Mohon tunggu...
Wulan Arvelia
Wulan Arvelia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Pernah cinta dan kembali belajar untuk mencintai tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keluh Tepi Pantai

22 Desember 2022   07:09 Diperbarui: 22 Desember 2022   07:15 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kakek bisa merasakan pasir putih di sela-sela jari kakinya. Pasir putih itu tidak dingin tidak juga panas. Tidak mengganggu, tapi tidak juga menyenangkan. Disampingnya ada Nenek, duduk dengan jarak di antara mereka. Kakek terlalu sungkan untuk bertanya apakah Nenek merasakan pasir putih itu juga atau tidak.

Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Kalau  melihat dari matahari di seberang sana, Kakek yakin ini sudah pukul 5 lebih, langit juga sudah berubah warna, di sisi sana ada semburat ungu, tapi mata Kakek masih melihat bahwa langit itu dominan jingga. Kakek tahu, ini waktunya.

"Kek?" panggil Nenek tanpa menoleh dan menatap ke arah Kakek. Kakek juga sepertinya enggan menatap Nenek barang sedetik. "Sudah waktunya, Kek." lanjut Nenek.

"Waktu saat batas antara siang dan malam menyatu dengan utuh menjadi jeda, kan? Senja, Nek ... pulangnya nanti dulu, ya?" sahut Kakek cepat-cepat, kepalanya sudah menoleh sempurna dengan mata yang menatap Nenek.

Nenek tersenyum simpul kemudian mengangguk, kaku. Keduanya kembali menatap matahari yang bergerak turun mendekati laut itu dengan seksama. Bagai bibir yang hendak menelan matahari mentah-mentah, laut tampak berkuasa sedangkan matahari tampak tak berdaya.

Di antara mereka ada hening yang ketara, hanya terdengar suara ombak dan siut angin. Keduanya saling menyakini kalau bungkam adalah jawaban untuk saat ini. Kakek dan Nenek, masing-masing masih dengan pikiran mereka. Entah yang perempuan berpikir apa, entah juga yang laki-laki berpikir bagaimana. Hari ini Kakek memilih tempat yang tepat. Pemandangan indah untuk kedua kepala yang kalut, keseimbangan yang nyata.

Waktu seperti cepat berlalu, matahari sudah semakin bergerak turun menyentuh lautan. Belum habis matahari ditelan laut, Nenek menatap Kakek. "Sepertinya pilihan salah karena kita memutuskan untuk tidak memiliki anak. Bagaimana menurut Kakek?" tanyanya.

"Yah, mungkin?" jawab Kakek bimbang. Bibir nenek tertarik ke atas, menampakkan senyum yang biasa Kakek lihat. Kakek mengusap tengkuknya pelan.

"Ngomong-ngomong, berapa uang yang Kakek dapat hari ini?" Nenek kembali bertanya dengan suara ketus.

"Sekitar lima ratus ribu." jawab Kakek lirih, Kakek tahu kalau Nenek benci dengan pekerjaan Kakek, ya ... Meskipun uang yang dihasilkan perharinya lumayan.

"Kakek harus berhenti." ucap Nenek.

"Kalau Kakek berhenti bekerja, apa yang bisa dimakan?" sahut Kakek cepat-cepat. Nenek diam, perempuan tua itu kembali menatap langit yang ada di depannya. Matahari sudah hilang di telan laut. Laut hanya menyisakan malam untuk mereka.

Nenek kembali menatap Kakek yang duduk di sampingnya. "Dari awal, Nenek sudah tidak setuju. Kakek sudah tua, harusnya Kakek banyak ibadah dan berdoa! Harusnya juga waktu itu Kakek membiarkan Nenek membuka warung di depan rumah!" ujar Nenek yang membuat Kakek terdiam.

Angin malam mulai terasa di kulit Kakek, tapi malam ini Kakek ingin menikmati waktu yang tersisa bersama Nenek sebelum kembali bekerja.

"Kakek sudah tidak bisa melakukan pekerjaan berat. Meskipun punya modal, Kakek tidak memiliki bakat berdagang. Nenek tahu itu, kan?" jelas Kakek.

"Kita memang harusnya punya anak saja!" Nenek mulai hilang kesabaran, kerut wajahnya yang tadinya damai kini makin berkerut dalam. Kakek tidak suka ketika Nenek marah, lebih-lebih di waktu seperti sekarang ini, terlalu singkat apabila digunakan Nenek untuk marah-marah.

"Sudah terlambat, Nek. Untuk apa dibahas sekarang?" Nenek ganti terdiam setelah Kakek melemparkan pertanyaan kepadanya. Iya, sudah terlambat untuk Nenek membahas hal itu kepada Kakek. Nenek kemudian bergerak untuk berdiri dari duduknya.

Pantai mulai sepi, bahkan sudah tidak ada lagi lalu lalang orang di depan mereka. Langit yang ditinggalkan oleh matahari kini ramai berhiaskan konsentelasi-konsentelasi bintang. Malam tidak kalah cantik dengan siang. Senja yang tadi dilihat oleh Kakek dan Nenek mengantarkan keindahan langit yang lain pada mata mereka. Senja yang tadi dilihat oleh Kakek dan Nenek juga mengantarkan perpisahan.

"Tidak bisa nanti dulu?" tanya Kakek yang masih memaksakan duduknya meskipun sudah tidak nyaman. "Tidak, sudah terlalu lama." jawab nenek.

Kakek terdiam sebentar sebelum bergerak dan berdiri menatap Nenek. Perempuan tua itu kemudian tersenyum dan melambaikan tangannya kaku kepada Kakek. "Berjanjilah, jangan berbalik!" ucap Nenek. Kakek masih terdiam.

Angin laut malam ini benar-benar dingin, Kakek bisa merasakan itu sampai ke tulangnya. Kakek pikir, dingin seperti teman dari perpisahan. Kakek mengangguk ke arah Nenek dan kemudian berbalik, melangkahkan kakinya menjauhi Nenek, berjalan melewati pinggir pantai ditemani suara angin dan ombak yang kini makin kencang. Kakek sudah sendirian lagi.

Penyesalan itu datang ketika Kakek menoleh ke belakang. Harusnya Kakek tidak menoleh. Nenek sudah hilang. Kini percakapan yang tadi hadir di antara mereka terasa seperti percakapan dua tahun lalu ketika Nenek masih bisa Kakek sentuh dan tidur di kasur kapuk tua yang sama dengannya, bukan di lubang dengan selimut tanah.

Mata Kakek kemudian menangkap sepasang wisatawan asing berjalan santai di pinggir pantai. "Waktunya bekerja." kata Kakek kepada dirinya sendiri.

Dengan niat yang kini tinggal separuh, Kakek berjalan mendekati kedua wisatawan asing itu. Bukannya bergerak lurus, kepala Kakek terasa berputar sehingga membuat kakinya bergerak terhuyung dan menabrak dua wisatawan itu tidak sengaja.

Suara-suara Nenek pada obrolan tadi seperti diputar berulang dan menggema di kepala Kakek sehingga kepala tua itu terasa penuh dan sesak. Kakek seperti kehilangan separuh pendengaran dan kesadarannya.

"Kakek harus berhenti."

"Kakek sudah tua, harusnya Kakek banyak beribadah dan berdoa ..."

"Kita memang harusnya punya anak saja!"

Napas Kakek memburu, tangannya berusaha memegang celana yang tampak pas di pinggang salah satu wisatawan asing tersebut, berusaha menjadikannya pegangan untuk kembali berdiri dengan kokoh meskipun kepalanya masih terasa sangat berat.

 "Sorry ..." kata Kakek pelan dengan raut wajah yang menyedihkan. Suara-suara Nenek yang menggema itu mulai memelan, memudahkan Kakek untuk kembali mengumpulkan kesadaran. Kulitnya kini merasakan kembali hembusan angin malam di pantai.

 Kedua wisatawan asing itu membantu Kakek berdiri, umpatan yang hampir terlontar kini kembali tertelan sebab rasa kasihan yang muncul ketika mereka menatap Kakek. Mungkin kerutan-kerutan saksi hidup berpuluh-puluh tahun yang ada di wajah Kakek yang membuat kedua wisatawan asing tersebut mengurungkan niatnya untuk marah. Mungkin juga pancaran cahaya samar dari bintang-bintang yang jatuh di wajah Kakek membantu kedua wisatawan itu kembali mengingat momen romantisme mereka dan memutuskan untuk melepaskan Kakek.

Kedua wisatawan asing itu kemudian mengucapkan sesuatu yang entah Kakek tidak tahu maksudnya, Kakek hanya tahu satu kata dari bahasa mereka yang selama ini Kakek gunakan untuk bekerja. 'Sorry', kata anak muda yang mengajari Kakek artinya maaf.

"Sorry ..." kata Kakek lagi setelah berhasil berdiri dengan sempurna. Tangan Kakek bergerak seolah menepuk-nepuk celana lusuhnya, kemudian kaki Kakek kemudian kembali bergerak menuju pintu keluar pantai menjauhi kedua wisatawan asing yang masih memandanginya iba, berbeda dengan Kakek yang kini raut wajahnya kembali seperti semula.

Ketika kaki Kakek berhasil menginjak pintu keluar pantai yang menjadi satu dengan pintu masuknya, senyum kaku di bibir gelap pada wajah yang penuh kerutan itu muncul. Tangan Kakek bergerak mengeluarkan dompet mahal yang berisi beberapa uang rupiah dan uang dolar dari kantong celana lusuhnya.

 "Maaf, Nek." kata Kakek.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun