Novel pertama saya yang diterbitkan juga bergenre cersil, berkisah tentang bagaimana para pendekar Malesung (Minahasa kuno) menghadapi serbuan pasukan kerajaan Majapahit.
Satu genre
Idealnya memang, penulis konsentrasi pada satu genre sehingga pembaca bisa dengan mudah mengidentifikasi. Itu sebabnya kita tahu kalau Agatha Christie itu identik dengan cerita kriminal, Enid Blyton penulis cerita anak, John Grisham penulis bertema hukum, Dan Brown penulis kisah misteri berbalut konspirasi, dan seterusnya.
Jika kemudian mencoba genre lain, pengarang tertentu memilih menggunakan nama samaran, seperti yang dilakukan JK Rowling. Karena terlanjur dikenal sebagai penulis fantasi bertema sihir, ketika Rowling ingin menulis genre crime modern, dia menggunakan nama pena Roberth Galbraith.
Tapi bukan berarti seorang harus terpaku pada satu genre. Banyak pengarang terkenal yang bisa menghasilkan karya dari genre yang beragam. Di Indonesia, Arswendo Atmowiloto contohnya. Mas Wendo bisa membuat cerita "silat Jawa" dengan sangat apik melalui Senopati Pamungkas, dan juga menghasilkan kisah bertema kemanusiaan yang menyentuh melalui Keluarga Cemara, kisah bertema misteri detektif melalui Imung, dan sejumlah kisah bertema keluarga, termasuk kisah fiksi hasil refleksi ketika dipenjara.
Pengarang lain yang juga piawai menulis lintas genre adalah Seno Gumira Ajidarma.
Genre kombinasi
Rata-rata pengarang hanya memasukkan satu genre pada kisah yang dibuat. Bagaimana dengan mengombinasikan dua atau lebih genre dalam satu cerita? Itu bisa saja.
Stephen King merupakan contoh pengarang yang suka mencampur-adukkan beberapa genre dalam cerita yang dibuatnya. Sekalipun lebih dikenal sebagai penulis kisah horror, terkadang King memasukkan berbagai unsur, seperti dark fantasy, science fantasy, horror, dan Western seperti pada serial Dark Tower yang kini sementara difilmkan.
Menggabungkan beberapa genre dalam satu kisah itu sangat mengasyikkan, terutama jika dimaksudkan untuk bersenang-senang dan melampiaskan ide yang membanjir.