Oleh karenanya, sebagai seorang arkeolog, yang mempelajari tentang sejarah, saya langsung berpikir, bahwa ada hubungan sejarah antara Ternate dengan Minahasa Tenggara.
Sayangnya, saya tidak cukup waktu untuk mengorek informasi soal ini. Hanya ada informasi sepotong-sepotong bahwa pada dulu, wilayah Minahasa, termasuk dalam pengaruh kekuasaan Sultan Ternate pada masa lampau, di masa jaya Kesultanan Ternate di abad 17M. Tentu informasi ini masih membutuhkan riset yang lebih mendalam. Lain kali mungkin, data sejarah ini perlu diulik lebih lanjut.
Menyangkut data arkeologi sejarah, sebelumnya saya sempat membaca laporan penelitian arkeologi di Balai Arkeologi Sulawesi Utara, soal temuan-temuan tinggalan budaya di sini.Â
Di wilayah kecamatan Ratahan ini, terdapat batu menhir yang disebut oleh penduduk setempat dengan sebutan Batu beranak atau batu pasak wanua.Â
Dari namanya, mungkin batu Pasak Wanua, adalah semacam tugu tapal batas kampung, dalam pengertian sekarang. Wanua, sama artinya desa atau kampung.
Menurut informasi tutur dari Orang Mitra, Batu Pasak Wanua, merupakan batu penanda berdirinya sebuah desa. Namun menurut laporan Balai Arkeologi Sulawesi Utara, batu itu digunakan untuk ritual pemujaan di masa lalu.
Hmm.. lagi-lagi informasi ini belum bisa saya konfirmasi, mengingat waktu yang tak memungkinkan. Pikiran saya sementara ini, mengejar panorama dan potensi warisan budaya, yang dapat dikombinasikan diantara keduanya.
Jadi otak saya mulai berpikir, esok hari saat saya berhadapan dengan para calon pramuwisata di Mitra, saya ingin mengatakan, untuk mengembangkan obyek warisan budaya, agar menarik dan bisa dikembangkan sebagai obyek wisata budaya, harus diintegrasikan, Bahasa sederhanakan dikombinasikan dengan wajah alam di sekitarnya.
Sayangnya, kesempatan ini saya lebih banyak mengejar view alam, sementara waktu, obyek arkeologi atau warisan budaya, saya sekedar mengumpulkan informasi dari laporan penelitian.
Selain menhir, di Ratahan menurut laporan yang saya terima, juga terdapat lesung batu. Zaman dulu, lesung batu bagi orang Minahasa, digunakan sebagai alat untuk menumbuk padi, sekaligus, juga untuk sarana pemujaan.Â
Sejak ribuan tahun lalu sepertinya, hingga masa kemudian, saat memasuki sejarah pengaruh kolonial. Lesung batu dan Menhir, setidaknya ada di Liwutung, Poniki, Wawali, Lowu. Tosoraya dan Desa Pongu.