Penulis:
Arif Ilmiyawan, Nanda Kurniasari, Wulan Ayu Lestari, Christine Wulandari, Samsul Bakri dan Hari Kaskoyo
Program Studi Magister Kehutanan, Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
Apakah Kebijakan Selalu Berperanan Penting?
Ada pepatah yang mengatakan, di tengah pusaran kegelapan, kejahatan kerap dimaklumi sebagai kewajaran. Â Dalam konteks pengelolaan hutan di Indonesia, terutama hal-hal yang menyangkut mengenai perubahan luasan hutan dan kawasan hutan mungkin pepatah tersebut bisa digunakan. Â Tidak dapat dipungkiri, semakin meluasnya kebijakan dengan dalih untuk menyejahterakan masyarakat malah semakin banyak permasalahan yang timbul dari suatu kebijakan tersebut.Â
Disahkannya suatu kebijakan bisa saja menjadi acuan yang baik atau bahkan boomerang bagi masyarakat maupun pemerintah. Â Tapi bukankah segala sesuatu seharusnya dibuat berdasarkan pertimbangan dan kebijaksanaan?. Â Proses-proses dari kebijakan seharusnya tidak hanya ditandai dengan proses pembuatan peraturan perundang-undangan sesuai dengan tatanan teknis, karena hal itu hanya salah satu bagiannya. Â
Ada hal-hal lain yang nyatanya tidak diketahui, bahwa hal yang terpenting adalah memahami bahwa pembuatan kebijakan merupakan bagian dari proses politik yang di mana ada pendekatan-pendekatan yang perlu diperhatikan dan saling membutuhkan. Â Misalnya saja, ada kepentingan, pengetahun yang harus dinarasikan dalam kebijakan, dan beberapa jaringan yang mungkin terkait. Â Saat ini, hal-hal tersebut masih sering dikesampingkan dalam proses pembuatan kebijakan yang akhirnya menyebabkan kekeliruan dan menimbulkan kekacauan karena adanya kebijakan yang saling tumpang tindih. Â Pada akhirnya, implementasinya menjadi sulit, campur aduk, dan kompleks, tidak ada hal-hal seperti persetujuan dan keputusan yang dapat dirajut bersama.
Perlunya Kebijakan sebagai Dasar Pengelolaan Hutan Berkelanjutan
Pada tahun 1991, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 67/Kpts-II/1991 tanggal 31 Januari 1991 tentang Penunjukan Areal Hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Lampung berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan sebagai kawasan hutan, luas Kawasan Hutan seluas 1.237.200 Ha. Â
Pada tahun 1999 luas kawasan hutan di Provinsi Lampung berkurang, hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 416/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Lampung berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan sebagai kawasan hutan seluas 1.144.512 Ha. Â Pada tahun 2000 kawasan hutan di Provinsi Lampung berkurang lagi, hal ini sesuai Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Januari 2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di wilayah Provinsi Lampung seluas 1.004.735 Ha (28,45% dari luas wilayah).
Pasca terbitnya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang pro investasi dan peningkatan tenaga kerja. Kebijakan ini merubah beberapa ketentuan pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan diantaranya pasal 18 ayat 2 yang sebelumnya diatur mengenai luas kawasan hutan yang dipertahankan minimal 30% dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Saat ini, sesuai regulasi tersebut luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau. Â Hal ini berpotensi memberi peluang berkurangnya luas kawasan hutan di Lampung. Â Artinya ada ancaman kerusakan hutan di Lampung yang semakin meningkat dan masalah sumberdaya manusia berupa perambahan belum terpecahkan.
Apakah TORA merupakan Kebijakan Pro Rakyat?
Selain laju degradasi hutan yang semakin meningkat, kehutanan Indonesia juga memiliki beberapa permasalahan seperti kurang berkembangnya investasi di bidang kehutanan, rendahnya kemajuan pembangunan hutan tanaman, kurang terkendalinya illegal logging dan illegal trade, merosotnya perekonomian masyarakat di dalam dan sekitar hutan, serta meningkatnya luas kawasan hutan yang tidak terkelola secara baik sehingga perlu dilakukan usaha yang bersifat strategis baik dalam bentuk deregulasi maupun debirokratisasi (Ruhimat, 2010).Â
Selain permasalahan tersebut, permasalahan lain yang ada dalam kawasan hutan di Provinsi Lampung yaitu adanya desa definitif dalam kawasan hutan yang terindikasi sejumlah 221 memiliki sertifikat tanah dalam kawasan hutan serta konflik tenurial lainnya dalam kawasan hutan. Pelaksanaan pengalokasian, pendistribusian dan pemberian hak atas tanah dimaksudkan kepada masyarakat, badan hukum dan instansi pemerintah, yang selama ini telah memanfaatkan dan menguasai secara fisik tanah tersebut, yang mana diatur dan ditetapkan pedoman dan pelaksanaannya melalui Peraturan Daerah (PERDA) Provinsi Lampung Nomor 6 Tahun 2001 tanggal 22 Oktober 2001 tentang Alih Fungsi Lahan dari Kawasan Hutan Produksi yang dapat di Konversi (HPK) seluas 145.125 Ha menjadi kawasan bukan HPK dalam rangka pemberian Hak Atas Tanah.
Pada tahun 2022, Presiden RI, Joko Widodo memberikan Surat Keputusan (SK) Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) sebanyak 58 SK di Provinsi Lampung. Â TORA merupakan program pemerintah yang memberikan kepastian kepada masyarakat untuk memiliki legalitas hak atas tanah di dalam kawasan hutan. Â Dalam prakteknya, TORA tidak diberikan kepada semua masyarakat, tetapi diperuntukan hanya bagi masyarakat yang sudah terlanjur menggunakan kawasan hutan baik untuk pemukiman, fasilitas sosial, dan fasilitas umum lainnya. Adanya pengecualian ini mengakibatkan banyaknya free rider yang berharap akan memiliki lahan kelola yang lokasinya di hutan.
Apakah TORA menjadi Solusi atau Justru Menimbulkan Masalah Baru?
Saat ini TORA bagaikan sebuah regulasi yang diibaratkan dua sisi mata uang. Pada satu sisi, TORA ada dengan maksud sebagai solusi bagi permasalahan kawasan hutan yang sudah banyak beralih fungsi sebagai akibat dari penggunaan kawasan hutan oleh masyarakat.  Disisi lain, adanya TORA dapat menjadi peluang semakin berkurangnya luasan kawasan hutan, karena pada umumnya masyarakat akan berbondong-bondong dan juga banyak free rider yang akan memanipulasi kondisi di lapang agar mememnuhi syarat untuk mengajukan lahan garapan mereka di dalam kawasan hutan sebagai objek TORA. Â
Dengan demikian, tentu masalah baru akan muncul yaitu berkurangnya luasan hutan di suatu lokasi karena bukti-bukti yang dimiliki masyarakat seperti yang dipersyaratkan program TORA. Berdasarkan kondisi ini maka perlu segera adanya peninjauan ulang regulasi mengenai program TORA, kemudian di sisi yang lain untuk mengatasi keterlanjuran yang sudah terjadi di lapang perlu lebih dikuatkan program-program pemberdayaan masyarakat dalam mendukung kelestarian fungsi kawasan hutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H