Mohon tunggu...
WS Thok
WS Thok Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Lahir di Jawa-Timur, besar di Jawa-Tengah, kuliah di DI Yogyakarta, berkeluarga dan tinggal di Jawa-Barat, pernah bekerja di DKI Jakarta. Tak cuma 'nguplek' di Jawa saja, bersama Kompasiana ingin lebih melihat Dunia.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Oh, Hajar Aswad

11 November 2012   07:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   21:38 1133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabtu, 2 Nov 2012, berlima satu regu melakukan umrah sunat dengan miqat (tempat memulai umrah/haji) di Masjid Tan'im. Pukul dua pagi kami berangkat dari maktab dengan angkot, ongkosnya 10 real (sekitar 27 ribu rupiah) per orang dari maktab - Masjid Tan’im - Masjidil Haram. Lancar-lancar saja ketika melakukan thawaf (mengelilingi Ka'bah). Putaran bisa cepat karena dekat dengan Ka'bah (bisa melewati sisi dalam Maqam Ibrahim) meski agak padat.

Selama thawaf dianjurkan tidak memegang Ka'bah, Hijir Ismail, Syadzarwan (lengkungan di bagian dasar dinding Ka’bah) itupun saya patuhi. Selesai thawaf 7 kali putaran, terpikir untuk mendekati Hajar Aswad, sebuah batuyang tertanam di salah satu sudutnya, mumpung posisi saat itu dekat dengan Ka'bah.

Sebuah hikmah sunat bagi laki-laki mencium Hajar Aswad, dan sebuah amaliah mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS dan juga Nabi Muhammad SAW. Di tempat itulah kita dipertemukan dengan 'bekas' ciuman Nabi Ibrahim AS dan Nabi Muhammad SAW.

Untuk mencapai Hajar Aswad itu perlu keliling satu putaran lagi sambil merapat ke dinding Ka'bah. Hasil merapat dinding Ka'bah, bisa sekalian masuk ke Hijir Ismail, memberi kesempatan istri saya melakukan salat mutlak, meski hanya dengan berdiri, karena padatnya jamaah.

Selesai dari bagian Hijir Ismail, kami keluar dan tetap merapat ke dinding Ka'bah mendekati sudut Hajar Aswad. Saya berada di baris ketiga, sementara istri saya di belakang saya. Semakin dekat Hajar Aswad semakin kuat desakannya. Tangan saya terjepit di antara perut pengunjung dan kesulitan menariknya. Lebih repot lagi ketika lengan para pengunjung yangbesar menelikung kepala saya hingga kacamata melorot. Akhirnya saya hanya bisa menggapai sisi Hajar Aswad tanpa bisa menciumnya, keburu terpental hingga beberapa meter, terdesak pengunjung yang keluar selesai mencium Hajar Aswad. Saat terpental itulah, baju ihram bagian atas terlepas.

Saya dalam keadaan bimbang, antara mencari atau tidak kain ihram saya. Karena keterbatasan pengetahuan, maka saya pikir tidak sah jika hanya menggunakan satu helai kain ihram saja saat melakukan Sai (berjalan/lari antara Bukit Safa dan Bukit Marwah) yang belum saya lakukan. Istri saya yang ikut terpental saya minta keluar area thawaf menunggu di area Bukit Safa sambil titip kacamata. Saya segera mencari kain ihram yang terjatuh di lautan manusia yang berjubel itu.

Karena terlalu lama jika harus berputar lagi, maka saya nekat melawan arus. Dengan memasang kuda-kuda yang kuat, pelan-pelan saya mendekat ke arah Hajar Aswad, sambil kaki mencari-cari kain ihram. Sudah pasti saya harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk menahan desakan pengunjung.

Hingga beberapa lama, ujung kaki saya menyentuh sebuah kain. Saya mendekat dan bisa mengambilnya. Alhamdulilah, lega hati ini saat membaca nama saya tertera di kain itu. Kelegaan itu menjadikan saya lengah dan tidak menjaga kuda-kuda lagi. Saya terpental untuk kedua kalinya. Namun saya sudah cukup senang mendapatkan kain ihram saya. Saya berusaha keluar barisan. Selanjutnya ke pinggir untuk salat sunat thawaf dan berdoa seperti lazimnya.

Berhubung sudah dekat dengan waktu subuh dan melepaskan lelah, saya belum beranjak untuk menemui istri saya. Barulah ketika selesai salat subuh, saya menghampiri istri saya yang sangat mencemaskan saya. Terlihat kelegaan di matanya yang basah ketikamelihat saya mengenakan kain ihram lengkap. Rupanya istri saya membayangkan kemungkinan terburuk, yaitu saya terjatuh dan terinjak-injak.

Saya merasa kejadian itu sebagai peringatan Allah SWT sekaligus sebagai pelajaran. Setelah thawaf seharusnya menyelesaikan tugas/kewajiban selanjutnya, yaitu melakukan sa'i. Belum sempat melakukannya sudah tergoda dengan hal lainnya. Saya teringat dengan firman Allah: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain”(QS Al Insyirah: 7).

Pelajaran yang saya petik adalah, saya perlu tahu cara aman mendekati dan mencium Hajar Aswad. Setelah bertanya kepada ketua rombongan (karom) yang sudah berpengalaman empat kali pergi haji dan 17 kali mencium Hajar Aswad, baru tahu bahwa cara yang saya lakukan sangat berbahaya. Berdesak-desakan mendekati Hajar Aswad dengan hanya memakai pakaian ihram bisa menjerat leher. Harusnya saya memakai pakaian yang 'ringkas', 'kuat' dan tidak memakai kacamata.

Juga, cara saya menyusur tembok Ka'bah sangat menguras tenaga. Hal yang disarankan adalah dengan mengikuti orang yang berbadan besar dari arah sebaliknya, kita ikut di belakangnya dan diusahakan siap di bawah ketiaknya saat ia sedang mencium Hajar Aswad. Setelah selesai, secepatnya kepala kita menggantikannya.

Cara lain yang saya dengar adalah dengan berusaha mencari posisi di bagian barisan/shaf paling depan dekat Hajar Aswad saat salat lima waktu. Ketika salat selesai, secepatnya menuju Hajar Aswad. Masih ada cara lain, yaitu memanfaatkan jasa para ‘joki’ (orang kita juga ada) bagi yang kelebihan duit, karena ongkos jasanya bisa 300 hingga 400 real. (1 real = 2700 rupiah).

Di luar pro dan kontra dengan cara-cara itu, terus terang saya belum mempraktekkan semuanya. Melihat berjubelnya jamaah haji yang tidak henti-hentinya thawaf di musim haji ini membuat saya keder, lebih-lebih trauma yang belum sirna.

Atas kehendak Allah SWT banyak yang bisa mencium Hajar Aswad, meski badannya kecil dan lemah, namun saya percaya banyak jamaah haji (tak hanya dari Indonesia) yang gagal menciumnya, meski badannya besar dan kuat. Memang menyesal jika pergi jauh-jauh ke tanah suci dan dalam kesempatan yang langka itu tidak bisa mencium Hajar Aswad.

Saya berharap Pemerintah Saudi Arabia bisa memberantas para ‘joki’ dan mengatur antrian (minimal seperti antrian di ATM-lah, atau membuat jembatan untuk menghindari berpapasan dengan yang sedang thawaf) secara adil dan aman, sehingga memungkinkan semua jamaah merasakan nikmatnya mencium Hajar Aswad, jangan sampai terkesan seperti hukum rimba, yang kuat yang menang atau yang kuat bayar yang berkuasa. Semoga Allah SWT masih berkenan memberi kesempatan mencium Hajar Aswad di lain waktu... Amin! (Depok, 11 November 2012)

-----------------------------

Sumber Ilustrasi: http://zharifalimin.blogspot.com/2012/01/misteri-hajar-aswad-dan-rahsia-besar.html

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun