Mohon tunggu...
D Wuala Tanggopu
D Wuala Tanggopu Mohon Tunggu... Administrasi - Murid

Murid kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Strategi Korporasi Darurat Untuk PBSI

11 Juni 2012   01:14 Diperbarui: 16 Juni 2016   08:20 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK



Jika kebetulan menonton tayangan Today’s Dialogue di Metro TV selasa (05/6) pukul 21:30-23:00 WIB, akan disuguhkan dengan dialog terbuka mengenai krisis prestasi Indonesia di cabang olahraga bulutangkis.Selain dihadiri oleh mantan-mantan atlit berprestasi bulu tangkis Indonesia, seperti Rudy Hartono dan Susy Susanti, Lius Pongoh (mantan Kabid Bindpres), dialog ini dihadiri juga oleh Ketua Umum PB PBSI, Djoko Santoso, serta mantan ketua umum PB PBSI, Sutiyoso dan mantan Menpora, Hayono Isman.

Masalah yang diperbincangkan adalah kondisi perbulutangkisan Indonesia yang semakin sulit berprestasi padahal dulunya merupakan kebanggaan Indonesia di ranah dunia karena prestasinya. Mencari sebab dan solusinya, mengacu pada Kondisi PBSI yang saya simak pada acara tersebut mirip dengan kondisi sebuah organisasi yang memerlukan strategi.

Ada sepuluh pertanyaan yang perlu dijawab untuk mengetahui apakah sebuah korporasi/organisasi berada dalam kondisi darurat dan membutuhkan strategi semacam itu. Karena ini adalah organisasi olahraga maka pertanyaan-pertanyaan tersebut saya modifikasi dengan mengganti kata laba, keuangan dengan prestasi dan gelar dan pelanggan dengan pelatih, manajer tim.

1) Apakah terjadi penurunan prestasi yang signifikan?
2) 
Apakah perkiraan kemampuan berprestasi tidak akurat dan terlalu optimis?
3) 
Apakah terjadi penurunan perolehan gelar dibeberapa eventyang penting?
4)
 Apakah terjadi ketidaksetujuan utama dalam ruang rapat direksi dan/atau di antara manager operasional senior?
5)
 Apakah kepercayaan publik menurun paling sedikit 25% yang lebih dalam kurun waktu setahun terakhir?
6)
 Apakah terjadi pertengkaran mengenai penyebab masalah?
7)
 Apakah para manager saling menyalahkan?
8)
 Apakah karyawan non-eksekutif perusahaan, dan/atau pengamat netral yang lain yakin bahwa manajemen senior tidak benar-benar memerhatikan hal-hal yang penting?
9)
 Apakah ada “raja” yang berkuasa dalam perusahaan yang memaksa untuk melakukan berbagai hal dengan cara mereka, dalam bidang mereka?
10) 
Apakah ada pelatih, manajer atau komponen penting yang hilang (tanpa memperoleh pengganti yang setara)?

Strategi tersebut mensyaratkan bahwa jika jawaban untuk empat atau lebih pertanyaan diatas adalah ‘ya’, maka  strategi korporasi darurat jelas tepat. Jika untuk pertanyaan nomor delapan dan enam pertanyaan lain dijawab dengan ‘ya’, maka pimpinan tertinggi organisasi harus diganti. Jika jawaban untuk delapan pertanyaan atau lebih dijawab ‘ya’, maka keadaan darurat mungkin bersifat fatal.

Jika menyimak acara tersebut yang berisi saling menyalahkan, tidak adanya kepercayaan, selalu berharap menjadi juara padahal mengakui kelemahan diri sendiri dibanding sebuah negara yang sudah sangat unggul dan negara-negara lain yang terus berkembang pesat, kepercayaan publik yang turun drastis, prestasi yang semakin langka, maka saya pribadi mengiyakan delapan pertanyaan yaitu nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8.

Dalam kondisi darurat yang bersifat fatal dengan kedelapan kondisi syarat diakui, maka tindakan yang sesuai untuk korporasi tersebut adalah harus melakukan tindakan yang amat cekatan, radikal, dan tegas.

Strategi kondisi darurat dilakukan mengikuti tiga tahap. Pertama, tindakan diagnosis untuk mengenali akar penyebab keadaan tersebut. Firestone pada pertengahan 1980-an menghadapi satu masalah yang kiranya dapat menjadi analogi untuk kasus PBSI dan perbulutangkisan Indonesia. Laba dan nilai pasar mereka anjlok, pertentangan tentang alasan penyebabnya banyak dipertentangkan. Hasil diagnosis menunjukkan bahwa bahwa biaya yang lebih tinggi dan volume penjualan yang lebih kecil dibanding dengan pesaing global utama mereka adalah alasan utamanya. Setali tiga uang dengan kondisi perbulutangkisan Indonesia dengan volume penjualan dianalogikan sama dengan prestasi.

Tahap kedua adalah menemukan solusi sesuai dengan hasil diagnosis yang tepat. Solusi harus berisi pemikiran yang praktis dan radikal. Bagi Firestone berarti harus meninggalkan bisnis dasarnya yaitu memproduksi ban massal, yang sebelumnya menyusun 80% operasinya dan memusatkan perhatian pada penjualan dan pelayanan. Bagi PBSI ini berarti perubahan organisasi agar kerjasama semua komponen kembali dalam satu tujuan dan bekerjasama dalam kondisi yang kondusif.

Tahap terakhir adalah tindakan yang tegas untuk mengimplementasikan solusi. Pada semua kasus, tindakan yang diperlukan bukanlah sekadar perubahan strategi, tetapi perubahan dalam cara organisasi yang mengalami krisis, dimana tindakan yang tepat hanya terjadi sebagai hasil dari direktur utama baru yang segar, yang harus merubah struktur organisasi dengan mengganti tokoh-tokoh kunci dibawahnya agar tidak ada lagi tingkah laku lama yang patut dipertahankan.

Semoga saja PB PBSI, Kemenegpora atau siapapun yang berwenang bisa berkaca pada kondisi darurat  perbulutangkisan Indonesia dan kasus yang menimpa PSSI agar dengan tindakannya bisa mengembalikan bulutangkis Indonesia kembali lagi ke jalur prestasi. [h@nsdw]



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun