Iman Segede Gunung Th 92 salah seorang warga lingkungan gereja saya meninggal dunia setelah sakit cukup lama karena menyandang tumor otak. Dia seorang ibu muda, cantik, beranak dua. Seluruh warga lingkungan hadir di pelayatan, demikian pula teman-teman sekantornya maupun teman-teman kantor suaminya. Bahkan banyak teman sekolah dan kuliah pun hadir. Sebagian dari kami sudah beberapa lama sering menemani almarhumah sewaktu sakit, di rumah maupun di rumah sakit. Teman-teman warga lingkungan ini sering sekali hadir di rumahnya baik untuk berdoa lingkungan maupun membantu membersihkan diri, mengambilkan obat atau bermain dengan anak-anaknya yang masih balita. Sejak sebelum sakit, almarhumah sudah akrab sekali dengan kami. Tetapi sakit yang berbulan-bulan itu rupanya juga cukup melelahkan bagi keluarga maupun teman-teman dekat. Oleh karena itu kepergiannya yang abadi juga cukup melegakan kami semua. Kesedihan karena ditinggal mati sebetulnya bercampur rasa lega karena penderitaan almarhumah sudah berakhir, demikian pula keprihatinan kami teman-teman dekatnya. Upacara pemberangkatan jenazah ke Jateng berjalan dengan lancar, dan mobil jenazah pun meninggalkan rumah duka. Sambil duduk di kursi yang mulai ditinggalkan teman yang berasal dari tempat jauh, saya bertanya kepada teman-teman.. "Sekarang sudah lega? Siapa paling capek selama ini?" Tentu saja tidak ada yang menjawab. Saya bilang, "Yang paling capek mau ga dikasih hadiah??" "Emang hadiahnya apa?" "Mau ga?" "Mesti ngawur tuh," kata teman saya yang sudah menduga arah omongan saya. "Iya. Yang paling capek mau ga dapat hadiah...., sekarang juga menyusul Lies masuk ke surga.." Semua langsung nyahut bareng.. "Harus wassalam dulu dong.." Tapi ada satu orang teman lain, tokoh gereja, menjawab: "Mau. Naik ke surga sekarang juga. Daripada nanti-nanti... Siapa tahu nanti-nanti malah ga sampai..." "Wah.., ga sayang tuh ninggalin unyil-unyil di rumah??" Dia bilang, "Kan aku bisa kirim doa dari sana.." **** Ketika pada hari lain hal ini saya ceritakan kepada istrinya, saya dapat jawaban.. "Bapaknya tuh memang imannya besar luar biasa." "Segede apa??" tanya saya. "Segede gunung, kale..." jawabnya.. Saya nyahut "Wahhhh... Iman segede biji sesawi aja bisa memindahkan gunung, apalagi iman segede gunung..." Tlogotangi / Salatiga, 8 Juni 2011 [caption id="attachment_113077" align="alignleft" width="150" caption="Gunung Merapi"][/caption]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H