Bapak kepala dusun pada waktu itu sempat bercerita, bahwasanya, panen dalam tahun itu sangat menurun. Banyak hama tikus dan wereng. Belum lagi kalau musim hujan dan air sungai Bengawan Solo naik. Auto gagal panen.Â
Sebelum mengikuti kegiatan ruwatan, saya hanya diam saja mendengar cerita ini. Yah, mau komentar bagaimana juga, saya sendiri baru pertama kali datang ke tempat tersebut.
Siang hari, ketika waktunya pagelaran wayang ruwat, di punden desa, di tengah kuburan pula, saya duduk dan mengamati. Entah kenapa, saya sangat fokus sekali pada waktu itu. Lakon cerita yang dimainkan adalah Mbok Sri Balik Mulih.Â
Mbok Sri adalah penyebutan bagi Dewi Sri, Dewi Padi alias Dewi Kesuburan. Lakon ini berisikan harapan masyarakat desa, semoga pada tahun berikutnya, kesuburan akan datang ke desa ini, disertai dengan panen yang baik.
Menjelang akhir pagelaran, setelah goro-goro, saya ingat sekali, dalang membaca naskah yang entah milik tokoh siapa, yang isinya adalah segala macam aturan dan tata cara pertanian tradisional, mulai dari sebelum mengaliri sungai, menanam padi, menentukan waktu tandur dan panen, hingga segala macam solusi untuk mengatasi hama pertanian.Â
Saya terkejut. Ilmu pertanian dan ilmu perbintangan yang dikatakan sebagai salah satu kecerdasan asli bangsa Indonesia, sedang ditunjukkan dihadapan saya. Bahkan kemudian, saya mengejar naskah lakon Mbok Sri Mulih ke beberapa dalang, saya minta ijin untuk mengcopy, saya baca bagian akhir, masih tidak menemukan jejak tertulisnya. Plis, jika kalian ada yang punya naskah yang isinya tentang ini, tell me. Saya minta ijin untuk mengcopy.Â
Selesai pagelaran, masih ngopi bersama pak kadus, saya bertanya. Apakah masyarakat di sini masih melakukan segala macam jenis ritual-ritual ketika hendak melakukan tandur dan panen?Â
Beliau menjawab, ada yang masih, ada yang sudah tidak.Â
Saya menghela nafas, kemudian berkata, "Pak, wayang Mbok Sri Mulih tadi, ada panduan dan tata cara pertanian tradisional. Termasuk cara menghitung hari menggunakan perbintangan, dan cara mengatasi hama, baik secara fisik maupun non fisik. Mungkin bisa njenengan lakukan, karena pesan dalam wayang itu diturunkan dari generasi ke generasi, bisa saja itu adalah solusi yang njenengan cari."
Pak kadus kaget, apakah benar dalam wayangan tadi ada hal seperti itu. Saya ngeyel menjawab ada.
Beberapa waktu kemudian, saya mencoba melakukan small riset ke desa tersebut, ternyata memang orang-orang di sana, menonton wayang hanya sampai fase goro-goro. Setelah itu, bubaran dan ambil makanan. Tidak ada yang mendengarkan fase akhir dari sebuah pagelaran wayang.Â