“Perasaan cemburu seringkali menimbulkan ketidaknyamanan. Saat dilanda sengatan cemburu, timbul perasaan marah bercampur rasa tidak aman ….
Penggalan kalimat tersebut saya petik dari sebuah artikel ringan di suatu media online. Sedikit mewakili perasaan gundah saat kita mengalami rasa cemburu. Kadang rasa kecemburuan mampu menginspirasi apa yang akan kita lakukan. Tulisan ini bukan saya sedang ingin curhat dengan kecemburuan saya dengan suami . Namun saya sedang menjadi tokoh imajiner yang hidup diantara berjuta rakyatsuatu negeri dengan luas geografi terbesar ke empat di dunia. Saya adalah sosok yang selalu menjadi tumbal kehidupan dengan ketidakberuntungan dalam hidup dan pencarian kehidupan layak di negeri kaya raya. Ia cemburu pada seorang jelita dari kasta yang sangat jauh darinya, namun beradabegitudekat dari tempat tinggalnya.
Saat aku menjadi bayi yang terlahir dari perut seorang bunda berprofesi sebagai pemulung.
“ Bunda aku cemburu dengan dia, ia lahir sebagaisi fulan dari rahim menantu seorang penguasa. Ia mendapat limpahan kasih sayang yang luar biasa dari keluarga besar yang tinggal di istana. Ia disorot berpuluh kamera saat usia baru 7 x 24 jam. Ia diberikan nama yang begitu indah, ia dipanjatkan doa oleh seluruh keluarga istana, ia begitu wangi dan nyenyak dalam selimut yang steril. Ia menjadi bidadari bahkan sejak belum bersih sisa bercak darah ibunya saat melahirkan . Bunda aku cemburu dengan keberuntungannya”
Saat aku berumur 2-5 tahun
“ Bunda aku cemburu dengan dia dan anak-anak jendral di lingkungan istana. Aku cemburu dengan anak-anak pejabat, anak-anak anggota dewan, dan para petinggi dalam republic ini. Mereka belajar di sekolah yang megah. Berseragam warna warni, dengan pita indah menjuntai di rambutnya yang kemilau. Mereka selalu disapa manis dengan ucapan “ good morning, how are to day beauty? “
Bangku sekolah mereka sungguh kokoh, gedung bertingkat dengan kualitas beton terbaik, ruangan sejuk ber-ac, bahkan mereka telah terbiasa belajar dengan tombol-tombol keypad computer. Mereka diantar ke gerbang sekolah dengan mobil berplat merah, dan ditunggu babysitter berseragam putih, dan tentu guru-guru yang sangat ramah.
Saat aku di Sekolah Dasar
Bunda aku cemburu dengan dia dan mereka yang sekolah di SD favorit. Mereka semua anak-anak pejabat dan pengusaha sukses. Minimal anak bupati atau orang terkaya di kabupaten ini. Mereka tak pernah sedih memikirkan biaya spp, uang gedung, atau buku. Mereka tinggal berangkat dengan perut kenyang dan makanan bergizi, dan susu terlezat impor dari Eropa. Tubuh mereka tumbuh sehat, otak mereka begitu jenius dengan rumus-rumus dasar aritmatika. Guru-guru berlomba memotivasi agar juara dalam olimpiade sains dan matematika. Bunda aku sangat cemburu dengan keberuntungan mereka yang tak perlu takut tak lulus UAN tahun ini. Mereka selalu cukup waktu untuk belajar, fasilitas dirumah pun tak kalah dengan yang ada di sekolah elitnya. Bahkan mereka punya guru les yang siap membimbing dirumah. Kalaupun perlu , mereka yang memang secara genetis kurang, pasti deh dicarikan bocoran soalnya. Jadi mereka ga perlu lah ikutan Istighasah hanya untuk memantapkan rasa percaya diri menghadapi lembar jawab komputer.
Saat aku tak tak mampu melanjutkan sekolah
Bunda mengapa aku hanya sampai kelas empat SD. Hanya tinggal dua tahun lagi aku bisa menyelesaikan sekolah ini. Bunda …
Hari terus bergulir dan waktu bercerita. Si anak pemulung masih cemburu, ia mengadu pada bundanya. Bunda…,si jabang bayi dari istana kini jadi putri jelita. Ia telah menamatkan pendidikannya di benua biru. Bertitel dari universitas terhebat di bumi ini. Ia memiliki talenta yang mendekati sempurna. Jelita, tubuh indah dan sehat, smart dengan menguasai berbagai teknologi dan ilmu profesi. Bahkan ia tak perlu mengikuti ajang Miss Universe yang harus melalui tahap seleksi ketat untuk menjadi primadona. Ia pun magang telah merintis bisnis kecantikan. Ia dinobatkan sebagai wanita tercantik, ia kini menapaki jejak orangtuanya. Ia duduk di kursi parlemen di umur belia, ia mulai belajar tentang apa itu kekuasaan, kehormatan, dan kekuatan mengendalikan massa yang mengkritik. Tak ada celah untuk media menudingnya dengan hel negative, karena ia telah terbiasa dengan kekuatan jabatan dan tumpukan uang untuk membalikkan semua kekurangannya.
Bunda salahkah aku cemburu dengan sijelita dari istana itu??
Bukan aku tak bersyukur , tetapi limpahan keberuntungan baginya seakan tak mungkin kudapat mencicipinya walau hanya seteguk air putih dari keran istana. Begitu jauh jarak antara ia dan aku, walau sejatinya jarak kita tinggal dengan istana itutak lebih dari 5 kilometer.
Si anak pemulung hanya bisa meneruskan peran bundanya. Membantu sang ibu memungut plastik-plastik dan sampah yang bisa menghasilkan beberapa rupiah. Ia tak mampu berretorika dengan kehidupannya. Ia nyata menjadi gadis dengan baju lusuh, rambut kasar terurai, dan sandal jepit aus yang didapat dari tumpukan sampah.
Namun satu yang tak terkalahkan oleh malaikat manapun. Sujud syukurnya pada Ilahi, bakti luhurnya bagi sang bunda tak sanggup dikalahkan siapapun.
…Ups, saya tersadar dari tokoh imajiner yang saya perankan tadi. Kemana jalan cerita harus saya muarakan. Karena saya hidup di negeri yang penuh realitas akan mengguritanya kebusukan korupsi dan pilihkasihnya penegakan hukum, dan kemunafikan para pemimpinnya untuk mengakui kesalahan. Haruskah tokoh imajinerku berubah nasib menggantikan posisi si jelita di istana setelah bertemu sang pangeran tampan dan kaya raya?
Ini negeri bukan tempat tinggal Cinderella, ini negeri orang-orang yang haus akan dunia. Negeri yang separuh lebih dihuni orang-orang dengan pemikiran materealistis. Semua dihitung dengan uang, uang , dan uang.
Saya kembali menjadi si anak pemulung.
“ Saya tak mungkin menjadi si jelita. Ia dan aku memang berbeda, ia beruntung, dan aku akan tetap bersyukur. Aku melangkah mendekat ke bunda. Kini bunda telah keriput kulitnya, sering terbaring lemah di ranjang ringsek ini. Kurengkuh kakinya, dan kubiarkan ia mengelus rambut kusutku. Bunda takkan pernah tumpukan rupiah dan pundi-pundiemasmampu membeli kebahagiaanku atas kasihmu, membesarkan dan memberiku napas penghidupan. Bunda, aku takkan menunggu pangeran darinegeri manapun, aku takkan menunggu peri khayalan mengubah penampilanku menjadi putri dongeng, bahkan buah ajaib yang akan mengubah ketidakberuntunganku, takkan kumakan jika harus meninggalkanmu di gubuk kumuh ini.
Saat aku berumur 30 tahun
Bunda aku tak lagi iri melihat si jelita. Kini ia telah dipersunting pangeran anak pemilik saham terbesar di perusaan multinasional itu. Ia bahkan menjabat sebagai salah satu jajaran direksi. Pangeran tampan lebih memilihnya.Tentu karena sang pangeran tak pernah mampir ke kediaman kita. Mereka pasangan yang serasi, jelita dan tampan. Ternyata sang pangeran adalah teman sejak kecil si jelita. Tentu keluarga besar mereka saling mengenal dan akan terus menjaga kekerabatan. Anak-anak mereka akan terlahir seperti mereka dulu dilahirkan. Lingkaran kehormatan, kekuasaan, dan kemewahan akan diwariskan turun temurun kepada anak cucu mereka.
“…bu..aku pulang” membuyarkan lamunanku.
Akhirnya buah hatiku datang memotong kisahku sebagai anak pemulung.Yah aku harus kembali ke dunia nyataku. Kusambut pangeran kecilku, dan kuharap suatu saat kelak ia menemukan si jelita dengan hati semulia si anak pemulung, di negeri ini.
Salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H