Wisata Sejarah dan Budaya di Bintan
[caption caption="Wisata Sejarah dan Budaya di Bintan"][/caption]
Pasangan lelaki dan wanita itu berlari-lari kecil sepanjang jalan masuk Pelabuhan Telaga Punggur Batam, berpacu mengejar waktu untuk sampai pada janji yang telah mereka buat dua hari yang lalu. Akankah kami sampai tepat pada waktunya?? batin sang lelaki, atau penulis. Janji itu menyangkut pertemuan di Bandara Kijang (sebutan Bandar Udara Internasional Raja Haji Fisabilillah) pada sekitar pukul dua belas suku (pukul dua belas lebih lima belas menit-suku sendiri adalah seperempat jam atau lima belas menit) tengah hari. Pulau Bintan tempat Bandara Kijang berada tidaklah asing bagi penulis, akan tetapi bagi wanita pasangan hidup penulis, ia baru mengunjunginya sebanyak 3 kali saja, Itu pun setelah menikah, alhamdulillah (ada alasan khusus mengenai ucapan ini).
“ati-ati jalannya nak oiiii, jangan laju-laju sangat, nanti terpelecok pulak tu. Singgalah sekejab di kedai kami ni, ada nasi lemak, prata, teh o, murah-murah saje” sayup-sayup terdengar celotehan seorang ibu penjual makanan di Pelabuhan Punggur. Suara deru mesin alat-alat berat yang sedang bekerja merenovasi Pelabuhan Punggur agar layak disebut pelabuhan FTZ menjadi latar dari sekilas kejadian ini.
Setelah sampai kedalam kapal, kami pun memilih tempat duduk paling depan. Menikmati sajian film hitam putih terkenal negeri jiran tempo dulu. Film berjudul Pendekar Bujang Lapok itu bergenre komedi melayu dengan aktor utama P. Ramlee. Aktor yang melegenda asal malaysia ini ternyata berdarah Aceh yang diwariskan dari ayahnya Teuku Nyak Puteh.
[caption caption="Film Lawas Hitam Putih Seniman Bujang Lapok"]
Kurang lebih 45 menit perjalanan dari Pelabuhan Punggur ke Pelabuhan Sri Bintan Pura yang terletak di Tanjungpinang dengan menaiki kapal ferry. Waktu telah menunjukkan pukul sebelas lebih tiga suku (pukul sebelas lebih empat puluh lima menit).
[caption caption="Pelabuhan Internasional Sri Bintang Pura"]
Pasangan ini kemudian bergegas mencari angkutan kota untuk disewa ke Bandara kijang. Tidak terkejar rasanya kalau harus ke Bandara Kijang dengan waktu yang tersisa hanya lima belas menit saja. Wanita pasangan penulis pun kemudian menghubungi panitia (Kompasiana, Kementrian Pariwisata, Indonesia Travel dan Bintan Resort) untuk berupaya bertemu. Waktu yang tidak memungkinkan karena akibat keterlambatan kami akan berimbas pada jadwal selanjutnya. Akhirnya disepakati agar kami boleh bertemu di cek point selanjutnya, sebuah rumah makan khas minang di kawasan Tepi Laut, Tanjungpinang.
Maafkan kami
Maafkan kami
Wahai cik adik jangan merajuk
Maafkan kami si Bujang Lapuk
Jikalau salah tolonglah tunjuk
Kamilah rela hai kena ketuk Nandung-nandung dayang senandung Wahai saudari maafkan kami
Sekali lagi terngiang bait lagu yang didendangkan oleh anak Teuku Nyak Puteh ditelinga penulis. Bait lagu yang berasal dari film yang ditonton penulis di kapal ferry tadi. Segera kami memberitahukan ke supir angkutan kota agar ketempat yang dituju. Alhamdulillah bertepatan dengan kami sampai, bus yang ditumpangi rombongan pun tepat berada didepan kami.
Selanjutnya briefing rombongan dan makan siang di rumah makan khas minang tersebut, serta pembagian atribut peserta yang harus dikenakan. Makanya pembaca jangan merasa aneh kalau melihat foto-foto dengan atribut yang seragam.
Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menuju ke Pulau Penyengat. Pulau yang berseberangan dengan Pulau Bintan dan tampak cantik jika dilihat dari teras rumah makan tempat kami berkumpul. Sebelum menyebrang ke Penyengat kami menuju ke pelabuhan penyeberangan yang terletak di belakang Pelabuhan Sri Bintan Pura. Pelabuhan penyeberangan ke Penyengat lebih sederhana. Hanya muat kendaraan bermotor roda dua saja, bercat kuning dan berornamen melayu pada sekelilingnya.
[caption caption="Pelabuhan ke Penyengat"]
Sekitar lima belas menit perjalanan yang ditempuh untuk jarak antara Tanjungpinang dan Penyengat. Kendaraan yang bisa digunakan hanya kapal sejenis pompong, dan tidak banyak memuat penumpang.
[caption caption="pompong ke Pulau Penyengat"]
Setibanya di Pulau Penyengat atau Pulau Inderasakti penulis disambut oleh deretan rumah pelantar. Rumah khas di Pulau Penyengat. Selanjutnya tentu pembaca akan bertanya-tanya kenapa namanya Pulau Penyengat sih?? mungkin hal ini yang pertama terbersit di benak mereka yang bukan merupakan penduduk asli Kepulauan Riau.
[caption caption="rumah pelantar"]
Penyengat sendiri bukan bau yang menyengat dan bukan pula sejenis tanaman. Nama penyengat diberikan karena ada kejadian pelaut yang melanggar pantangan saat mengambil air di pulau tersebut, akibatnya mereka disengat oleh ratusan serangga berbisa. Nah binatang yang menyengat ini lalu dipanggil dengan sebutan Penyengat, sampai sekarang pulau tempat kejadian tersebut dipanggil Pulau Penyengat. Untuk orang Belanda, dikenal dengan nama Pulau Mars. Terlepas dari peristiwa yang melatarbelakangi pemberian nama dari pulau ini, bagi penulis sendiri, Pulau Penyengat adalah sejarah.
Pulau Penyengat merupakan hadiah mas kawin pemberian Sultan Mahmud Marhum Besar atau yang lebih dikenal dengan Marhum Mesjid atau Mahmud Shah III, seorang penguasa dari Kerajaan Johor kepada Engku Puteri Raja Hamidah atau Engku Puteri, yang namanya dijadikan nama alun-alun Kota Batam. Oleh sebab inilah penulis mengucapkan hamdalah di awal tulisan, karena mengajak pasangan hidup penulis ke Pulau Bintan setelah menikah. Bisa dibayangkan jika sebelum menikah, penulis membawanya ke Pulau Bintan dan mendengar bahwa ada orang tempatan yang memberikan mas kawin sebuah pulau (bercanda yah Cucum Suminar).
Banyak orang yang berkunjung ke Penyengat, tidak untuk melihat bangunan-bangunan megah, (karena tidak ada bangunan yang super wah disana) atau sekedar ingin merasakan kuliner khas melayu lingga (tidak ada juga restoran, hanya warung-warung makan sederhana), tetapi mereka ke Penyengat untuk kembali ke masa lampau. Menelusuri kelok-kelok sejarah, terutama asal usul sejarah bahasa Indonesia yang berasal dari Bahasa Melayu.
Bahasa Melayu digunakan di empat negara di ASEAN, meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura dan Brunei. Ditutur oleh penduduk melayu yang tinggal di Thailand Selatan, Filipina, Kemboja, Vietnam, Sri Lanka dan Afrika Selatan. Hal ini membuat Bahasa Melayu menduduki peringkat ke empat penutur terbanyak setelah bahasa Mandarin, Inggris dan Hindi.
Wisatawan dapat berkeliling dengan menggunakan sepeda dan ojek. Untuk sepeda wisatawan hanya merogoh kocek sebesar Rp15.000/jam. Sedangkan untuk ojek, pengunjung hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp25.000/jam.
[caption caption="rental motor dan sepeda"]
Kunjungan pertama penulis ke Penyengat adalah mengunjungi Komplek Makam Raja Hamidah. Komplek makam ini berisi makam Raja Hamidah, Raja Ahmad (Penasihat Kerajaan), Raja Ali Haji (Pujangga Kerajaan), Raja Abdullah dan Raja Aisyah.
Pujangga Kerajaan Raja Ali Haji termahsyur dengan karyanya Gurindam Dua Belas yang berisi nasehat. Gurindam sendiri merupakan karya sastra yang memiliki bentuk berupa dua baris puisi berakhiran a-a atau akhiran yang berbunyi sama. Hubungan antara baris pertama dan kedua biasanya sebab-akibat ataupun syarat-hasil.
Selain komplek Makam Raja Hamidah, penulis juga mengunjungi Balai Adat Melayu Indera Perkasa. Di bawah balai adat inilah terdapat sumur air yang merupakan tempat kejadian disengatnya pelaut yang melanggar pantangan. Balai adat Indera Perkasa hanyalah sebuah replika sebenarnya dari rumah adat Melayu yang ada di Pulau Penyengat. Balai adat ini sendiri berbentuk rumah panggung khas melayu, yang terbuat dari kayu. Kegunaanya untuk menyambut atau mengadakan perjamuan bagi tetamu atau orang-orang penting. Di dalam Balai adat sendiri terdapat beberapa perlengkapan adat Melayu serta perlengkapan aktraksi kesenian yang digunakan untuk menjamu tamu-tamu tertentu.
Tempat terakhir yang penulis kunjungi merupakan sebuah masjid berwarna kuning yang dinamakan Mesjid Raya Sultan Riau Penyengat yang didirikan pada tahun 1803. Mesjid mengalami proses renovasi pada masa pemerintahan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdurrahman sekitar tahun 1832. Jumlah keseluruhan menara dan kubah di Mesjid Sultan Riau ini sebanyak 17 buah, yang melambangkan jumlah rakaat sholat fardhu lima waktu dalam sehari semalam. Terdapat pula dua buah rumah sotoh yang terletak di sisi kiri dan kanan mesjid, rumah ini dapat digunakan bagi mereka yang sedang dalam perjalanan atau musafir dan bisa juga digunakan sebagai tempat menyelenggarakan musyawarah.
Dari Anas bin Malik, “Sesungguhnya ziarah itu akan melunakkan hati, mengundang air mata dan mengingatkan pada hari kiamat.” (HR Al Hakim)
Selepas ke Pulau Penyengat, tujuan selanjutnya dari Blog trip kali ini adalah Vihara Avalokiteswara Graha. Berkunjung ke vihara terbesar di Asia Tenggara, Kompasianer disuguhkan dengan pandangan yang teduh. Rerumputan dan perkebunan buah naga terhampar begitu saja di depan Vihara ini. Hal yang unik lainnya dari vihara ini adalah adanya patung dewi kwan im atau dalam bahasa sansekertanya dikenal sebagai avalokitesvara (sekarang kita tahu kenapa namanya Vihara Avalokiteswara), dalam bentuk raksasa. Bentuknya yang raksasa setinggi 16,8 meter ini kemudian dilapisi dengan emas 22 karat. Tidak salah kemudian kalau Museum Rekor Indonesia atau Muri menobatkannya sebagai Patung Dewi Kuan Im terbesar yang ada di dalam ruangan.
Kemegahan vihara ini juga ditambah dengan ukiran tiangnya yang berbentuk naga, serta dua puluh tiga patung-patung raksasa yang terletak dibawah bukit tempat tersebut berada.
Sebagai tempat beribadah umat Budha, vihara yang dibangun oleh komunitas masyarakat Tionghoa di Tanjungpinang ini terbuka untuk umum. Bagi wisatawan domestik dan mancanegara yang ingin berkunjung ke tempat ini sangatlah mudah, karena letaknya yang mencolok di sisi kiri jalur lintas Tanjungpinang –Tanjunguban. Bertempat di Batu 14 Kelurahan Air Raja atau 14 kilometer dari pusat Kota Tanjungpinang, vihara ini bisa dicapai dalam waktu sekitar 15-20 menit dari Pelabuhan Sri Bintan Pura.
Tak terasa sudah satu jam kami berada di Vihara ini, perjalanan pun dilanjutkan ke Bintan Resorts. Seperti juga penulis yang beranjak ke destinasi selanjutnya, begitu juga tulisan ini yang bersambung ke tulisan berikutnya.
Terima kasih sudah membaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H