Budaya Kerja dalam Akuntansi
Dalam dunia akuntansi yang sering dipandang sebagai domain angka dan logika, siapa sangka bahwa budaya dan suasana hati dapat menjadi penentu utama keberhasilan? Ketika berbicara tentang budaya dalam konteks akuntansi, kita tidak hanya membahas kebiasaan kerja, tetapi juga bagaimana nilai-nilai sosial dan norma yang dianut suatu komunitas memengaruhi cara pengambilan keputusan.
Sebagai contoh, di Jepang, budaya disiplin dan kolektivisme mendorong sistem pengawasan yang lebih bersifat implisit. Perusahaan Jepang percaya bahwa pekerja akan menjalankan tugas mereka dengan penuh tanggung jawab tanpa perlu kontrol langsung yang ketat. Informasi yang diberikan kepada pekerja lebih terfokus pada penyelesaian tugas daripada pengawasan yang berlebihan.Â
Hal ini berbeda dengan pendekatan di Amerika, di mana pengawasan lebih eksplisit dan terstruktur. Pekerja Amerika cenderung mendapatkan semua informasi yang diperlukan, termasuk mekanisme kontrol untuk memastikan tugas mereka berjalan sesuai standar.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa pendekatan universal dalam akuntansi tidak selalu efektif. Dalam budaya yang mengedepankan kepercayaan dan tanggung jawab kolektif, kontrol yang terlalu ketat justru bisa dianggap tidak perlu.Â
Sebaliknya, dalam budaya yang menekankan individualisme dan akuntabilitas pribadi, pengawasan yang terstruktur menjadi norma. Maka, memahami budaya kerja menjadi kunci dalam mengelola perilaku akuntansi yang efektif dan efisien.
Namun, apakah budaya semata cukup untuk memastikan pengambilan keputusan yang etis dan akurat? Tentu saja tidak. Budaya hanyalah satu sisi dari koin. Sisi lainnya adalah faktor emosional yang kerap terabaikan yaitu suasana hati.
Suasana Hati sebagai Faktor Penentu dalam Keputusan Akuntansi
Jika budaya membentuk kerangka kerja dalam organisasi, maka suasana hati (mood) adalah faktor dinamis yang memengaruhi bagaimana individu bereaksi dalam situasi tertentu. Dalam akuntansi, keputusan yang diambil auditor, akuntan, atau manajer keuangan sering kali bergantung pada kondisi emosional pada saat itu.
Penelitian menunjukkan bahwa suasana hati dapat secara signifikan memengaruhi akurasi dan kewaspadaan dalam pengambilan keputusan keuangan. Auditor yang berada dalam suasana hati positif cenderung lebih optimis dan mungkin mengambil risiko yang lebih besar. Auditor lebih fokus pada peluang daripada potensi ancaman, yang terkadang membuat kurang berhati-hati dalam mengevaluasi risiko.Â
Sebaliknya, auditor yang merasa cemas atau takut cenderung membuat keputusan yang lebih konservatif dan berhati-hati, bahkan jika kondisi objektif sebenarnya tidak memerlukan kewaspadaan berlebih.