Latar Belakang
Laut Cina selatan menjadi isu yang tak henti-hentinya diperbincangkan. Sengketa ini sangat kompleks karena menyangkut banyak aspek, terutama geopolitik. Negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan saling tumpang tindih klaim wilayah dan masih menjadi sengketa hingga kini.
laut cina selatan memiliki potensi sumber daya alam yang kaya seperti gas alam, minyak, dan ekosistem laut. Laut Cina Selatan merupakan wilayah potensial dan sangat strategis, baik bagi Asia Tenggara maupun negara lainnya seperti Cina. Letaknya berada di sebelah barat Pulau Subi Besar dan Kepulauan Natuna Besar (Groot Natoena Elladen) berada di sebelah barat Pulau Natuna atau Pulau Bunguran Besar (Susmoro, 2019). Wilayah Laut Cina Selatan secara luas terdiri dari daratan dan perairan dari gugusan dua pulau besar, yaitu Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel, dan juga dari bantaran Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough, yang terbentang meluas dari Singapura, Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan. Laut Cina Selatan menjadi topik sengketa yang ramai diperbincangkan hingga kini, dengan negara-negara yang saling klaim atas kepemilikan berbagai pulau dan kawasan perairan di wilayah tersebut (Vadhya, 2023). Hingga kini, ada berbagai negara yang melakukan klaim atas wilayah ini seperti Cina, Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, Malaysia hingga Indonesia.
Laut Cina Selatan menjadi perebutan berbagai negara, terutama karena beberapa faktor ini, yaitu karena potensi Laut Cina Selatan yang kaya akan sumber daya alam terutama minyak, gas bumi, dan ekosistem laut. Laut Cina Selatan juga merupakan wilayah yang sangat strategis, menjadi jalur perdagangan tersibuk dan letak perairan yang strategis, menjadi jalur perlintasan perdagangan pada kapal-kapal internasional yang melewati selat malaka, penghubung perdagangan dari Amerika ke Asia, Eropa ke Asia, juga sebaliknya. Cina memperkirakan ada sebesar 213 miliar barel cadangan minyak di wilayah ini.
Sengketa Laut Cina Selatan menjadi isu yang kritis bagi dunia, karena saat ini potensinya mengganggu stabilitas kawasan dan mengubah keseimbangan kekuatan di wilayah Asia Pasifik, terutama dalam beberapa tahun terakhir (Junef, 2018). Konflik ini semakin memanas ketika Cina memutuskan menggunakan konsep "nine dash line' atau sembilan garis putus-putus untuk menandai wilayah yang diklaimnya, walaupun klainya tersebut tidak diakui oleh UNCLOS sebagai konvensi hukum laut internasional.
Dimensi Geopolitik
Sengketa ini bermula dari tumpang tindih klaim wilayah laut cina selatan. Konflik ini semakin memanas setelah Cina menyatakan bahwa Laut China Selatan adalah miliknya. Cina mengklaim berdasarkan historis, bahwa dari 2000 tahun yang lalu, kawasan Spratly dan kepulauan paracel adalah kepunyaannya. Pada tahun 1947, Pemerintah Cina mengeluarkan peta yang rinci tentang klaim kedaulatan Cina atas Laut Cina Selatan. Klaim Cina ini mendapat kecaman dan penolakan dari negara yang langsung berbatasan dengan Laut Cina Selatan. Salah satunya adalah Filipina, Filipina juga menyatakan klaim yang sama dengan Cina, menyatakan bahwa berdasarkan batas geografis, Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel adalah miliknya. Demikian juga, Brunei Darussalam, Malaysia yang sama-sama mengklaim wilayah laut Cina Selatan berdasarkan pada Zona Ekonomi Ekslusif matau ZEE yang diadopsi dengan UNCLOS 1982.
Laut Cina Selatan memiliki implikasi geopolitik yang signifikan. Kekayaan sumber daya alam dan lokasi yang strategis menyebabkan wilayah ini sangat penting bagi berbagainegara. Cina sebagai negara yang mengklaim Laut Cina Selatan secara besar dan hampir di seluruh wilayah Laut Cina Selatan. Cina membuat nine-dash line atau sembilan garis putus- putus sebagai alat klaimnya. Hal ini mendapat kecaman karena tidak sesuai dengan hukum internasional yang ada. Klaim Cina hanya didasarkan pada historis, bukan pada hukum internasional. Cina melakukan pendekatan yang tegas dan ekspansif. Cina melakukan latihan militer secara sepihak di kawasan Laut Cina Selatan, sehingga semakin menyebabkan security dilema dan memicu eskalasi konflik di kawasan ini. Hal ini menuai kritik internasional.
Berbagai negara memiliki respon yang berbeda-beda. Berbagai negara mengadopsi pendekatan yang berbeda. Contohnya terlihat pada sikap negara Filipina dan Vietnam yang telah menempuh cara diplomatik dan cara hukum untuk menunjukkan penolakan mereka terhadap klaim Laut Cina Selatan. Upayanya terlihat pada dialog regional, saat mereka mengajukan kasus ini ke pengadilan internasional, dan mencari dukungan dari negara lain juga internasional. Aktor lain seperti negara Malaysia dan Brunei mengambil sikap diplomatis dan lebih berhati-hati dalam menghindari konfrontasi dan menjaga hubungan yang baik dengan negara yang terlibat.
Dalam konflik ini, ada berbagai negara yang mengklaim kepemilikan Laut Cina Selatan berdasarkan pada historis, geografis ataupun hukum tersendiri yang mendukung klaimnya. Cina mengklaim wilayah Laut Cina Selatan dengan sebutan "Nine-dash line", yang mencakup kepulauan paracel dan Spratly. Begitu juga Vietnam (Kepulauan Paracel dan Spratly), Filipina(ZEE dan Kepulauan Spratly), Malaysia (ZEE dan Kepulauan Spratly), Brunei (ZEE dan Landas Kontinen), dan Indonesia (ZEE di sekitar Kepulauan Natuna) yang melakukan klaim tersendiri atas wilayah ini.
Pada awalnya Indonesia memandang bahwa konflik Laut Cina Selatan yang melibatkan beberapa negara Asia Tenggara dan Cina, tidak melibatkan Indonesia di dalamnya. Indonesia berstatus non-claimant state dalam konflik ini. Namun Indonesia memusatkan perhatiannya semenjak kapal-kapal nelayan Cina mulai memasuki perairan Indonesia di Natuna pada tahun 2019. Hal ini menyadarkan dan membuka mata Indonesia bahwa terdapat ancaman terhadap wilayah kedaulatan Indonesia. Sebelum insiden 2019, sebenarnya Indonesia dan Cina sudah sering bertentangan tentang hal ini. Pada 2016, Bu Retno Marsudi sebagai menteri luar negeri Indonesia membuat kota diplomatik terhadap pemerintah Cina karena kapal-kapal ikan nelayan Cina masuk ke dalam perairan Indonesia yaitu Kepulauan Natuna.
Sengketa ini mempunyai dampak terhadap perimbangan kekuatan di kawasan Asia- Pasifik dan mengganggu stabilitas keamanan regional. Selain aktor negara yang berbatasan, ada aktor lain yang ikut campur dalam sengketa ini, seperti Amerika Serikat, yang mana dalam hal ini untuk memperkuat kepentingan geopolitiknya dalam Laut Cina Selatan. Laut Cina Selatan menjadi salah satu fokus manuver geopolitik yang mempunyai potensi pada tatanan internasional. Hingga kini, tidak ada pertanda bahwa sengketa ini akan berakhir, bahkan kondisinya makin memanas. Negara-negara yang terlibat juga mengalami ketegangan geopolitik. Hingga kini, ASEAN bersama negara terlibat bersama menciptakan berbagai cara damai dalam konflik ini, seperti DOC 2002, Code of Conduct yang masih berlangsung, mengadakan ASEAN Forum Regional, dan mengambil berbagai langkah diplomatik dan hukum secara bilateral kepada Cina.
Dampak Sengketa Laut Cina Selatan
1.Dampak Geopolitik.
Ketegangan Hubungan diplomatik antara Cina dan negara yang terlibat.
2.Dampak Keamanan.
Meningkatnya aktivitas militer seperti Latihan militer sepihak di Kawasan Laut Cina Selatan sehingga mengancam keamanan negara di Kawasan Laut Cina Selatan serta menimbulkan Security dilemma.
3.Dampak Ekonomi.
Kesulitan akses jalur perdagangan, Kerugian ekonomi karena adanya pembatasan wilayah dan gangguan jalur perdagangan dari Cina.
4.Dampak Lingkungan.Â
Rusaknya ekosistem laut dan perebutan sumber daya alam.
Kesimpulan
 Laut Cina Selatan menjadi isu geopolitik yang berdampak besar bagi wilayah yang berkonflik. Laut Cina Selatan merupakan Kawasan yang potensial dan diperebutkan oleh berbagai negara. Kekayaan sumber daya alam dan letaknya yang strategis menjadi alasan utama wilayah ini diperebutkan. Dalam konflik ini, ada berbagai negara yang mengklaim kepemilikan Laut Cina Selatan berdasarkan pada historis, geografis ataupun hukum tersendiri yang mendukung klaimnya. Cina mengklaim wilayah Laut Cina Selatan dengan sebutan "Nine-dash line", yang mencakup kepulauan paracel dan Spratly. Begitu juga Vietnam (Kepulauan Paracel dan Spratly), Filipina(ZEE dan Kepulauan Spratly), Malaysia (ZEE dan Kepulauan Spratly), Brunei (ZEE dan Landas Kontinen), dan Indonesia (ZEE di sekitar Kepulauan Natuna) yang melakukan klaim tersendiri atas wilayah ini. Klaim Cina e mendapati banyak kecaman karena tidak sesuai dengan hukum internasional yang ada. Negara yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan memberikan respon atas hal ini. Hingga kini, ASEAN Bersama negara yang terlibat melakukan upaya penyelesaian seperti melalui forum hingga code of conduct.
Referensi
Ali Aziz, F. R. (2017). Analisis Geopolitik Abad 21 DI Indo-Pasifik Dan Persiapan Indonesia Dalam Menyikapi Konflik DI Laut Cina Selatan. Jurnal Lemhannas RI, Vol 11 No.3, 187-201.
Boy, A. (2021). 1Mengantisipasi Potensi Konflik di Laut Cina Selatan Dalam PerspektifPertahanan dan Keamanan Negar. Lusor Analyis.
Dicky, R. (2024). ANALISIS KONFLIK SENGKETA KEPEMILIKAN LAUT CINA SELATAN TERHADAP KEPENTINGAN NASIONAL INDONESIA.
Ginna, V. (2023). Kebijakan Luar Neeri Tionkok Dalam Dinamika Konflik Laut China Selatan. Universitas Komputer Indonesia.
Muhar, J. (2018). Sengketa wilayah maritim di Laut Tionkok SelatanJurnal Penelitia Hukum De Jure. Jurnal penelitian hukum de jure, 219-240.
Rohmat Agus, A. N. (2024). Sengketa Laut Cina Selatan: Analisis Realis Terhadap Perebutan Kekuasaan, Respon Regional, Dan Implikasi Geopolitik. Jurnal Syntax Admiration, Vol 5, No.2, 579-591.
Roza Rizki. Partogi Poltak, M. S. (2013). Konflik Laut Cina Selatan dan Implikasinya Terhadap Kawasan. Jakarta: P3DI Setjen DPR RI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H