Mohon tunggu...
Waris Sukiswati
Waris Sukiswati Mohon Tunggu... Freelancer - Pensiunan Wartawan dan Sales dari KOMPAS

Writing is my soul and without writing ...my life seems so empty ..:) writing in blog, journal or any form of writing

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Lontong Opor Rasa Pedas Kapuan Menggoyang Jiwa

3 Januari 2013   10:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:34 2652
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Perjalanan lumayan panjang dari Cepu ke Kapuan dan harus melewati jejeran tanaman jati tidak terlalu mengecewakan ketika sampai di tempat penjual "Lontong Opor Ibu Pangat - Ngloram Kapuan". Kenapa begitu? Karena penantian panjang melalui pesanan opor dan lain-lain berakhir dengan mak nyusssss. MAu tahu cerita lengkapnya. Yuuk ...saya cerita yang panjang, lengkap dan tentunya mantaaappp.

Semua berawal ketika saya dan teman saya memutuskan liburan akhir tahun pulang kampung ke Cepu. Pada tahu kan dimana Cepu itu. Letak Cepu di Jawa Tengah dan persih berbatasan dengan Jawa Timur hanya dibelah oleh Bengawan Solo sduah sampai kita ke Jawa Timur. Saya nggak cerita urusan geografi tapi lebih cerita soal Lontong Opor Kapuan itu. So ...mari dilanjut. Pemilihan Cepu, karena saya dan teman2 bermaksud mampir ke lasem dan Semarang. Itulah sebabnya liburan natal akhir tahun ini saya dan teman-teman memilih Cepu.

Sebelum ke Cepu saya menelpon teman-teman yang mungkin pulang kampung. Kebetulan seorang teman pulang dan mengajak ketemuan. Dia juga mengusulkan untuk mencicipi Lontong Opor Kapuan. Katanya, "Kamu harus nyoba ini lontong opor yang fenomenal. Sebelum kesana kita harus jauh-jauh hari memesannya atau kehabisan,". Saya nyaris nggak percaya. Lha kok bisa di desa sekecil Kapuan bisa ada rumah makan lontong opor yang belinya harus pesan dulu. Setengah percaya setengah nggak, saya memesan 5 porsi.

Naaahh ...tanggal 24 Desember saya sampai Cepu pukul 4.30 pagi. Istirahat sebentar makan serabi khas Cepu kemudian jalan-jalan ke pasar tradisional (ini kesukaan saya keluar masuk pasar). Usai dari pasar sekitar jam 9 pagi. Tepat pukul 1o.30 sudah dijemput teman untuk ke Kapuan, tempat dimana warung opor ayam berada. Saya sempet kesal juga karena diburu-buru untuk segera berangkat. "Ayo to ndang gage budal, selak opore entek (terjemahannya bebasnya gini :  buruan, ntar keburu abis tuh lontong kalo kita telat). Swear ...saya masih belum percaya masa siih segitu cepetnya si lontong opor habis.

Dengan hanya cuci muka (tanpa mandi), kami berlima (saya, Dewi, Widya, Dyah dan suaminya) berangkat ke Kapuan. Perjalanan menyenangkan karena cuaca agak mendung. Sejak perjalanan dari Cepu menuju Kapuan (ke arah Blora) ...perjalanan sekitar 6 kilometer kemudian belok kiri ke Kapuan (tempat dimana Bandara Cepu berada. Bandara ini belum digunakan untuk umum hanya untuk pegawai Migas). JAlan di kiri kanan sawah dan kemudian semakin ke dalam kiri kanan adalah hutan jati. Kebayang kan ...untuk makan opor harus melewati hutan jati dulu. Setelah tanya sana sini (ternyata memang ngetop Opor ini), sampailah saya di depan sebuah rumah berdinding kayu jati dengan cat hijau terang.

Di depan rumah diparkir 3 buah mobil dan ditambah dengan mobil teman saya jadi empat. Begitu masuk ke rumah, sudah berjajar beberapa pasang meja dengan kursi panjang yang semuanya juga dari jati. PErsis di kiri pintu masuk terdapat meja jati persegi panjang. Di atasnya berjajar kendi dengan tutup warna-warni. Serta seorang pria yang membuat minuman buat pembeli. Paling tidak dari sekilas pandangan mata, terdapat 4 pasang meja. Masing-masing meja dan kursi bisa diduduki oleh 10 orang. Penuh semua dan untuk ukuran warung di sebuah desa, ini luar biasa sekali. apalagi ini termasuk masih pagi. Belum pukul 12.00.

Tiga pasang meja sudah terisi. Hidangan di atasnya hanya ...opor dan lontong. Mereka makan dengan lahap dan saya tak berkedip menatapnya. Cuma opor tapi mereka makan dengan porsi lumayan. Enaknya seperti apa sihh??? Karena penasarannya, setelah dapat meja, saya dan teman masuk langsung ke dapur untuk memastikan pesanan saya. Di dapur tercium bau santan dan ayam bercampur. Baunya sangat sedapp..padahal si empunya memasaknya di atas tungku. Bau opor sangat dominan dan tidak asap yang membuat saya terbatuk atau keluar air mata. Belum saya bertanya, si Ibu Pangat sudah menjawab apa yang ingin saya tahu soal asap tungku (rupanya teman saya sudah bertanya duluan), "Saya memasaknya dengan kayu jati yang kering dan kayu jati tidak menimbulkan asap sama sekali. Rasa makanan jadi orisinal tidak bercampur asap,".

Hmmhh ...satu pertanyaan sudah terjawab mengenai warung ini. Selain itu si Ibu terus mengaduk opor yang dibuatnya. Dyah menanyakan perihal pesanan opor kami yang 5 porsi dan pesanan dia sendiri, 20 potong opor ayam. Haaaahhh ...saya jadi ikutan juga mau membeli buat saudara di rumah. "Sampun telas bu (sudah habis. Ini semua pesanan)," ujar anaknya yang tugasnya menyajikan hidangan ke depan. Waduuuhhhh luar biasa. SAya jadi penasaran dan ingin segera mencicipi opornya dan sambil terus bertanya-tanya.

Menurut si empunya, setiap hari dia memotong 50 ekor ayam dere' (ayam muda dan besar sehingga dagingnya tidak alot) dan baru dipotong setelah subuh dan mulai memasak pukul 8.00 pagi. Kalau ada pesanan bisamemotong sampai 70 ekor ayam. Sementara lontong sudah dimasak sejak pukul 12.00 tengah malam (8 jam). Biasanya warung sudah tutup pukul 12.30. Cerita yang menarik menuju menyantap lontong opor. Ternyata saya sedang beruntung, ada orang yang mengurangi pesanan opor sebanyak 6 potong dan bisa saya pulang untuk oleh2. Begitu 6 potong daging ayam dibungkus, ada pembeli yang kemudian ikut memesan ...tentu saja dia kehabisan karena saya sudah mengambil 6 potong terakhir ...hehehhe.

Kemudian lima potong opor pesanan saya dikeluarkan dan disajikan di meja beserta 5 buah lontong ukuran lumayan besar. Ada 3 potong paha bawah dan 2 potong dada. Saya mengambil separuh lontong dan saya potong-potong kemudian saya ambil 1 potong paha ayam lumayan besar juga beserta kuahnya. Ada yang unik dari sajian opornya. Kuahnya bening dan berminyak warna merah seperti ada ulekan cabai merahnya. Kemudian ada cabai rawit merah yang mengambang di kuah. Tidak biasa kan. Karena biasanya opor berwarna putih atau kuning dan agak kental kuahnya.

Saya mencoba menghirup kuahnya .....hmmmhhh pedas dan segar dan sedaaaaapp sekali kuah opornya. Rasanya saya tidak ingin berhenti menyeruput kuah opornya. lagi dan lagi ...yummy. Lontong saya angkat dan makan dengan kuah. Woooowwwww ...lontongnya lembut dengan tekstur yang pas. Tidak kenyal tapi enak apalagi dimakan dengan seruputan kuah opor. Saya kemudian mengambil daging ayam dan menyobeknya. Langsung sobek dari tulang dan dagingnya tidak lembeng. Terlihat kesat. Ketika saya kunyah bersama kuah. Amboinaa...dagingnya gurihhh dan pas. Terasa melimpah ruah kenikmatan lontoh berpadu kuah dan ayam opornya.

Teman saya Widya yg pada awalnya hanya memotong lontong separuh saja ...sedikit demi sedikit habis satu lontong. "Duuuh enak banget, gue nggak mau berhenti nihh. Baru sekali ini makan opor nggak eneg tapi segerrrr pedas. " Buka cuma Widya saya juga nggak mau berhenti mengunyah ikan ayam. Sayangnya saya cuma pesan 5 untuk yang dimakan, padahal masih kurang. BAhkan tulangnya juga empuk padahal ini ayam Jawa bukan ayam ras. Mau pesan lagi sudah habisss ...whoaaaa!!! Selera  saya terpuaskan dan tidak menyesal harus buru-buru berangkat ke Kapuan untuk sebuah kelezatan yang tak terlupakan.

Saya mencoba mencari rahasia lain dari opor yang segar ini. Selain di masak di atas tungku dengan kayu jati, hal lainnya adalah opor ini pedas dan ditaburi dengan cabai merah rawit utuh seperti cabai di dalam sayur kerecek (kurupuk kulit). Kelezatan lainnya, santannya tidak pecah karena terus diaduk sampai selesai memasak. SAntan yang tidak pecah ini menjadi kenikmatan sendiri karena santan jadi tetap encer tanpa kehilangan kenikmatan kuah kaldu ayamnya. Buat saya ini kenangan tersendiri. Kenangan memanjakan lidah saya. Yang mencengangkan harganya tidak mahal. SAtu potong ayam Rp. 9.000 dan satu lontong Rp. 1.000. Harga yang ringan untuk sebuah rasa yang tiada tara.  Minumnya ....bisa menenggak bersama bir tekek (bir cekik) alias minum dari kendi yang dipegang batang lehernya dan langsung menuang air dari pucuknya.... glek ...glekk ...segar. Mau coba ...silakan datang ke sana dan jangan lupa pesan. Saya ??? Pasti datang kembali untuk seporsi lontong opor yang mampu menggoyang jiwa!!!(***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun