainya.
Para arkeolog, sudah lama berusaha mengungkap peradaban di kawasan megalitik Lore Lindu. Tentang leluhur dari mana yang membangun peradaban di sana, hingga perkembangannya kemudian. Mengapa mereka memilih Kawasan Lore Lindu sebagai tempat bermukim hingga meninggalkan jejak-jejak peradabannya yang menakjubkan.
Suatu ketika, saya berbincang dengan sahabat saya, sekaligus senior saya, yang dikenal dengan nama Iksam Kaili, seorang arkeolog yang berpengalaman melakukan riset di Lore Lindu.
Katanya, penelitian di Lore Lindu, sudah sangat panjang, sejak masa kolonial Hindia Belanda, para peneliti dan arkeolog sudah sering melakukan penelitian tentang megalitik Lore Lindu, sebut saja misalnya A.C. Kruyt dalam tulisannya "Van Poso naar Parigi een Lindoe" pada tahun 1898.
Walter Kaudern, seorang peneliti berkebangsaan Swedia pada tahun 1938 menebitkan tulisannya "Megalithic Finds in Central Celebes" dan sebuah tulisan tentang etnografi "Structure and Settlements in Central Celebes". Â
Penelitian potensi arkeologi oleh peneliti Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1976 oleh Tim Proyek Penelitian dan Peninggalan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Tim dipimpin oleh seorang arkeolog Haris Sukendar dan dalam penelitiannya sempat melakukan ekskavasi awal pada situs Suso di Padang Tumpuara Lembah  Bada Kabupaten Poso.
Senior saya yang lain, Dwi Yani Yuniawati, seorang arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, yang sangat konsen terhadap penelitian di Lore Lindu, merinci dengan cukup detail, temuan patung-patung megalitik di Lembah Besoa, Lore Lindu. Ia menuliskan arca megalitik di Lembah Besoa ketika ditemukan sebagian besar masih dalam bentuk yang utuh, dengan arah hadap yang bervariasi. dan adapula yang terlentang dan terbenam dalam tanah atau semak belukar.Â
Tokoh manusia yang dipahatkan pada arca megalitik terdiri dari berbagai macam bent Arca megalitik di Lembah Besoa ketika ditemukan sebagian besar masih dalam bentuk yang utuh, dengan arah hadap yang bervariasi. dan adapula yang terlentang dan terbenam dalam tanah atau semak belukar.
Tokoh manusia yang dipahatkan pada arca megalitik terdiri dari berbagai macam bentuk dan ciri-ciri yang mempunyai banyak persamaan antara arca yang satu dengan arca yang lain. Arca megalitik di Lembah Besoa biasanya berbentuk manusia yang digambarkan sederhana dan kaku (statis).
Arca-arca megalitik di Lembah Besoa umumnya digambarkan dalam bentuk yang sederhana dan umumnya berbentuk kepala sampai badan, dengan kaki atau tanpa adanya kaki. kadang-kadang tanpa tangan.
Pendek kata, dalam penelitiannya, senior saya itu menggambarkan temuan-temuannya itu dengan sangat detail, dalam laporannya yang dipublikasikan tahun 2000 itu.
Bukan hanya temuan patung megalitik saja, semua obyek-obyek arkeologi warisan budaya yang dijumpai di di kawasan Megalitik itu, semua digambarkan secara detail. Temuan Kalamba atau Batu Lumpang, dolmen, batu dakon, satu per satu dengan teliti dan tekun digambarkan dengan detail, baik bentuk maupun ukurannya.
Tidak cukup disitu saja, penelitian arkeologi terus dilanjutkan. Balai Arkeologi Sulawesi Utara pun juga konsen melakukan berbagai penelitian di situs Kawasan Megalitik Lore Lindu itu. Peta sebaran situs di kawasan KMLL dihasilkan oleh Balai Arkeologi Sulut. Selanjutnya, Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo, menindaklanjutinya dengan pembuatan zonasi kawasan pelestarian KMLL.
Pada tahun 2013, Dwi Yani Yuniawati dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bahkan telah mengetahui umur atau pertanggalan situs, yakni dari ekskavasi di wadah kalamba dan sekitar kalamba diperoleh pertanggalan sekitar awal-awal abad Masehi dan kemungkinan berakhir sekitar abad ke-15 Masehi tetapi dari hasil kronologi dari wadah kalamba lainnya, diperoleh pertanggalan yang sangat tua, yang pertanggalannya mempunyai kronologi mendekati 3500 tahun yang lalu.
Meskipun pertanggalan itu, masih sebagian kecil saja yang diketahui, dan menyisakan banyak pertanyaan soal perkembangan budaya dari perjalanan sang waktu menandai peradaban.
Setelah riwayat penelitian yang panjang dan semakin banyak hal terungkap dari misteri peradabannya, tentu bukan mimpi yang muluk-muluk, kawasan dengan luas wilayah cagar budaya itu 156.126 hektare dengan KMLL seluas 692 hektare, dengan kekayaan warisan budaya di dalamnya, sangat layak jika menjadi kawasan world heritage.
KMLL tersebut mencakup tiga lembah (Bada, Behoa, dan Napu) di Kabupaten Poso, yang biasa disebut sebagai Lembah Lore Lindu, ditambah satu kawasan gabungan Lembah Palu dan Danau Lindu di Kabupaten Sigi. Apalagim KMLL terletak di dalam kawasan Taman Nasional Lore Lindu, yang dilindungi negara, dengan sekitar 215 ribu hektare yang lahannya terbentang di Poso dan Sigi, dulu Kabupaten Donggala sebelum Sigi jadi kabupaten.
Peta sebaran temuan warisan budaya sudah dibuat, kronologi atau umur penghunian situs sudah diketahui, zonasi dan deliniasi untuk menentukan batas-batas kawasan pelestarian kawasan Cagar Budaya juga sudah dilakukan, maka sangat mungkin jika Kawasan Megalitik Lore Lindu, di Sulawesi Tengah bakal jadi warisan dunia. Harapan yang besar masyarakat Sulawesi Tengaah, khususnya dan Indonesia pada umumnya.
Dalam masa itu, penelitian arkeologi juga terus dilakukan dan dikembangkan, untuk mendukung perjuangan kawasan KMLL menjadi kawasan Cagar Budaya yang diakui sebagai Warisan Dunia (world heritage).
Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo kini sedang menyiapkan naskah pengajuan daftar sementara Warisan Dunia untuk diserahkan ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO. Tentang hal ini, kita terus menanti tanpa henti, agar dapat mewujudkan mimpi Indoensia memiliki modal budaya yang diakui dunia, menjadi warisan.
Namun itu tentu wacana, yang tak berhenti sampai disitu saja, Upaya dan perjuangan mesti terus berlanjut. Di samping BPCB Gorontalo, Balai Arkeologi Sulawesi Utara terus mengkampanyekan pula usaha itu.Â
Terakhir, kampanye melalui program Rumah Peradaban Lore Lindu, memperkenalkan KMLL, kepada para siswa dan guru, untuk memahami jejak peradaban di wilayah Taman Nasional Lore Lindu itu. Mengenal, memahami, mencintai warisan budaya Kawasan Megalitik Lire Lindu, agar tumbuh kesadaran untuk merawat dan melestarikannya. Kesadaran merawat warisan budaya adalah cara merawat Keindonesiaan.Â
Salam Budaya.... Salam Lestari
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H