Mohon tunggu...
Wuanlu Balatjai
Wuanlu Balatjai Mohon Tunggu... Penulis - Sarjana Ilmu Teologi

saya Juan V Balatjai, saya menyelesaikan studi S1 di Universitas Kristens Satya Wacana. hobi saya yaitu bermain bola dan bermain catur

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mencari yang "Ada" Menggugah "ketiadaan"

3 Februari 2025   23:10 Diperbarui: 3 Februari 2025   23:10 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Parmenides adalah salah satu filsuf pra-Sokrates yang berbicara tentang, bahwa segala sesuatu adalah "Ada" sekalipun yang sesuatu itu coba dibatasi atau terbatas oleh ruang dan waktu dalam hal ini secara fisik. Pikiran adalah landasan untuk membuktikan bahwa segala sesuatu itu ada, dan inilah yang menjadi tesis dari Rene Descartes yakni pikiran menentukan keberadaan seseorang "Aku berpikir maka aku ada". Berkaitan dengan hal tersebut pembahasan mengenai keberadaan Tuhan yakni apakah Tuhan itu ada? Tentu saja pertanyaan ini telah menjawab keberadaan Tuhan, karena bagaimana seseorang mempertanyakan tentang Tuhan tanpa ia pikirkan tentang Tuhan. Jadi sampai di sini sangat jelas bahwa yang tidak ada tetap ada karena adanya pikiran.

Menurut penulis hal di atas tentu memiliki perbedaan dengan aliran filsafat eksistensialis, karena eksistensialis tidak hanya berbicara tentang peran pikiran dalam eksisnya seseorang tetapi aliran ini mencoba membawa seseorang pada hal-hal yang intens dan tidak berkaitan dengan metafisika. Sederhananya eksistensialis mau menyampaikan bahwa jangan kita hanya menyadari Adanya dunia ini melainkan menyadari Adanya kita di dunia ini. Diskursus mengenai tentang sesuatu yang "Ada" adalah pembahasan yang rumit, sebagaimana yang telah terjadi antara Descartes dengan Husserl, Heidegger dan Sartre yang dengan keras mengkritik bahkan menolak tesisnya yang membahas tentang "Cogito Ergo Sum" secara garis besar ketiga tokoh tersebut menyampaikan antitesa kepada Descartes bahwa apa yang dikemukakan oleh Descartes bukanlah berbicara tentang arti dari adanya seseorang "Aku". Jadi bukanlah "kesadaran akan aku", melainkan "aku yang disadari".

Perdebatan tentang keberadaan sesuatu sudah sangat tentu tidak dapat dipisahkan peran subyektifitas. Artinya saya dapat mengklaim bahwa saya benar-benar ada, namun yang menjadi persoalannya apa yang membuktikan bahwa saya itu ada?. Berkaitan dengan keberadaan manusia dalam pembahasan eksistensialis tentu hal ini selalu berkaitan dengan pencarian makna hidup, padahal hal tersebutlah yang membuat "Ada" menjadi "Tiada". Seperti tema besar dari tesis eksistensialis adalah eksis duluan barulah esensi. Jadi apakah tugas kita manusia mencari atau menghidupi? Artinya aku dapat mengklaim bahwa Aku ada ketika aku mencari atau ketika aku berhasil menghidupi?. Misalnya makna hidup adalah "Cinta", Aku dapat mengatakan bahwa Aku "Ada" ketika Aku mencari "Cinta" atau Aku dapat mengatakan bahwa Aku "Ada" ketika Aku berhasil menghidupi Cinta?, karena kalau dengan mencari maka telah meniadakan Cinta, tetapi kalau mau menghidupi maka kita harus mencari. Sartre mengatakan bahwa "dengan sadar akan sesuatu berarti meniadakan sesuatu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun