Mohon tunggu...
WS Thok
WS Thok Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Lahir di Jawa-Timur, besar di Jawa-Tengah, kuliah di DI Yogyakarta, berkeluarga dan tinggal di Jawa-Barat, pernah bekerja di DKI Jakarta. Tak cuma 'nguplek' di Jawa saja, bersama Kompasiana ingin lebih melihat Dunia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

(Gugontuhon) Larangan Menepuk Pantat Perempuan

13 Mei 2017   10:08 Diperbarui: 13 Mei 2017   10:58 1165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


“Aja sok nyeblek bokonge wong wadon, mundhak ingkang dipun ceblek cemplang olah-olahane”. (Jangan suka menepuk pantatnya perempuan, bisa mengakibatkan yang ditepuk masakannya hambar)


Kalimat di atas adalah salah satu contoh gugontuhon, sebagai nasihat orang tua kepada anak (muda) di suku Jawa. Nasihat berupa larangan menepuk pantat perempuan, karena bisa menyebabkan masakan yang dimasak perempuan itu menjadi kurang enak atau hambar.


Boleh jadi yang mendengar nasihat tak tahu hubungannya antara menepuk pantat dan masakan hambar. Tapi itulah namanya gugontuhon yang sebaiknya dipatuhi tanpa banyak bertanya.


Terhadap nasihat orangtua, diwaktu lalu (beda dengan sekarang) seorang anak tidak sopan untuk terlalu banyak bertanya. Tujuan utama adalah larangan menepuk pantat perempuan, titik.


Selain tujuan utama yang harus dipatuhi, sering nasihat itu memang ada kaitannya. Jika dianalisa secara rasional ada kaitan antara larangan dan akibatnya. Namun ada gugontuhon lainnya yang sulit ditemukan kaitannya meski sudah memeras otak, alias tidak rasional/masuk akal, misalnya:


• Aja sok lungguh ing bantal, mundhak lara wudunên. (Jangan suka duduk di atas bantal, bisa berakibat terkena bisul)

• Yèn madhang aja sok nisa, mundhak mati pitike. (Jika makan jangan tersisa, berakibat ayam peliharaannya mati)

Aja sok sarapan sêga wadhang, mundhak pêtêng atine. (Jangan suka sarapan dengan nasi wadang – nasi yang sudah lama dan dingin – berakibat pikiran menjadi gelap).


Gugontuhon sebagai ajaran orangtua sekarang ini kelihatannya sudah jarang dipakai. Saya menengarai nasihat itu jika dilanggar atau tidak dipatuhi memang tidak menyebabkan risiko yang besar/fatal, sehingga tidak dianggap penting dan mudah ditinggalkan.


Boleh jadi orangtua yang menggunakan gugontuhon itu kawatir dianggap kurang rasional atau mengajarkan sesuatu yang tak rasional, sehingga dirasa membodohi, tak sejalan dengan metoda pendidikan yang cenderung ilmiah.

Jika toh merasa nasihat/larangan itu penting, maka kalimat yang sering digunakan dalam gugontuhon dipenggal, kalimat akhir terutama yang tampak tidak rasional sebagai penyebabnya dihilangkan. Selanjutnya hanya berupa kalimat larangan dengan menjelaskan maksud larangan itu secara rasional.


Prawiro Winarsa dalam “Serat Gugontuhon” mencatat 148 buah gugontuhon 1). Dari catatan itu banyak yang tidak saya ketahui sebelumnya. Bagi saya apa yang menjadi nasihat orangtua jaman dulu sepertinya masih relevan untuk diterapkan di jaman sekarang.


O ya, untuk mengetahui seberapa besar orang jaman sekarang berapresiasi terhadap gugontuhon, sengaja saya kirim contoh di atas kepada mantan teman-teman SMA melalui WA. Berikut hasil/tanggapan-tanggapannya.


• Yen diceblek kaget...uyahe kakehan... Suloyo to...? (Kalau ditepuk kaget...garamnya jadi kebanyakan...komplain kan?

Nek sing nyeblek, wong lanang udu bojone, kuwi pelecehan, akibate merasa kelara lara, sedih..masak dadi ora enak. Nek sing nyeblek bojone, ora konsentrasi le masak, dadi kasinen, opo cemplang..(Kalau yang menepuk pantat bukan suaminya itu namanya pelecehan, berakibat sakit hati, sedih sehingga masakannya kurang enak. Jika yang menepuk suaminya berakibat kurang konsentrasi sehingga terlalu asin tidak enak).

• Nek wong wedok, jarang nyeblek bokonge wong wedok, ndhak dikiro lesbi..😁 (Kalau perempuan jarang nenepuk pantat perempuan, nanti dikira lesbi).

• (Saya nenanyakan jika yang menepuk pantat adalah anaknya sendiri) Biasane sing nyeblek mesti isih balita, lha kuwi yo ngganggu konsentrasi mergo mesti karo nangis ngrusuhi...😁😁 dadi cemplang masakanne. (Biasanya yang menepuk pantat adalah anak yang masih balita, itu tentu saja mengganggu konsentrasi karena pasti pakai nangis dan mengganggu.)


Itulah, pada dasarnya menepuk pantat perempuan bagaimanapun dihindari. Nasihat kuno nenek moyang kita masih relevan. (Depok, 13 Mei 2017).

_______________________________
1) http://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/62-adat-dan-tradisi/242-gugon-tuhon-prawira-winarsa-1911-1222

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun