Masuk ke era Indonesia merdeka hingga sekarang, konflik kembali terjadi. Para bangsawan atau priyayi yang memiliki tanah luas pada masa pemerintah kolonial, harus mengalami penyesuaian kembali. Tanah -- tanah miliki perusahaan swasta, milik pemerintah kolonial, disesuaikan kepemilikannya sesuai dengan jaman  yang sudah berganti.Â
Pemerintah RIS pada tahun 1949, Â setelah menandatangani Konferensi Meja Bundar (KMB) memberikan pengakuan hak orang asing akan tanah, yaitu hak konsesi dan hak erfpacht serta hak untuk mengusahakan selanjutnya.Â
Pendudukan lahan oleh petani dengan demikian memiliki hukum semu sementara pengusaha perkebunan memiliki hukum yang sah. Konflik kembali  terjadi.Â
Karena konflik yang semakin menguat, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Darurat No 8 tahun 1954 tentang pemakaian tanah perkebunan hak erfpacht oleh rakyat, bahwa pendudukan lahan tidak dinyatakan sebagai melanggar hukum dan penyelesaiannya diupayakan pemerintah melalui pemberian hak dan perundingan antara pihak yang bersengketa.
Konflik Tak Pernah Usai
Persoalan pertanahan memang persoalan yang sangat sensitive. Dari warisan hingga kepemilikan pribadi. Tanah sangat erat kaitannya dengan kehidupan manusia hingga dalam masyarakat Jawa ada sebuah falsafah  yang berbunyi sadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi pati. Tanah memang tempat  dimana manusia bisa  bertempat tinggal, bisa bercocok tanam,  dan  bertahan hidup. Oleh karena  itu, gesekan -- gesekan  yang diakibatkan  oleh kepemilikan tanah tidak pernah bisa dihindari.
Indonesia, setelah merdeka tahun 1945 hingga tahun ini  memasuki tahun  2022, konflik agraria datang dan pergi, muncul lalu hilang kembali. Utamanya adalah konflik-konflik yang melibatkan perusahaan -- perusahaan besar dengan  masyarakat-masyarakat akar rumput, yang entah kenapa sangat sulit untuk di-blow up. Â
Konflik agraria  di Indonesia tak akan pernah usai selama keberpihakan terhadap perusahaan-perusahaan besar yang katanya akan menyumbang pendapatan per-kapita negara belum hilang.Â
Konflik agraria di Indonesia tak akan pernah berakhir selama ketimpangan tetap terjadi selama proses hukum berlangsung. Jangankan  persoalan konflik, persoalan surat -- surat pertanahan  saja masih menjadi hal yang penuh dilematis. Jutaan rupiah  harus dikeluarkan untuk mendapatkan  selembar surat sertifikat tanah, yang katanya, secarra aturan, tidak lebih dari Rp. 850 ribu saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H