Mohon tunggu...
Dewi Wulansari
Dewi Wulansari Mohon Tunggu... pegawai negeri -

A mother of four. Loves to write.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Hari Pahlawan] Titisan Pahlawan

10 November 2013   02:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:22 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewi Wulansari nomor 6 (sumber foto: http://a.yfrog.com/img686/6729/3yaui.jpg)

Titisan Pahlawan

Medio November 2013

Lembar-lembar kertas itu masih terhampar di atas meja. Setelah menghantui dua malam tidurku, mereka masih mengejar-ngejar. Aku hanya pegawai biasa, seorang klerk. Mengurusi administrasi pegawai di kantor pemerintahan. Hidupku bak perahu tertambat di danau, namun tiba-tiba dihantam badai. Semua itu terjadi sejak bapak kepala bagian tata usaha terkena serangan jantung. Penunjukkan tiba-tiba sebagai petugas pelaksana harian membuatku berhadapan dengan hal-hal yang selama ini aku hindari. Tanda tangan.

Tidak sembarangan tanda tangan, melainkan tanda tangan fiktif. Bukan tanda tangannya yang tidak nyata, tapi perihal yang ditandatangani itu yang tidak nyata. Tanda tangan kegiatan tanpa kegiatan. Tanda tangan absensi tanpa acara. Tanda tangan terima uang yang tidak ada uangnya. Sepuluh tahun aku berhasil menghindari semua itu dengan memasang kacamata kuda. Mendapat julukan pegawai paling ndablek. Sok idealis. Semua kuanggap angin lewat.

Tapi, tidak kali ini. Bercarik kertas itu menanti goresan tinta biru. Lirikan teman-teman mencibirku yang termangu bisu. Mungkin sebentar lagi telepon akan berdering menanyakan.

Aku orang biasa, berkecukupan. Istri satu, anak dua sesuai anjuran pemerintah. Adapun yang mungkin istimewa bagiku adalah ingatan bahwa aku cucu seorang pahlawan. Dongeng pengantar tidur yang senantiasa dilitanikan ibu. Bagaimana kakek ikut mengangkat senjata melawan penjajah. Sampai akhirnya beliau ditangkap dan gugur di dalam penjara. Ibuku yang baru belajar mengaji kala itu menjadi yatim. Puncak dari cerita itu, ibu akan mengeluarkan medali penghargaan dari pemerintah. Medali yang kusimpan dalam almari jati tua sepeninggal ibu.

Aku kecil yang bercita-cita menjadi pahlawan, ternyata hanya mampu bersekolah di SMEA. Syukur-syukur aku berhasil diterima sebagai pegawai negeri golongan dua. Mungkin aku tak pernah bisa jadi pahlawan seperti kakek, namun darah pahlawan yang menitis ini setidaknya dapat membuatku jadi pahlawan bagi keluarga. Tahun depan, si kakak hendak meneruskan kuliah.

“Pak, berkasnya ditunggu big boss. Mau dikirim ke pusat.”

Perkataan itu memotong lamunanku.

Kring...kring...! Deringan telepon yang kupastikan dari ibu direktur membuat kecemasan bertambah.

“Iya, Bu. Baik, Bu! Segera, Bu.” Anggukku lesu pada gagang telepon.

Segera kukeluarkan pulpen yang masih setia menggantung di saku kemeja. Aku ambil selembar kertas yang sudah kucetak di rumah semalam. Tumpukan atau sehelai kertas ini yang akan mendapat restuku?

*****

Medio November 1945

Perih. Bekas hantaman serdadu Inggris keparat itu sempat menghantam pipi. Tenggorokanku membara. Kurasakan suhu tubuh mulai merayap naik. Mungkin infeksi di betis kanan penyebabnya. Bekas serempetan timah panas dua minggu lalu. Melayang ingatan pada tekad kami untuk mati daripada harus menyerahkan harga diri pada tanggal 10 November. Tapi, di sini aku masih bernafas. Ternyata mati itu tak segampang mengejanya. Aku belum mau mati. Sulungku masih terbata membaca turutan. Istriku masih mau punya lima anak lagi.

“Hei!” Sesosok wajah yang pasti sebangsa denganku menggoyang keras.

“Bangsat!” Sayang mulutku begitu kering sehingga tak sepercik ludah mampu kudaratkan pada wajahnya.

“Jika kau masih mau hidup, gambarkan tempat persembunyian pasukan TKR.” Kupastikan, tak ada yang tahu pengkhianatanmu. Hanya kau, aku dan ruang pengap ini saksinya.”

Suaranya datar, namun membuat hatiku bergelombang hebat. Ia meninggalkan perkamen kusam dan sebuah bolpoin. Perlahan kuraih bolpoin itu, tanganku bergetar.

*****

Malam masih pekat, ketika secarik perkamen diantarkan.

“Good! And jangan lupa, mayatnya kumpulkan dengan yang lain.”

-selesai-

Inilah Hasil Karya Peserta Event Fiksi Hari Pahlawan: http://www.kompasiana.com/androgini

Silahkan bergabung di grup facebook Fiksiana Community  https://www.facebook.com/groups/175201439229892/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun