“Tuhkan, bener! Kamu suka dihajar sama si Adam, ya?” Pertanyaan Juli membuat mataku melotot kaget. Ternyata Juli tau jika Adam sering menghajarku? Lalu apa tujuan dia datang kesini? “Awas aja, aku bakal hajar balik si Adam di nirwana!” teriak Juli lantang membuatku terkesiap dan sedikit panik. “Pe-pelanin dikit suara kamu, Jul! Sekarang udah jam istirahat, sebentar lagi Adam kesini.” bisikku sembari menepuk pundak Juli agar ia memelankan suaranya. “Kalo kamu tau dia bakal kesini, kamu kenapa masih diem disini? Kamu takut sama dia? Kamu takut sama Adam yang bahkan udah gak ada?”
Aku terdiam seribu bahasa. Adam... sudah tidak ada? Apa maksudnya? Tunggu! Juli baru saja bilang dia akan menghajar Adam di nirwana, kenapa dia tak menghajar Adam di dunia? Ucapan Juli membuat kepalaku pusing tujuh keliling. “Jul, maksudnya Adam udah gak ada? Kamu bercanda, ya?”
Aku berusaha membaca sorot netra Juli, mencari tau apakah dia bercanda dan sedang menggodaku saja. Tapi sorot mata coklat Juli semakin menggelap, dia benar-benar serius kali ini. “Gautam... Kamu kan yang bunuh Adam. Masa kamu lupa?” Juli mengatakan hal semengerikan itu dengan senyum lebar yang bangga. Aku semakin bingung, larut dalam pikiranku yang bahkan sudah tidak sehat. Aku benar-benar sudah tidak waras!
Aku berdiri dengan kaki lemas dan melangkah menjauh. Bukan hanya menjauh dari Juli, tapi menjauh dari dunia yang palsu ini. Aku berlari menuruni tangga dan menabrak setiap orang di lorong sekolah, tak peduli mereka berjatuhan ke lantai. Aku mau kabur! Aku mau lari! Aku mau pulang!
“Ibu!” Aku membuka pintu rumah dan hanya menemukan perabotan yang berdebu. Rumahku seperti kandang hantu yang tak terurus. Aku berjalan maju perlahan sambil terus memanggil ibuku, berharap ada jawaban dari dia yang menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. “Ibu! Ibu dimana?!” Aku mulai frustasi. Semuanya aneh! Juli aneh! Ibu aneh! Persetan!
“Gautama.”
Itu bukan suara ibu. Aku menolehkan kepalaku dan menemukan ayahku yang berdiri di pintu. Darahku langsung mendidih menatap bajingan yang baru pulang setelah sekian lama. Aku mengambil pisau yang sudah memiliki bercak darah yang sudah mengering, aku bahkan tak peduli darah siapa ini. Aku mengayunkan pisau ke arah ayahku sendiri, ke arah seseorang yang seharusnya aku jadikan panutan.
Tapi tanganku berhenti, pisau itu berjarak beberapa senti tepat di depan wajah ayahku. Ayahku terkekeh pelan dan menatap ke arahku dengan sorot mata yang aku benci. “Ayah sudah mati dibunuh kamu ratusan kali, Gautam. Kalo kamu seperti ini terus, kamu sendiri yang akan gila.” Ucapan ayahku membuatku mengernyitkan dahi.
“Ikhlaskan. Atma mu sudah kotor di balut darah mendidih dan balas dendam. Ikhlaskan. Biarkan orang-orang yang kamu benci tenang di nirwana. Ikhlaskan. Sukma orang kamu cintai sudah tidak ada. Ayah minta maaf saat itu pulang hanya untuk merebut nyawa orang yang paling kamu sayang.” Pisau yang ada ditanganku jatuh ke lantai dengan suara nyaring. Kakiku lemas bahkan terasa mati rasa. Aku ikut terjatuh di lantai, seolah tak berdaya menerima fakta.
Mataku tiba-tiba menoleh ke arah kalender di dinding. Desember 2005. Namun mataku tiba-tiba membulat sempurna saat melihat beberapa tanggal yang diberi tanda disana. “15 Desember 2005. Ulang tahun Juli & Anniversary pertama.” Tunggu. Aku mempunyai hubungan dengan Juli, tapi bagaimana bisa?
“Gautam.” Kini giliran suara Juli yang aku dengar. Aku menoleh perlahan dan Juli menatapku dengan tatapan khawatir dan sedih. “Maaf... Aku gak bisa jaga diri aku. Kalo aku waktu itu gak jalan sendiri pas pulang sekolah... Kita pasti bisa rayain ulang tahun aku dan anniversary pertama kita pacaran. Andai pas itu aku gak sok berani ngehadapin Adam, pasti kamu gak perlu lakuin ini semua.”