Mohon tunggu...
D Wuala Tanggopu
D Wuala Tanggopu Mohon Tunggu... Administrasi - Murid

Murid kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kupang, Sebuah Perjalanan Sejauh Dua Setengah Tahun

14 Juni 2016   15:46 Diperbarui: 24 Juli 2016   20:22 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Langit berbintang di atasku dan hukum moral di dalam diriku”
- Immanuel Kant

Terbang ke Kupang di bulan Oktober 2013, saya tiba di El Tari tanpa sedikit pun referensi. Tiga menit keluar dari bandara hawa panas segera menyengat, karang dan rumput kering merajai indra.

Apakah ini adalah seluruhnya tentang Kupang? Pertanyaan filosofis ini membawaku mengembara selama dua setengah tahun hidup di kota ini. Apakah ada yang bisa disebut sebagai sejatinya Kota Kupang? Kota Kupang yang adalah sebenarnya Kota Kupang ataukah Kota Kupang hanyalah sebatas apa yang mampu dialami oleh indraku?

Pertanyaan yang kurang lebih sama pernah merajai Eropa pada abad ke-18, yaitu: Adakah sesuatu yang ada dalam pikiran kecuali yang sebelumnya telah dicerap oleh indra?

Sekitar waktu yang sama, di Kupang sedang terjadi peristiwa bersejarah. Dua kekuatan Eropa juga sedang adu kuat berebut monopoli cendana di Pulau Timor. Setelah kurang lebih seabad lamanya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie, sebuah kongsi dagang Belanda) berusaha mengambil alih monopoli dari tangan Portugis. Akhirnya pada 9 November 1749 dalam sebuah perang penentuan di daerah Penfui sekarang, Pasukan VOC, yang terdiri dari orang eropa dan pasukan Mardijkers dengan sekutunya orang Sabu, Rote, Solor dan beberapa wilayah sekitar Kupang mengalahkan pasukan Topasses Portugis. Perang yang kesudahannya akhirnya membagi area pengaruh VOC/Belanda dan Portugis, membelah Pulau Timor, Barat dan Timur.

Karang, pohon lontar dan laut (hdw)
Karang, pohon lontar dan laut (hdw)
Di Eropa sendiri pada tahun 1748, David Hume (Filsuf Skotlandia/Inggris, 1711-1776) menerbitkan karyanya yang paling menghujam: An Enquiry Concerning Human Understanding, menetapkan indra sebagai satu-satunya alat pembeda keberadaan dan kenyataan dari segala khayalan akal.

Bagi Hume, Kota Kupang adalah apa yang saya alami sehari-hari melalui mata, hidung, telinga, lidah dan kulit, apapun di luar itu hanyalah omong kosong. Mengalami kota ini lewat Hume, hamparan karang dengan rumput-rumput kering, bangunan-bangunan baru dan lama berdiri berdampingan, “Bahasa” Kupang yang cepat dengan kata-kata khas dan singkatan-singkatan digabungkan dengan kata-kata Bahasa Indonesia, bahasa-bahasa ibu dari beragam suku, rasa daging se’i dan suhu rata-rata udara yang tinggi.

Karang dan laut (hdw)
Karang dan laut (hdw)
Untunglah rasionalitas bisa diselamatkan. Saat kaum rasionalis percaya bahwa dasar dari seluruh pengetahuan manusia ada di dalam pikiran dan ketika kaum empiris percaya bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia berasal dari indra, datanglah Kant (Immanuel Kant, filsuf Prussia/Jerman, 1724-1804).

Apakah Kota Kupang ini persis seperti yang saya lihat, atau sesungguhnya yang tampak dalam pikiranku?

Sebuah sudut kota (hdw)
Sebuah sudut kota (hdw)
Seperti Hume dan para empiris, Kant setuju bahwa seluruh pengetahuan kita berasal dari indra. Tapi dalam akal juga terdapat faktor-faktor yang menentukan bagaimana memandang Kota Kupang seperti Descartes dan para rasionalis percaya.

Kota Kupang tidak lagi sebatas bagaimana dia terlihat, terdengar, tercium, dan terasa karena kondisi-kondisi tertentu dalam pikiran juga ikut memengaruhi konsepsiku. Sebagai pendatang, latar belakang suku, religius, pendidikan dan pengalaman sebelumnya, dan semua referensi yang membentuk diriku turut berperan sebagai penyaring atau penguat semua hal yang saya lihat, dengar, rasa dan alami di kota ini.

Lalu apakah saya punya hak untuk berbicara tentang kota ini? Kant sendiri meyakini bahwa setiap orang hanya bisa mempunyai pengetahuan tentang sesuatu secara subyektif. Jadi satu-satunya pengetahuan yang sahih bagiku soal kota Kupang adalah seperti apa kota ini bagiku. Saya tidak akan pernah mendapatkan pengetahuan tentang kota Kupang ‘itu sendiri’ lepas dari kesan-kesan indraku. Karena itu persepsi ini hanya berlaku untuk diriku sendiri.

