"Kalau Kakek berhenti bekerja, apa yang bisa dimakan?" sahut Kakek cepat-cepat. Nenek diam, perempuan tua itu kembali menatap langit yang ada di depannya. Matahari sudah hilang di telan laut. Laut hanya menyisakan malam untuk mereka.
Nenek kembali menatap Kakek yang duduk di sampingnya. "Dari awal, Nenek sudah tidak setuju. Kakek sudah tua, harusnya Kakek banyak ibadah dan berdoa! Harusnya juga waktu itu Kakek membiarkan Nenek membuka warung di depan rumah!" ujar Nenek yang membuat Kakek terdiam.
Angin malam mulai terasa di kulit Kakek, tapi malam ini Kakek ingin menikmati waktu yang tersisa bersama Nenek sebelum kembali bekerja.
"Kakek sudah tidak bisa melakukan pekerjaan berat. Meskipun punya modal, Kakek tidak memiliki bakat berdagang. Nenek tahu itu, kan?" jelas Kakek.
"Kita memang harusnya punya anak saja!" Nenek mulai hilang kesabaran, kerut wajahnya yang tadinya damai kini makin berkerut dalam. Kakek tidak suka ketika Nenek marah, lebih-lebih di waktu seperti sekarang ini, terlalu singkat apabila digunakan Nenek untuk marah-marah.
"Sudah terlambat, Nek. Untuk apa dibahas sekarang?" Nenek ganti terdiam setelah Kakek melemparkan pertanyaan kepadanya. Iya, sudah terlambat untuk Nenek membahas hal itu kepada Kakek. Nenek kemudian bergerak untuk berdiri dari duduknya.
Pantai mulai sepi, bahkan sudah tidak ada lagi lalu lalang orang di depan mereka. Langit yang ditinggalkan oleh matahari kini ramai berhiaskan konsentelasi-konsentelasi bintang. Malam tidak kalah cantik dengan siang. Senja yang tadi dilihat oleh Kakek dan Nenek mengantarkan keindahan langit yang lain pada mata mereka. Senja yang tadi dilihat oleh Kakek dan Nenek juga mengantarkan perpisahan.
"Tidak bisa nanti dulu?" tanya Kakek yang masih memaksakan duduknya meskipun sudah tidak nyaman. "Tidak, sudah terlalu lama." jawab nenek.
Kakek terdiam sebentar sebelum bergerak dan berdiri menatap Nenek. Perempuan tua itu kemudian tersenyum dan melambaikan tangannya kaku kepada Kakek. "Berjanjilah, jangan berbalik!" ucap Nenek. Kakek masih terdiam.
Angin laut malam ini benar-benar dingin, Kakek bisa merasakan itu sampai ke tulangnya. Kakek pikir, dingin seperti teman dari perpisahan. Kakek mengangguk ke arah Nenek dan kemudian berbalik, melangkahkan kakinya menjauhi Nenek, berjalan melewati pinggir pantai ditemani suara angin dan ombak yang kini makin kencang. Kakek sudah sendirian lagi.
Penyesalan itu datang ketika Kakek menoleh ke belakang. Harusnya Kakek tidak menoleh. Nenek sudah hilang. Kini percakapan yang tadi hadir di antara mereka terasa seperti percakapan dua tahun lalu ketika Nenek masih bisa Kakek sentuh dan tidur di kasur kapuk tua yang sama dengannya, bukan di lubang dengan selimut tanah.