“Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku”
- Immanuel Kant
Terbang ke Kupang di bulan Oktober 2013, saya tiba di El Tari tanpa sedikit pun referensi. Tiga menit keluar dari bandara hawa panas segera menyengat, karang dan rumput kering merajai indra.
Apakah ini adalah seluruhnya tentang Kupang? Pertanyaan filosofis ini membawaku mengembara selama dua setengah tahun hidup di kota ini. Apakah ada yang bisa disebut sebagai sejatinya Kota Kupang? Kota Kupang yang adalah sebenarnya Kota Kupang ataukah Kota Kupang hanyalah sebatas apa yang mampu dialami oleh indraku?
Pertanyaan yang kurang lebih sama pernah merajai Eropa pada abad ke-18, yaitu: Adakah sesuatu yang ada dalam pikiran kecuali yang sebelumnya telah dicerap oleh indra?
Sekitar waktu yang sama, di Kupang sedang terjadi peristiwa bersejarah. Dua kekuatan Eropa juga sedang adu kuat berebut monopoli cendana di Pulau Timor. Setelah kurang lebih seabad lamanya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie, sebuah kongsi dagang Belanda) berusaha mengambil alih monopoli dari tangan Portugis. Akhirnya pada 9 November 1749 dalam sebuah perang penentuan di daerah Penfui sekarang, Pasukan VOC, yang terdiri dari orang eropa dan pasukan Mardijkers dengan sekutunya orang Sabu, Rote, Solor dan beberapa wilayah sekitar Kupang mengalahkan pasukan Topasses Portugis. Perang yang kesudahannya akhirnya membagi area pengaruh VOC/Belanda dan Portugis, membelah Pulau Timor, Barat dan Timur.
Bagi Hume, Kota Kupang adalah apa yang saya alami sehari-hari melalui mata, hidung, telinga, lidah dan kulit, apapun di luar itu hanyalah omong kosong. Mengalami kota ini lewat Hume, hamparan karang dengan rumput-rumput kering, bangunan-bangunan baru dan lama berdiri berdampingan, “Bahasa” Kupang yang cepat dengan kata-kata khas dan singkatan-singkatan digabungkan dengan kata-kata Bahasa Indonesia, bahasa-bahasa ibu dari beragam suku, rasa daging se’i dan suhu rata-rata udara yang tinggi.
Apakah Kota Kupang ini persis seperti yang saya lihat, atau sesungguhnya yang tampak dalam pikiranku?
Kota Kupang tidak lagi sebatas bagaimana dia terlihat, terdengar, tercium, dan terasa karena kondisi-kondisi tertentu dalam pikiran juga ikut memengaruhi konsepsiku. Sebagai pendatang, latar belakang suku, religius, pendidikan dan pengalaman sebelumnya, dan semua referensi yang membentuk diriku turut berperan sebagai penyaring atau penguat semua hal yang saya lihat, dengar, rasa dan alami di kota ini.