Mohon tunggu...
Wahid Rizalluddin Habibi
Wahid Rizalluddin Habibi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumni Sekolah Tinggi di Bintaro

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aku Hidup di RRC (Republik Rajanya Calo)

13 Juni 2011   16:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:33 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu pagi yang cerah Bu Guru bertanya kepada Tya tentang pelajaran IPS, "Tya, RRC itu kepanjangan dari apa?" Tya yang seorang ranking 1 di kelas menjawab dengan yakin, "Republik Rakyat China Bu." Sambil tersenyum Bu Guru bertanya kembali, "Hmm dimana ibukotanya?" Tanpa berpikir lama Tya menjawab, "di Beijing Bu." "Bagus, sekarang giliran Udin", ujar Bu Guru. "Ada apa bu? sudah mau pulang ya?", tanya Udin polos baru bangun tidur. "Udin kamu tidur terus dari tadi. Ibu akan memberimu pertanyaan kalau tidak bisa jawab nanti Ibu hukum. Apa itu kepanjangan dari RRC?", kata Bu Guru sambil mengelus dada berusaha sabar dengan murid ternakalnya ini. Udin bingung akan menjawab apa. Kemudian dengan sekenanya Udin menjawab, "Republik Rajanya Calo Bu." Seisi kelas pun tertawa terbahak-bahak. "Oo kalau begitu ibukotanya dimana ya RRC itu?", cecar Bu Guru sambil menahan tawa. Tak disangka secepat kilat Udin menjawab dengan penuh keyakinan, "Jakarta Bu!" -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Bukan berlebihan jika kita menyebut Jakarta sebagai ibukota Republik Rajanya Calo. Hampir setiap lini pekerjaan pasti ada calonya. Mudah saja kita menemukan calo. Oke, mari kita mulai keliling Jakarta untuk lebih mengenal pekerjaan dengan variasi usaha terbanyak ini. Sebenarnya calo ini profesi yang baik lho. Lihat saja definisinya di KBBI! Calo adalah orang yg menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu berdasarkan upah. Nah lho, ini kan berarti pekerjaan yang membantu sesorang. Bila sesorang tidak mau repot-repot mengurus sesuatu bisa memakai jasa calo ini. Pekerjaan yang baik dengan menolong sesama. Namun bagaimana bila pekerjaan ini telah berubah menjadi suatu bentuk pemaksaan terselebung. Pemaksaan terselebung karena kita sebenarnya bisa mengurus suatu pekerjaan sendiri akan tetapi karena calo ini sudah mengusai bidang pekerjaan tersebut, dengan terpaksa kita harus memakai jasa mereka. Terlebih kadang upah yang mereka minta di luar kewajaran. Baru keluar kawasan perumahan saya sudah menemukan calo. Usaha mereka berupa buka-tutup portal jalan dan mengatur lalu lintas kawasan simpang jalan. Mereka minta imbalan uang receh seikhlasnya dari mobil yang lewat. Sebenarnya portal ini kan bisa dibuka saja kalau siang hari kemudian bila malam hari supaya perumahan aman ditutup tidak masalah. Tapi dengan cerdiknya anak-anak remaja sekitar ini memanfaatkan untuk mencari sumber pengasapan. Bukan penghidupan lho, karena saya yakin hidup mereka masih ditanggung orang tua mereka. Yang mereka cari ini dana untuk pengasapan, untuk rokok maksudnya. Kita sebut remaja-remaja berjiwa bisnis ini Calo Portal. Karena keluar perumahan dengan jalan kaki maka saya tidak kena tarif. Sesampai di jalan raya saya mencari angkot. Eh ketemu calo lagi. Kali ini kita sebut Calo Penumpang. Calo ini memberikan pelayanan untuk mengarahkan penumpang ke angkot tertentu. Calo ini dibayar sekitar 500-1000 rupiah oleh sopir angkot. