Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengatakan untuk mencapai target negara, harus disertai kerja keras, kerja cepat, dan harus disertai kerja-kerja bangsa kita yang produktif. Tuntutan zaman di era alih teknologi 4.0, dunia yang sangat dinamis, sekaligus penuh resiko, maka semua dihadapkan pada perkembangan zaman yang sangat kompetetif.Â
Oleh karena itu, kata Presiden kita harus mengembangkan cara-cara baru, nilai-nilai baru. Jangan sampai terjebak dalam rutinitas yang monoton. Menurut Presiden Jokowi, seharusnya inovasi itu bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga harus dibudayakan.Â
"Harusnya inovasi bukan hanya pengetahuan. Inovasi adalah budaya," kata Presiden Jokowi (Sumber: kompas.com).
Menangkap apa yang disampaikan oleh Bapak Presiden, maka semua sektor pemerintah seharusnya memang memiliki kemauan yang sama, untuk bekerja keras dan bekerja secara cepat, agar menghasilkan produktivitas yang tinggi.Â
Lalu, bagaimana dengan kami yang bekerja dalam lembaga atau instansi kebudayaan? Bagaimana kami yang bekerja di lembaga penelitian kebudayaan, yang mengurusi soal budaya masa lalu, seperti Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dengan 10 Balai Arkeologinya? Ini tentu merupakan tantangan, sekaligus sebenarnya juga peluang.Â
Yang pasti, sebagaimana disampaikan Presiden, meskipun kami bergerak di instansi penelitian yang mengurusi bidang kebudayaan masa lampau, bukan berarti tidak ada tuntutan untuk berinovasi.Â
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, satu contoh saja, sejak 2019, menerapkan kebijakan penelitian yang lebih kompetetif. Semua proposal riset harus direview dan salah satu persyaratan dalam proposal penelitian itu adalah adanya nilai kebaruan (Novelty). Jadi, jangan harap para peneliti arkeologi di seluruh Indonesia, mendapat persetujuan pendanaan, jika tidak ada nilai kebaruan dalam penelitiannya.
Selain itu, terdapat pilihan topik penelitian yaitu SDG's (Suistainabele Development Goal's). Topik ini mensyaratkan, bahwa penelitian arkeologi harus menjawab tantangan-tantangan pembangunan berkelanjutan.Â
Meskipun arkeologi berangkat dari kebudayaan masa lampau, namun tujuan riset harus menghasilkan data yang dapat ditindaklanjuti untuk menjawab tantangan kehidupan kekinian.Â
Menjawab tuntutan kebutuhan masyarakat saat ini dan juga bermanfaat secara berkelanjutan. Hal inipun seiring dengan program yang dicanangkan oleh Bapenas, tentang SDG's itu. Itu hanya satu saja contoh, dari sekian banyak kebijakan instansi kebudayaan, dalam menerapkan program inovasi berdasarkan tugas fungsi instansi pemerintah yang bekerja mengelola sumberdaya budaya di Indonesia.
Dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, turun pula tuntutan yang sama untuk Balai Arkeologi di 10 Provinsi. Balai Arkeologi Sulawesi Utara, tempat saya mengabdi juga menghadapi tuntutan yang sama. Meskipun kami hanyalah instansi satuan kerja di level eselon 3, namun tanggungjawab di pundak kami juga besar.Â
Sebagai instansi penelitian arkeologi yang melingkupi tiga wilayah provinsi, yakni Provinsi Sulaswesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo, tentu ini menjadi tantangan, sekaligus sekali lagi juga peluang yang baik. Selain melakukan penelitian, juga ada visi pengembangan hasil penelitian arkeologi.Â
Visi itu salah satunya dijalankan melalui misi pendayagunaan hasil penelitian arkeologi. Kata pendayagunaan, adalah kata kunci yang memberikan tantangan sekaligus peluang. Saya terjemahkan sendiri, kata pendayagunaan, adalah tingkatan lebih tinggi dari kata pemanfaatan. Mendayagunakan, artinya menerapkan manfaat agar langsung menjawab kebutuhan. Artinya berdayaguna, yaitu dapat digunakan atau dimanfaatkan langsung oleh masyarakat.Â
Lalu, bagaimana hasil penelitian arkeologi, bicara pada ranah masa lampau dapat digunakan secara langsung oleh masyarakat? Digunakan langsung oleh masyarakat dalam hal apa? Tentu saja ini bicara soal memenuhi hajat hidup masyarakat. Soal-soal ekonomi, adalah yang terpenting. Hasil penelitian arkeologi harus bisa memberikan pilihan atau alternatif pendapatan dan  peningkatan ekonomi masyarakat..
Kembali menyoal inovasi, artinya penelitian arkeologi juga harus berinovasi untuk dapat didayagunakan secara langsung memenuhi kebutuhan masyarakat. Tentang peningkatan ekonomi. Tentu saja tanpa melupakan nilai penting budaya, yang dihasilkan dari penelitian arkeologi. Tentang akar-akar identitas, kearifan lokal dan sebagainya. Itu yang kami maksudkan sebagai menginovasikan budaya. Kita harus mampu berinovasi. Dari kumpulan artefak warisan budaya leluhur yang kita teliti. Meskipun kita menggali nilai penting budayanya, tetapi juga dapat memperoleh manfaat ekonomi untuk masyarakar secara langsung.
Bagaimana menerapkannya? Kami mengambil contoh tentang bentuk menginovasikan budaya, mislanya tentang kubur batu waruga. Waruga, kalau kita hanya melihatnya sebagai artefak produk budaya masa lampau, ia merupakan kubur batu, yang digunakan dalam tradisi penguburan leluhur orang Minahasa, sejak ribuan tahun lalu.Â
Tentu kita memperoleh pengetahuan tentang nilai-nilai budaya identitas, tradisi, budaya etnik, agama dan sebagainya. Nilai edukasi dari artefak itu. Namun, masyarakat tidak cukup memperoleh manfaat soal itu saja. Tuntutan kekinian, kita juga harus menjawab kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat. Contoh soal kebutuhan ekonomi yang dimaksudkan. Oleh karena itu kami berpikir, bagaimana kubur batu itu dapat memenuhi kebutuhan ekonomi secara langsung kepada masyarakat.Â
Kami lalu mencermati, bahwa dari kubur batu itu ada peluang untuk pengembangan industri kreatif batik. Hal ini karena, ragam hias waruga sangat cantik, manis dan beragam. Semua itu peluang untuk diinovasikan, dikreasikan, dikembangkan sebagai produk desain seni batik dan dikembangkan menjadi brand Batik Waruga (lihat artikel saya sebelumnya di Kompasiana).
Tidak itu saja, kami juga mendorong munculnya komunitas-komunitas kreatif di setiap situs arkeologi untuk mengembangkan berbagai produk industri kreatif dari artefak-artefak warisan budaya. Kubur batu waruga, tidak saja untuk industri kreatif batik, namun juga inovasi lainnya, seperti seni kriya. Atau bentuk sederhana, replika waruga, miniatur waruga sebagai souvenir, sekedar replika untuk gantunga kunci dan sebagainya. Semua itu produk industri kreatif yang dapat dikembangkan.Â
Justru dari situ, sebenarnya praktek pelestarian warisan budaya dapat berkembang. Artinya, waruga dapat terus dilestarikan sebagai cagar budaya, dan masyarakat secara ekonomi dapat memperoleh manfaat langsung dengan pengembangan industri kreatif sebagai bentuk inovasi budaya.Â
Dilestarikan sebagai praktek menjaga nilai-nilai budaya lokal, identitas, nilai-nilai keluhuran nenek moyang dan sebagainya. Sekaligus manfaat memperoleh manfaat secara ekonomi. Itulah sesungguhnya yang dimaksudkan sebagai pendayagunaan artefak-artefak warisan budaya sebagai media pengembangan industri kreatif.Â
Itulah kami maksudkan sebagai usaha menginovasikan budaya, sebagai bentuk jawaban atas narasi dari Bapak Presiden Jokowi, bahwa inovasi itu seharusnya menjadi budaya.Â
Maka relevan ketika kami senantiasa mengkampanyekan slogan membudayakan inovasi dengan menginovasikan budaya, dalam ranah kerja, tugas dan fungsi kami sebagai instansi pemerintah. Satuan kerja di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang bertanggungjawab terhadap hasil penelitian arkeologi di Sulawesi Utara khususnya dan di Indonesia, pada umumnya. Salam Budaya...Salam Inovasi. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H