Surabaya, 8 November 2024 - Pintar Pajak kembali mengadakan webinar perpajakan dengan mengusung tema "Manajemen Risiko Pelaporan SPT PPh Badan 2024," acara ini akan menghadirkan konsultan pajak, Levi Silalahi menjelaskan betapa pentingnya memahami manajemen risiko pelaporan SPT PPh Badan 2024, sebagai upaya untuk mengurangi risiko yang mungkin terjadi ketika wajib pajak tidak dapat menyetor atau melaporkan pajak. Dengan demikian, kita perlu untuk mengenal tentang pengelolaan risiko pelaporan SPT PPh badan 2024 ini, sebagai berikut:
PENGERTIAN BADAN
Sekarang kita akan membahas pengertian dari badan, sebenarnya apasih pengertian dari badan? menurut Levi Silalahi pengertian badan ialah "subjek pajak yang merupakan sekumpulan orang dan atau modal sebagai satu kesatuan, baik untuk melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksa dana."
SUBJEK PAJAK BADAN
Levi Silalahi menjelaskan bahwa badan merupakan subjek pajak. Subjek pajak badan itu sendiri dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu subjek pajak badan dalam negeri dan subjek pajak badan luar negeri.
Subjek pajak badan dalam negeri ialah badan yang didirikan di Indonesia atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria tertentu. Subjek pajak dalam negeri biasanya bisa berupa orang perorangan, badan atau warisan yang belum dibagi.
Sedangkan, subjek pajak badan luar negeri ialah badan yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia atau menjalankan usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia. Melalui Badan Usaha Tetap (BUT) badan luar negeri tetap dikenai pajak apabila menjalankan usaha atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tanpa melalui Badan Usaha Tetap (BUT). "Sementara itu, apabila badan yang tidak didirikan atau berkedudukan di Indonesia, yang dapat memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan usaha melalui Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia, itu juga termasuk dalam subjek pajak badan luar negeri," tambah Levi Silalahi.
KONSEP PENGHASILAN
Selanjutnya, kita masuk ke pembahasan konsep penghasilan, Apa sih penghasilan? Nah, penghasilan menurut Levi Silalahi "Berdasarkan undang-undang pajak penghasilan dari undang-undang nomor 36 tahun 2008 sudah di rubah menjadi undang-undang nomor 7 tahun 2021." Berdasarkan undang-undang tersebut mencakup beberapa ketentuan, yaitu:
1. Dalam pasal 4 ayat nomor 3 UU PPh yang mengatur jenis-jenis penghasilan yang  bukan objek pajak, jadi penghasilan yang termasuk dalam pasal tersebut tidak dikenakan pajak.
2. PPh Penghasilan yang merupakan objek pajak yang dikenakan PPh Final, pengertiannya terbatas yang diatur dalam pasal 4 ayat (2) UU PPh, dan diatur dengan PP.
3. Penghasilan yang merupakan objek pajak (Pasal 4 ayat (1) UU PPh) yang dikenakan tarif umum atau tidak final, pengertiannya semua penghasilan selain 2 di atas.
OBJEK PAJAK NON FINAL
Levi Silalahi menjelaskan bahwa PPh Badan Non Final merupakan jenis pajak penghasilan yang belum selesai atau masih diperhitungkan dengan jenis penghasilan lainnya. Objek pajak dari PPh Badan Non final dapat dikenakan tarif umum dalam pelaporan SPT Tahunannya. Objek pajak non final dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta, yaitu:
a) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham.
b) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota.
c) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha.
d) Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
e) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
2. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
3. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan.
4. Laba usaha.
6. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.
7. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian hutang.
8. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.
9. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu ditetapkan dengan PP (PP No.130 Tahun 2000 jo PMK 57/2010 Jo PMK 207/2015).
10. Premi asuransi termasuk reasuransi.
11. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari WP yang menjalankan usaha bebas.
12. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak. "Nah, sekarang kita akan membahas mengenai objek pajak tambahan berdasarkan UU No. 36 tahun 2008, yaitu:
1. Penghasilan dari usaha yang berbasis syariah memiliki landasan filosofi yang berbeda dengan kegiatan usaha yang bersifat konvensional. Namun penghasilannya tetap merupakan objek pajak
2. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (KUP)
3. Surplus Bank Indonesia adalah surplus Bank Indonesia menurut laporan keuangan audit setelah dilakukan penyesuaian atau koreksi fiskal sesuai dengan Undang-undang Pajak Penghasilan dengan memperhatikan karakteristik Bank Indonesia," tambah Levi Silalahi.
PPH FINAL
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2),15, 19, 22 UU PPh, pengertian dari PPh final adalah jenis PPh yang mengenakan pajak tidak atas dasar penghasilan neto, melainkan penghasilan bruto (tanpa dikurangi dengan biaya). PPh yang akan dipotong atau dibayar sendiri dari suatu penghasilan tertentu pada akhir tahun tidak akan diperhitungkan kembali sebagai kredit pajak dan tidak lagi diperhitungkan lagi dengan objek pajak lain dalam SPT Tahunan, walaupun sebagai data tetap dilaporkan dalam SPT Tahunan.
BIAYA YANG DAPAT DIKURANGKAN
Dapat diketahui bahwa, regulasi pajak memiliki peraturan yang cukup rumit. Tidak terkecuali tentang pemungutan pajak penghasilan (PPh). Ketika wajib pajak melakukan perhitungan Pajak Penghasilan (PPh), maka diperlukan menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak. Di mana jumlah tersebut dapat ditentukan berdasarkan pada penghasilan bruto yang telah didapatkan wajib pajak. Kemudian, penghasilan tersebut dikurangi dengan biaya-biaya.
Di mana biaya yang boleh dikurangkan pada perhitungan PPh telah diatur dalam Undang-undang. Biaya yang dimaksud tersebut adalah biaya secara langsung atau tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha. Biaya yang boleh dikurangkan dalam PPh biasanya meliputi:
1. Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (yang merupakan obyek PPh non final), termasuk Biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali PPh.