Mohon tunggu...
Wuri Handoko
Wuri Handoko Mohon Tunggu... Administrasi - Peneliti dan Penikmat Kopi

Arkeolog, Peneliti, Belajar Menulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melukis dengan Cahaya: Arkeologi dalam Lensa Kamera

2 Juli 2020   23:27 Diperbarui: 2 Juli 2020   23:31 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

*Melukis Dengan Cahaya: Arkeologi Dalam Lensa Kamera*

Kali ini, saya akan mengulas soal fotografi arkeologi. Arkeologi dalam Lensa Kamera. Itzmar Patriski, sahabat saya, arkeolog yang berpengalaman menjadi fotografer LKBN Antara selama puluhan tahun lamanya. Ia, membagikan pengalamannya kepada para peserta Webinar Arkeologi kedua oleh Balai Arkeologi Sulawesi Utara (2 Juli 2020).

Arkeologi akan selalu berhubungan dengan fotografi. Karena dalam setiap pengumpulan data lapanga, fotografi menjadi salah satu kunci terhadap kualitas data arkeologi. Setiap pengumpulan data arkeologi, salah satunya melakukan perekaman melalui fotografi.

Tanpa fotografi, mungkin kita tidak akan tahu bagaimana perkembangan Candi Borobudur dari awal penemuannya hingga saat ini. Dalam lensa kamera, kita semua bisa menjadi abadi. Begitu kira-kira kita bisa memberikan pengandaian.

Dalam dunia arkeologi, orang yang pertama kali memperkenalkan soal fotografi adalah seorang bernama Kassian Cephas, yang hidup antara tahun 1845-1912. Lahir, 15 Januari 1845 Belajar fotografi sebagai pegawai magang Simon Willem Camerik (fotografer & pelukis Keraton Yogyakarta) pada 1861-1871.

Diperkirakan Cephas belajar fotografi pertama kali kepada Isidore van Kinsbergen (fotografer & pelukis Belanda-Belgia yang tinggal di Batavia). Ditunjuk sebagai jurufoto & pelukis Keraton Yogyakarta oleh SultanHB VI pada sekitar 1871. Demikian, Itzmar Patriski mengawali paparannya dalam Webinar kedua Balai Arkeologi Sulut itu. Karya foto pertama Cephas, adalah candi Borobudur pada tahun 1872.

Menurut Itzmar, Cephas mulai dikenal khalayak nonpribumi setelah namanya dicantumkan dalam artikel yang ditulis Isac Groneman untuk Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) pada 1884.

Artikel ini membahas mengenai Istana Air Tamansari. Menjadi anggota Perkumpulan Arkeologi, Geografi, Bahasa, dan Etnografi Yogyakarta (Vereeniging voor Oudheid-, Land-, Taal- en Volkenkunde te Jogjakarta) yang didirikan Isac Groneman (1885), sekaligus terlibat sebagai jurufoto dalam berbagai penelitian lembaga tersebut.

Itzmar Patriski, mengurai lebih lanjut soal Cephas. Data dan informasi dari koleksi KILTV lengkap soal karya Cephas. Orang pribumi Indonesia pertama, yang mengabadikan candi Borobudur dan momen-momen kebudayaan dalam lensa kameranya. Ratusan relief candi Borobudur telah dibidik dalam lensa kameranya.

Cephas memotret 160 relief pada bagian dasar Candi Borobudur yang ditemukan Kepala/Pemimpin Perkumpulan Arkeologi (Archaeologische Vereeniging) pertama, J.W. Ijzerman, pada 1885 Pada 1889-1890 Archaeologische Vereeniging di Yogyakarta menunjuk Cephas sebagai juru foto dalam penelitian dan pelestarian monumen kuno peradaban Hindu-Jawa di Jawa Tengah, Kompleks Candi Lara Jonggrang di Prambanan.

Cephas diangkat sebagai anggota luar biasa Lembaga Kesenian dan Ilmu Pengetahuan Batavia (Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen) pada 1892. Hampir seluruh hidupnya, Cephas mendedikasinya untuk mengabadikan Candi Borobudur dalam bidikan lensa kameranya, pada awal-awal penemuan candi terbesar di Nusantara itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun