Mohon tunggu...
DW.
DW. Mohon Tunggu... Lainnya - sedang sekolah (gizi)

menulis untuk #mengenal-Nya, menulis untuk #belajar, menulis untuk #bahagia, menulis untuk #menemukan diri.

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Backpacker Ilmiah di Kota Jogja

12 Januari 2023   16:56 Diperbarui: 12 Januari 2023   17:16 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ditulis pada tahun 2013, 

Setidaknya Jogja bukanlah kota yang memberikan kesan mendalam hingga perjalanan menjelang Ramadhan 1424 H kemarin menjadikan Jogja kota yang begitu istimewa, setidaknya untuk pergumulan pemikiran, sejarah, dan pendidikan di dalamnya yang dipadukan dengan nuansa kota yang begitu ciamik dengan gang-gang kecil yang bertebaran. Sepertinya apapun ada di Jogja, miniatur keberagaman etnis.

Perjalanan 3 hari 2 malam Kami bermula di Kaliurang, mengunjungi saudara seorang teman saya. Kami memanggilnya Nek Is. Beliau begitu ramah dengan senyum hangat yang menyambut kedatangan Kami. Waktu perbincangan Kami dengan beliau yang begitu singkat disebabkan petualangan berikutnya telah menanti kami di kota ini.

Esok pagi, Kami meneruskan langkah menuju perpustakaan Ignatius, perpustakaan yang terletak di Jalan Abu Bakar Ali (dekat Malioboro) ini memiliki koleksi buku hingga 250.000, bahkan koleksi jurnal Ulumul Qur'an yang dahulu begitu melegenda menjadi salah satu bagian dari perpustakaan ini.

Tapi sayang sekali, ternyata kunjungan Kami pada hari itu harus ditunda dahulu disebabkan perpustakaan tutup. Perpustakaan Ignatius terhubung dengan asrama untuk para calon pastur. Apabila akan memasuki perpustakaan di sebelah kiri, Kita dapat melihat halaman yang luas disertai bilik-bilik di sebelah kanan sebagai tempat tinggal para calon pastur tersebut. Dahulu, perpustakaan ini hanya untuk kebutuhan internal, namun seiring perkembangannya perpustakaan ini akhirnya diperuntukkan untuk masyarakat umum.

Maka, Kami menganyunkan kaki kami menuju Perpustakaan Jogjakarta dengan menaiki bus umum. Perpustakaan yang ramai dan nyaman, itulah kesan pertama saya ketika tiba disana. Ternyata koleksi buku disana tidak terlalu banyak, akan tetapi fasilitas wifi dan kenyamanan tempat ini menjadi magnet tersendiri bagi masyarakat Jogjakarta.

Alhamdulillah, saya mendapat oleh-oleh tulisan Yunani dari sana. Ehm, sepertinya saya mulai tertarik mempelajari berbagai tulisan dari bahasa-bahasa yang pernah menjadi mother language dunia. Pada Abad 4 M, bahasa Yunani menjadi bahasa yang digunakan oleh sebagian besar penduduk dunia saat itu, hal itu juga yang menjadi alasan penerjemahan Alkitab dari bahasa Ibrani ke dalam bahasa Yunani, yaitu karena orang Yahudi banyak yang menggunakan bahasa Yunani.

Jam menunjukkan hampir jam 14.00 saat itu, Kami segera memutuskan ke komplek Taman Pintar untuk menunaikan sholat, selepas itu Kami mengunjungi sebentar toko buku yang terkenal di kota Gudeg ini, shopping. Toko buku yang unik, karena mengelilingi toko-toko buku ini saja dapat membuat otot rectus femoris, vastus medialis, dan vastus lateralis saya bekerja keras. Selain itu, buku yang dijual disini juga selain lengkap juga unik. Lucu sekali saat saya menemukan sebuah buku panduan percakapan bahasa Indonesia untuk orang Jerman disini, kok iso to? Apa bule Jerman pernah menjual bukunya disini ya? Hehehe..

Lurus dari komplek toko buku tersebut, saya menemukan pameran seni yang bertajuk "ART JOG 13" di taman budaya Jogjakarta. Saya sebelumnya hanya pernah melihat pameran kesenian di Solo dan sekali di Jakarta, tetapi di Jogjakarta ini beyond the imagination. Karya seni disini unik, bukan hanya dari segi isi, tapi juga bahan yang digunakan, sampai-sampai saya ditegur dua kali oleh panitia disana karena memegang lukisan. Salah satu yang paling berkesan bagi saya adalah catatan harian seorang pegawai EIC yang melihat kekejaman orang-orang VOC yang datang ke tempat itu (Ambon) dimana diceritakan VOC tidak hanya mengusir EIC tapi juga membantai orang-orang lokal disana. Buku harian tersebut dengan apik dituangkan dalam wujud kertas-kertas yang biasa dipakai jaman dahulu.

Hari itu adalah hari pergantian bulan Syaban ke Ramadhan. Alhamdulillah, Allah masih memberikan kesempatan memasuki bulan-Nya yang Agung. Kami memutuskan untuk sholat tarawih di Masjid Kampus UGM, ehm..sambil bernostalgia merasakan Ramadhan di kampus kembali.

Dok. pribadi
Dok. pribadi

Nasi bungkus gratis yang dibagikan saat berbuka menjadi salah satu penolong Kami dalam menghemat pengeluaran saat itu, ditambah suasana Masjid Kampus UGM yang romantis (karena makannya di dekat danau) menjadikan malam itu malam yang sempurna. 

Sebuah hal yang luar biasa ketika mengetahui bahwa yang akan khutbah pada sholat tarawih hari itu adalah Prof. Amin Rais. Beliau mengingatkan untuk tetap menjaga kesatuan umat Islam meskipun belum ada kesatuan dalam menetapkan 1 Ramadhan.

Esok pagi, Kami kembali menyusun rencana mendatangi perpustakaan Ignatius. Sebelum berangkat ke perpustakaan Ignatius, Kami menyempatkan berkunjung ke Pusat Kebudayaan Jerman dan Pusat Kebudayaan Jepang. Meskipun, Jerman adalah negara sekular-liberal, impian saya untuk belajar kesana agaknya tidak pernah padam.

Setelah mengunjungi kedua tempat itu, Kami kemudian langsung menuju Perpustakaan Ignatius. Disana, saya cukup terkesima dengan sistem pengorganisasian, administrasi, dan kelengkapan disana. Bahkan Kami tidak boleh memfotokopi satu buku utuh. Sepertinya itu merupakan salah satu upaya untuk menjaga koleksi perpustakaan agar tidak hilang perlahan-lahan.

Kami berada di perpustakaan tersebut hingga perpustakaan tutup yaitu jam 13.00, tujuan Kami selanjutnya adalah menuju masjid Syuhada, yang terletak tidak begitu jauh dari sana. Teman saya mengatakan di masjid tersebut lah tempat pembantaian 6000 ulama oleh Amangkurat I. Akan tetapi berita ini ternyata perlu dikoreksi karena masjid tersebut bukan saksi bisu pembantaian tersebut. Masjid ini dinamakan syuhada karena sebelumnya di tempat masjid ini berdiri adalah makam para syuhada yang kemudian dipindahkan ke Taman Makan Pahlawan. Masjid ini didirikan pada tahun 1949 dengan biaya sebesar 1 juta rupiah. Woow, besar sekali ya nominal 1 juta rupiah pada saat itu.

Dok. pribadi
Dok. pribadi
Dok. pribadi
Dok. pribadi

Entah mengapa, saya sekarang jatuh cinta dengan Jogjakarta, bahkan Prof. Wan Mohd Wan Nur Daud (cendekiawan asal Malaysia) mengenang kota ini sebagai kota yang indah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun