Mohon tunggu...
WS Thok
WS Thok Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Lahir di Jawa-Timur, besar di Jawa-Tengah, kuliah di DI Yogyakarta, berkeluarga dan tinggal di Jawa-Barat, pernah bekerja di DKI Jakarta. Tak cuma 'nguplek' di Jawa saja, bersama Kompasiana ingin lebih melihat Dunia.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Berharap Dihormati oleh Presiden

10 April 2016   11:54 Diperbarui: 10 April 2016   19:52 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di setiap pembukaan pidato yang lebih-lebih bersifat formal, setelah mengucapkan salam sering menggunakan ungkapan “Yang terhormat” atau “Yang saya hormati” untuk menyebut beberapa orang yang hadir. Dalam sambutan pembukaan bulan puasa yang lalu misalnya, di masjid kami (yang melingkupi 2 RW) Ketua RW satu menggunakan “Yang terhormat”, sedangkan ketua RW lainnya menggunakan “Yang saya hormati”. Dalam pidato kenegaraan baik Pak SBY maupun Pak Jokowi menggunakan “Yang saya hormati”.

Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kedua ungkapan itu mempunyai kandungan makna yang berbeda. lmbuhan ter- pada ungkapan ‘Yang terhormat’ menunjukkan makna 'paling'. Yang terhormat berarti 'yang paling dihormati', 'yang paling mulia'. Ungkapan itu ditujukan kepada orang yang paling dihormati atau yang paling mulia dalam forum itu. Berbeda dengan ungkapan “Yang saya hormati” ('yang saya beri hormat'), pada ungkapan itu saya yang memberikan penghormatan. Dalam hal itu, kedua ungkapan pernyataan tersebut dapat digunakan sesuai dengan keperluannya.


Dari penjelasan itu saya memaklumi, pantaslah presiden menggunakan ungkapan “Yang saya hormati”, karena bisa saja tidak ada yang paling dihormati oleh presiden, yang paling (ter)hormat (orang nomor satu) adalah presiden sendiri. Kecuali jika orangtua presiden hadir, boleh jadi presiden baru menggunakan ungkapan “Yang terhormat”, “Yang terhormat ibu yang telah melahirkan saya di dunia ini…”.


Lain pula almarhum Dr. Nurcholish Madjid, budayawan – mantan Rektor Universitas Paramadina. Secara tersirat Nurcholish lebih memilih ungkapan “Yang terhormat”, karena kandungan makna yang berbeda seperti yang pernah ditulisnya berikut ini.


Diceritakan seorang bupati mengunjungi pesantren di Jawa Timur. Sang bupati yang akrab dengan kyai pesantren itu dipersilakan berceramah kepada para santri dan guru. Setelah salam Pak Bupati melanjutkan dengan kalimat “Bapak Kyai yang saya hormati…”. Tiba-tiba Pak Kyai berdiri dan menghampiri mikrofon, lalu berkata, “Nanti dulu Pak Bupati! Saya memang sudah tahu Pak Bupati menghormati saya, untuk itu saya mengucapkan terima kasih. Tapi, soalnya, apakah saya ini terhormat atau kebetulan dihormati oleh Pak Bupati? Dan kalau saya terhormat, mengapa Pak Bupati tidak mengatakan saja, Pak kyai yang terhormat? Dan saya tidak perduli apakah Pak Bupati atau orang lain menghormati saya atau tidak, kalau memang benar-benar saya ini terhormat, dan tidak sekedar kebetulan dihormati oleh orang tertentu saja”.


Pak Kyai itu dalam pidato selanjutnya masih menjelaskan tentang ungkapan itu. Beliau hendak menunjukkan suatu kualitas pada seseorang tidak tergantung pada siapapun, tak perlu mengharap penghormatan dari orang lain. Kehormatan seseorang melekat pada diri pribadi seseorang itu, tanpa peduli apa sikap orang lain kepadanya.


Saya membayangkan Pak Kyai ini boleh jadi akan bersikap sama jika presiden menggunakan ungkapan “Yang saya hormati” kepadanya. Jika boleh menginterupsi pidato presiden dan tidak menimbang faktor etika, sudah tentu Pak Kyai akan mengatakan hal sama seperti yang dikatakan kepada Pak Bupati, tidak berharap dihormati oleh seseorang meski oleh presiden sekalipun.


Pada kenyataannya, saya percaya kebanyakan orang tak terlalu memperhatikan kandungan makna kedua ungkapan itu baik menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa maupun Dr. Nurcholish Madjid. Namun, saya dan mungkin pembaca yang terlanjur mengetahui ungkapan itu akan menimbang-nimbang atau boleh jadi malah tambah bingung.


Ops… saya baru ingat, ketimbang disalah-pahami, lebih baik tak memakainya atau mencari alternatif lainnya. Tak ada salahnya meniru ungkapan yang biasa diucapkan oleh para kyai atau ustadz dalam pembukaan tauziah atau ceramahnya, yaitu: “Hadirin yang dirahmati (dimuliakan) oleh Allah SWT”. Kedengaran kok lebih keren dan membanggakan bagi hadirin yang disapanya. (Depok, 10 April 2016)
---------------------------------
Sumber Ilustrasi, cek di sini 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun