Kerajaan Banten terikat pada janji tidak akan menjual lada dan hasil -- hasil lain dari daerah -- daerahnya kepada bangsa -- bangsa asing; semua harus kepada Kompeni dengan harga yang telah disepakati. Namun sistem itu tidak begitu merugikan seperti tampaknya, sebab VOC telah berjanji akan membeli seluruh produksi tanpa batas, dan apabila tidak ada barteran yang memadai, ia diharuskan membayar dengan mata uang.
Baca juga: Kiyai Ngabehi Cakradana Syahbandar Kesultanan Banten
Stavorinus datang dari Batavia pada bulan Mei 1769 atas nama kompeni untuk mengambil muatan besar lada -- tiga  ribu bahar lada hitam dan delapan bahar lada putih---harus meninggalkan sebagai bayaran "sepuluh peti yang berisi uang 50.000 real perak".
Ada sebuah komentar yang menyertai dari sebuah memoar yang didapatkan dari sebuah keluarga keluarga pedagang Minangkabau yang ditulis dalam bahasa Melayu pada kira -- kira tahun 1788, yang isinya memberitahukan keuntungan apa yang dapat diperoleh dari perdagangan lada antara Sumatera Selatan dan Banten oleh para perantara, maupun khazanah Sultan.Â
Komentar tersebut adalah sebagai berikut " Itulah kebiasaan yang berlaku di daerah Banten. Kompeni tidak dapat membeli langsung dari pemimpin setempat atau dari kapten, kecuali di luar pengetahuan Sultan. Pelanggar, siapapun juga, konon diancam tiang gantungan, sebab lada tidak boleh dijual kepada Kompeni tanpa ada persetujuan resmi. Itulah kebiasaan yang berlaku dan kebiasaan itu turun -- temurun dari pemerintahan yang satu ke pemerintahan yang lainnya.
Baca juga: Dongeng Kapten Morgel, Pandangan Carbon terhadap Kesultanan Banten
Denys Lombard menegaskan dalam bukunya yang berjudul Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2, bahwa monopoli Kompeni sesungguhnya disertai juga dengan "Monopoli Sultan". Sedangkan Sultan tidak mau menjual lada kepada pedagang -- pedagang lain dari Eropa; dan Kompeni sebagai imbangan tidak mau pergi ke daerah Lampung untuk membelinya di tempat dan mempersalahkan harga -- harga yang telah ditentukan.Â
Sementara sistem yang demikian itu menyenangkan orang Belanda di Batavia, dan menyenangkan pesaing -- pesaing mereka yang berbangsa Inggris dan Prancis. Tetapi untuk masyarakat Banten, sistem yang demikian ini menyenangkan untuk masyarakat Banten karena terjaminnya laba yang akan didapat.
Dengan demikian, yang terjadi bukanlah "monopoli" sepihak yang sepenuhnya merugikan masyarakat Banten. Ada sebuah kesepakatan terhadap "monopoli lada" ini yang telah dirancang oleh Kesultanan Banten sehingga memungkinkan bagi penduduk Banten untuk mendapatkan jaminan hidup dari perdagangan lada ini. Hal yang demikian ini juga ditunjang dengan penentuan harga tetap dari kesultanan.
Baca juga: Mencermati Konflik Trah Kesultanan Banten
"Di daerah Pinabung, harga lada enam real sebahar jika bayarannya dilangsungkan satu tahun sebelumnya -- arti sebenarnya dari 'setahun' adalah enam bulan---dan tujuh real jika dibayar tunai. Itulah harga -- harga yang berlaku di mana -- mana di Lampung yang merupakan bawahan Sultan Banten. Setelah sampai di Banten, lada itu dijual kepada Sultan dengan harga dua belas real sebahar. Lada itu dibeli semuanya oleh Sultan, berapapun banyaknya, karena akan dijualnya kembali kepada Kompeni Belanda dengan harga dua puluh real. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H