Prawiro Winarsa dalam “Serat Gugontuhon” mencatat 148 buah gugontuhon 1). Dari catatan itu banyak yang tidak saya ketahui sebelumnya. Bagi saya apa yang menjadi nasihat orangtua jaman dulu sepertinya masih relevan untuk diterapkan di jaman sekarang.
O ya, untuk mengetahui seberapa besar orang jaman sekarang berapresiasi terhadap gugontuhon, sengaja saya kirim contoh di atas kepada mantan teman-teman SMA melalui WA. Berikut hasil/tanggapan-tanggapannya.
• Yen diceblek kaget...uyahe kakehan... Suloyo to...? (Kalau ditepuk kaget...garamnya jadi kebanyakan...komplain kan?
• Nek sing nyeblek, wong lanang udu bojone, kuwi pelecehan, akibate merasa kelara lara, sedih..masak dadi ora enak. Nek sing nyeblek bojone, ora konsentrasi le masak, dadi kasinen, opo cemplang..(Kalau yang menepuk pantat bukan suaminya itu namanya pelecehan, berakibat sakit hati, sedih sehingga masakannya kurang enak. Jika yang menepuk suaminya berakibat kurang konsentrasi sehingga terlalu asin tidak enak).
• Nek wong wedok, jarang nyeblek bokonge wong wedok, ndhak dikiro lesbi..😁 (Kalau perempuan jarang nenepuk pantat perempuan, nanti dikira lesbi).
• (Saya nenanyakan jika yang menepuk pantat adalah anaknya sendiri) Biasane sing nyeblek mesti isih balita, lha kuwi yo ngganggu konsentrasi mergo mesti karo nangis ngrusuhi...😁😁 dadi cemplang masakanne. (Biasanya yang menepuk pantat adalah anak yang masih balita, itu tentu saja mengganggu konsentrasi karena pasti pakai nangis dan mengganggu.)
Itulah, pada dasarnya menepuk pantat perempuan bagaimanapun dihindari. Nasihat kuno nenek moyang kita masih relevan. (Depok, 13 Mei 2017).
_______________________________
1) http://www.sastra.org/bahasa-dan-budaya/62-adat-dan-tradisi/242-gugon-tuhon-prawira-winarsa-1911-1222
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H