Satu pagi di Jalan Timor Raya (hdw)
Satu pagi di Jalan Timor Raya (hdw)
Lalu di mana Kant akan meletakkan soal benar-salah dan moral dalam memandang kota ini?

Sekitar sebulan setelah bermukim di Kupang, seorang kawan orang Sunda, jalan kaki dari tempat kami tinggal di sekitar taman nostalgia ke Ramayana. Niatnya memang untuk olahraga sekalian belanja. Lacurnya setengah perjalanan dia kehilangan orientasi arah. Bertanya arah pada seorang bapak, dia malah ditawari tumpangan dengan motor. Akhirnya jadilah dia naik motor sampai Ramayana. Kali lain ketika bertanya arah atau lokasi, orang-orang selalu berusaha membantu dengan sepenuh hati.

Setiap manusia memiliki hukum moral di dalam dirinya yang melekat dalam akal dan mendahului setiap pengalaman. Kant merumuskan hukum moral itu sebagai: “Bertindaklah dengan cara sedemikian rupa sehingga kamu selalu menghormati perikemanusiaan, entah kepada dirimu sendiri maupun kepada orang lain, bukan hanya sekali-sekali, melainkan selalu dan selamanya.”

Rumusan mudah namun sulit sekali dilakukan ini memaksa kita untuk mengalahkan diri sendiri karena bertindak moral secara benar berarti mengikuti hukum moral dalam diri dengan niat baik tanpa mempertimbangkan kepentingan diri sendiri.

Serupa dengan prinsip universal yang pernah diucapkan Yesus dan tercatat dalam Matius 7:12, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka. Itulah isi seluruh Hukum Taurat dan kitab para nabi.”

Kota lama (hdw)
Kota lama (hdw)
Lalu di mana kebebasan sebagai manusia jika ada hukum moral yang mengikat kita? Jika memilih untuk tidak berlaku kejam atau menyakiti orang lain bahkan jika itu bertentangan dengan kepentingan pribadi sendirilah maka sesungguhnya kita sudah bertindak bebas.

Kebebasan tidak didapatkan dengan melakukan apapun yang ingin kita lakukan, karena kadang dalam keinginan untuk melakukan apapun kita menjadi budak dari keegoisan kita sendiri, atau budak dari nafsu kita sendiri.

Jika kebebasan itu hanya mengikuti kesenangan dan kebutuhan sendiri, apa bedanya kita dengan binatang? Hanya jika kita mengikuti ‘akal praktis’ kitalah, yang memungkinkan kita untuk menentukan pilihan-pilihan moral, kita menjalankan kehendak bebas kita.

Pantai teddys (hdw)
Pantai teddys (hdw)

Salib tiga di pantai Ketapang Satu (hdw)
Salib tiga di pantai Ketapang Satu (hdw)
Setelah dua setengah tahun di Kupang, akhirnya saya harus juga sampai di ujung perjalanan ini. Apakah Kupang adalah batu-batu karang yang terbentang di bawah kotanya, menyediakan pondasi yang kokoh untuk semua aktivitas manusia di atasnya? Apakah Kupang adalah rumput-rumput keringnya yang menghiasi seluruh pemandangan gersang yang tidak tertanam pondasi bangunan? Apakah Kupang adalah suhu udaranya yang panas? Apakah Kupang adalah manusia-manusia baik hati dan ramah penduduknya? 

Apakah Kupang adalah penduduknya yang memiliki kebanggaan akan asal usul mereka, suku-suku mereka, namun juga saling bersaing di antara mereka? Apakah Kupang adalah logat mereka yang khas? Apakah Kupang adalah daging se’i, jagung bose atau ikan kuah asam? Apakah Kupang adalah sejarahnya, yang meskipun pemukiman awalnya dimulai sekitar awal abad ke -17 tapi kelahirannya dianggap pada 25 April 1996? Apakah Kupang adalah religiusitasnya yang dipampang dengan jelas di setiap sudut kota dan jalan-jalan? Apakah Kupang, sebuah totalitas indah ini?

Pada akhirnya saat berdiri di ujung jalan dan menengok ke belakang ke kota ini, saya selalu merasa kecil dan hanya mampu bercermin terhadap diriku sendiri. Satu-satunya yang saya pasti adalah saya menikmati setiap menit di kota ini, bergaul dengan selera humornya yang cenderung sarkastis, bekerja dengan banyak orang, sesama pendatang maupun dengan orang Kupang. Sebuah totalitas sangat kompleks yang sebagian kecil jalan-jalannya pernah saya lewati, yang orang-orangnya pernah saya kenal selama dua setengah tahun, yang di mata mereka saya mengerti sedikit tentang diriku sendiri. Dan se’i yang akan selalu saya rindukan.

Mempertanyakan Kota Kupang adalah menanyakan suatu totalitas yang saya sendiri pernah merupakan bagian yang sangat kecil darinya. Karena itu, bagaimanapun juga, saya tidak akan pernah mampu mengenal totalitas ini.

Kant pasti setuju! [h@nsdw]

@Pantai Tablolong
@Pantai Tablolong

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun