Perkenalkan, saya Wulan Ambarwati, berasal dari Sidomulyo, Bambanglipuro, Bantul, Yogyakarta. Ini adalah surat saya untuk Pak Jokowi.
Saya adalah salah satu peserta CPNS 2018. CPNS 2018 menerapkan sistem PG (Passing Grade) dengan nilai ambang batas TIU : 80, TWK : 75, dan TKP 143. Awal diadakan pengumuman formasi, saya sangat semangat karena tahun ini untuk formasi adalah terbanyak dari tahun-tahun sebelumnya, yaitu 31 formasi satu propinsi, tetapi terbagi atas unit-unit sekolah. Biasanya formasi saya hanya 1 satu propinsi bahkan tidak ada.
Saya berusaha keras untuk dapat lolos CPNS tahun ini, agar bisa membanggakan kedua orang tua saya. Pada waktu itu pelaksanaan CPNS bersamaan dengan kuliah PPG dalam Jabatan Tahap II. Saya maksimalkan setap hari untuk belajar CPNS. Sampai kata temen-temen, "rajin sekali." Karena kabarnya untuk mencapai PG sangatlah susah tapi tidak menciutkan semangat saya untuk belajar.
Sampai saatnya ujian tiba, saya mengerjakan soal CPNS. Alhamdulillah bisa mencapai PG. Petugas seluruh ruangan menyelamatiku. "Wah, selamat akan jadi CPNS."
Sampai di luar ruangan teman yang kebetulan sama sesinya denganku tdak lolos, saya diminta memberikan tips-tips agar lolos PG. Di luar ruangan saya
bertemu dengan seseorang, dia berkata,
"mbaknya kelihatan senang, lolos ya, mbak? Daftar di mana?" Saya menjawabnya.
"Saya juga daftar di situ, tp saya tidak lolos, besuk sampaikan salam saya di sekolah tersebut."
Saya pulang dengan penuh rasa bahagia. Saya menjadi terkenal karena lolos PG. Kemudian karena sedikitnya peserta yang lolos PG, pemerintah mengeluarkan permenpan baru no.61 yang tidak adil. Jumlah formasi satu propinsi adalah 31, lolos PG: 29, 11 lokasi diisi oleh P2, dan 9 orang menjadi P1/ TL termasuk saya.
Sebelum menpan 61 muncul, teknisnya peserta yang lolos PG yang terjadi penumpukan pada satu unit sekolah bisa mengisi lokasi sekolah yang tdak ada lolos PG. Akhirnya hak kami menjadi hilang, karena kami hanya minoritas. Orang tua saya sangat sedih, saya mengalami dampak psikologis dan trauma akibat kejadian ini. Ironisnya lagi di lingkungan saya yang keterima adalah P2.
Tolong, Pak Jokowi, kami butuh keadilan. Peserta yang lolos final malah kalah, peserta yang kalah malah menang. Aturan di tengah jalan sangat merugikan kami dan tidak dibenarkan. Saya ingat Anthony Ginting atlet badminton, yang berlaga di Asian Games. Anthony mengalami cidera, tidak ada aturan baru untuknya, pertandingan tetap berlangsung dan akhirnya dia kalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H