Mohon tunggu...
Shri Werdhaning Ayu
Shri Werdhaning Ayu Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia Brang Wetan

Anak Lumajang yang lahir di Bumi Lumajang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gapura Bajang Ratu dan Kelahiran Kembali

15 Juli 2019   22:33 Diperbarui: 15 Juli 2019   22:39 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
credit : www.wikizero.biz

Gapura Bajang Ratu adalah jenis gapura paduraksa yang berasal dari era kerajaan Majapahit. Gapura ini terletak di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia.

Gapura sendiri merupakan pintu gerbang atau pintu masuk sebelum memasuki tempat-tempat yang dianggap lebih suci. dlaam hal ini, gapura bisa dibedakan menjadi dua, yaitu gapura paduraksa dan gapura bentar. gapura paduraksa adalah gapura yang kedua sisi kanan dan kirinya disatukan oleh atap. Sedangkan gapura bentar adalah gapura yang bagian kanan dan kirinya terpisah. Gapura Bajang Ratu sebagai jenis gapura paduraksa, memiliki ornamen Kala di keempat sisi nya. Ornamen kala yang terdapat di Gapura Bajang Ratu ini tergolong unik karena tidak menunjukkan wajah yang menyeramkan, melainkan menunjukkan ekspresi sedang tersenyum.

Berdasarkan hasiil penelitian Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Mojokerto, Gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunan suci untuk memperingati wafatnya raja Jayanegara. Tahun wafatnya Jayanegara sendiri tertulis dalam Negarakrtagama dalam kalimat "kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka atau sekitar 1328 Masehi. Dugaan fungsi gapura ini dikuatkan dengan keberadaan relief Sri Tanjung yang menceritakan tentang perjalanan setelah penglepasan di dunia arwah. Oleh karena itu, gapura ini juga diduga difungsikan sebagai pintu belakang karena salah satu kebiasaan yang masih bertahan di masyarakat sekitar gapura hingga sekarang adalah kebiasaan melewati pintu belakang saat melayat di rumah seseorang yang meninggal dunia.

Penamaan gapura ini dengan nama Bajang Ratu tidak terlepas dengan legenda yang berkembang di masyarakat sekitar Trowulan. Bajang dalam masyarakat Jawa sering digunakan untuk menyebut janin/calon bayi yang tidak berhasil lahir dengan selamat atau sempurna (Bayi Bajang). Ratu diartikan sebagai pemimpin atau raja. Dalam cerita sejarah kerajaan Majapahit, terdapat seorang raja yang menduduki tahta pada usia masih belia dan juga wafat pada usia muda. Selain itu, raja ini juga dikenal memiliki sifat buruk seperti suka menggoda istri orang. Dikisahkan, jika Sri Jayanegara meninggal akibat dibunuh oleh Ra Tanca yang merupakan tabib kerajaan waktu hendak melakukan pengobatan mengangkat bisul. Karena sifat buruk dan kematiannya yang tragis, beberapa sejarahwan mengakitkan nama Bajang Ratu dengan Sri Jayanegara yang dimaknai sebagai " Seorang Ratu yang gagal lahir dengan baik (Bajang)". Dugaan ini dikuatkan dengan catatan dalam Nagara Krtagama yang menyebutkan " Sira ta dhinarumeng Kapopongan, bhiseka ring crnggapura pratista ring antawulan". Inti dari kalimat tersebut adalah setelah wafatnya raja yang diduga Jayanegara didharmakan di Kapopogan dan dikukuhkan di Antawulan (sekarang dikenal sebagai Trowulan). Gapura Bajang Ratu sendiri diduga merupakan pintu bangunan suci tempat Jayanegara dikukuhkan.

Gapura dalam filosofi masyarakat Jawa memiliki makna yang mendalam. Keberadaan gapura (baik jenis bentar maupun paduraksa) banyak ditemui pada pintu masuk ke bangunan-bangunan suci. Dari aspek kesuciannya, Gapura Bentar terletak pada bagian halaman terluar. Setelah Gapura Bentar, baru terdapat Gapura Paduraksa yang merupakan pintu masuk ke dalam bangunan suci.

Keberadaan relief Sri Tanjung pada Gapura Bajang Ratu menunjukkan jika gapura ini mengandung makna kehidupan yang mendalam, yaitu Gapura sebagai pintu masuk ke dalam suatu bangunan suci yang dapat dimaknai sebagai alam kelanggengan. Keberadaan dua jenis gapura sebelum memasuki bangunan suci, bermakna terdapat dua alam yang harus manusia lewati untuk mencapai alam kelanggengan.

Alam pertama ynag disimbolkan dengan Gapura Bentar adalah alam dalam rahim ibu atau alam kandungan. Dalam beberapa sumber, bentuk Gapura Bentar disamakan dengan relief kelahiran yang terdapat di Candi Sukuh. Gapura Bentar sebagai jalan lahir manusia untuk bisa melihat alam dunia atau dalammasyarakat Jawa biasa disebut alam kasunyatan. Sesudah melewati Gapura Bentar, manusia akan masuk pada fase kehidupan kedu yaitu kehidupan di alam dunia. Disini manusia hidup, tumbuh dan berkembang hingga akhirnya meninggal dunia ( dalam bahasa Jawa secara kasar disebut Mati yang kadang sering dianggap sebagai kepanjangan dari "Nikmat e Ganti". Maksud dari ungkapan tersebut adaah ketika manusia memasuki alam kelanggengan, maka kenikmatan yang bisa dirasakan akan menjadi berbeda dengan yang dirasakan di dunia kasunyatan. Jika di alam dunia nikmat bisa dirasakan melalui makanan, minuman, jalan-jalan maupun hubungan badaniah, maka ketika memasuki alam kelanggengan nikmatnya berganti dengan hubungan pribadi antara manusia dan Sang Pencipta.

Keberadaan Relief Sri Tanjung yang mengisahkan perjalanan roh selepas meninggalkan alam dunia menjadi pelajaran bagi menusia untuk mempersiapkan dirinya masing-masing sebelum memasuki alam kelanggengan. Detail dari perjalanan Sri Tanjung ini akan dibahas dilain tulisan karena akan memakan jumlah halaman yang tidak sedikit. Tulisan ini diharapkan memberikan sedikit penjelasan tentang objek-objek bersejarah, bukan hanya mengenai kisahnya di masa lalu, tetapi juga pemaknannya agar penghargaan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam objek terebut tidak hilang dan beralih fungsi (misal, nilai objek bersejarah yang hanya difungsikan sebagai kawasan wisata tanpa memperhatikan fungsi nilainya di masa lalu).

Gapura Bajang Ratu adalah jenis gapura paduraksa yang berasal dari era kerajaan Majapahit. Gapura ini terletak di Desa Temon, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Indonesia. Gapura sendiri merupakan pintu gerbang atau pintu masuk sebelum memasuki tempat-tempat yang dianggap lebih suci. dlaam hal ini, gapura bisa dibedakan menjadi dua, yaitu gapura paduraksa dan gapura bentar. Gapura paduraksa adalah gapura yang kedua sisi kanan dan kirinya disatukan oleh atap. Sedangkan gapura bentar adalah gapura yang bagian kanan dan kirinya terpisah. Gapura Bajang Ratu sebagai jenis gapura paduraksa, memiliki ornamen Kala di keempat sisi nya. Ornamen kala yang terdapat di Gapura Bajang Ratu ini tergolong unik karena tidak menunjukkan wajah yang menyeramkan, melainkan menunjukkan ekspresi sedang tersenyum. Berdasarkan hasiil penelitian Badan Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Mojokerto, Gapura ini berfungsi sebagai pintu masuk bagi bangunnan suci untuk memperingati wafatnya raja Jayanegara. Tahun wafatnya Jayanegara sendiri tertulis dalam Negarakrtagama dalam kalimat "kembali ke dunia Wisnu" tahun 1250 Saka atau sekitar 1328 Masehi. Dugaan fungsi gapura ini dikuatkan dengan keberadaan relief Sri Tanjung yang menceritakan tentang perjalanan setelah penglepasan di dunia arwah. Oleh karena itu, gapura ini juga diduga difungsikan sebagai pintu belakang karena salah satu kebiasaan yang masih bertahan di masyarakat sekitar gapura hingga sekarang adalah kebiasaan melewati pintu belakang saat melayat di rumah seseorang yang meninggal dunia.

Penamaan gapura ini dengan nama Bajang Ratu tidak terlepas dengan legenda yang berkembang di masyarakat sekitar Trowulan. Bajang dalam masyarakat Jawa sering digunakan untuk menyebut janin/calon bayi yang tidak berhasil lahir dengan selamat atau sempurna (Bayi Bajang). Ratu diartikan sebagai pemimpin atau raja. Dalam cerita sejarah kerajaan Majapahit, terdapat seorang raja yang menduduki tahta pada usia masih belia  dan juga wafat pada usia muda. Selain itu, raja ini juga dikenal memiliki sifat buruk seperti suka menggoda istri orang. Dikisahkan, jika Sri Jayanegara meninggal akibat dibunuh oleh Ra Tanca yang merupakan tabib kerajaan waktu hendak melakukan pengobatan mengangkat bisul. Karena sifat buruk dan kematiannya yang tragis, beberapa sejarahwan mengakitkan nama Bajang Ratu dengan Sri Jayanegara yang dimaknai sebagai " Seorang Ratu yang gagal lahir dengan baik (Bajang)". Dugaan ini dikuatkan dengan catatan dalam Nagara Krtagama yang menyebutkan " Sira ta dhinarumeng Kapopongan, bhiseka ring crnggapura pratista ring antawulan". Inti dari kalimat tersebut adalah setelah wafatnya raja yang diduga Jayanegara didharmakan di Kapopogan dan dikukuhkan di Antawulan (sekarang dikenal sebagai Trowulan). Gapura Bajang Ratu sendiri diduga merupakan pintu bangunan suci tempat Jayanegara dikukuhkan.

Gapura dalam filosofi masyarakat Jawa memiliki makna yang mendalam. Keberadaan gapura (baik jenis bentar maupun paduraksa) banyak ditemui pada pintu masuk ke bangunan-bangunan sucil Dari aspek kesuciannya, Gapura Bentar terletak pada bagian halaman terluar. Setelah Gapura Bentar, baru terdapat Gapura Paduraksa yang merupakan pintu masuk ke dalam bangunan suci. Keberadaan relief Sri Tanjung pada Gapura Bajang Ratu menunjukkan jika gapura ini mengandung makna kehidupan yang mendalam, yaitu Gapura sebagai pintu masuk ke dalam suatu bangunan suci yang dapat dimaknai sebagai alam kelanggengan. Keberadaan dua jenis gapura sebelum memasuki bangunan suci, bermakna terdapat dua alam yang harus manusia lewati untuk mencapai alam kelanggengan. Alam pertama ynag disimbolkan dengan Gapura Bentar adalah alam dalam rahim ibu atau alam kandungan. Dalam beberapa sumber, bentuk Gapura Bentar disamakan dengan relief kelahiran yang terdapat di Candi Sukuh. Gapura Bentar sebagai jalan lahir manusia untuk bisa melihat alam dunia atau dalammasyarakat Jawa biasa disebut alam kasunyatan. Sesudah melewati Gapura Bentar, manusia akan masuk pada fase kehidupan kedu yaitu kehidupan di alam dunia. Disini manusia hidup, tumbuh dan berkembang hingga akhirnya meninggal dunia ( dalam bahasa Jawa secara kasar disebut Mati yang kadang sering dianggap sebagai kepanjangan dari "Nikmat e Ganti". Maksud dari ungkapan tersebut adaah ketika manusia memasuki alam kelanggengan, maka kenikmatan yang bisa dirasakan akan menjadi berbeda dengan yang dirasakan di dunia kasunyatan. Jika di alam dunia nikmat bisa dirasakan melalui makanan, minuman, jalan-jalan maupun hubungan badaniah, maka ketika memasuki alam kelanggengan nikmatnya berganti dengan hubungan pribadi antara manusia dan Sang Pencipta. Keberadaan Relief Sri Tanjung yang mengisahkan perjalanan roh selepas meninggalkan alam dunia menjadi pelajaran bagi menusia untuk mempersiapkan dirinya masing-masing sebelum memasuki alam kelanggengan. Detail dari perjalanan Sri Tanjung ini akan dibahas dilain tulisan karena akan memakan jumlah halaman yang tidak sedikit. Tulisan ini diharapkan memberikan sedikit penjelasan tentang objek-objek bersejarah, bukan hanya mengenai kisahnya di masa lalu, tetapi juga pemaknannya agar penghargaan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam objek terebut tidak hilang dan beralih fungsi (misal, nilai objek bersejarah yang hanya difungsikan sebagai kawasan wisata tanpa memperhatikan fungsi nilainya di masa lalu).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun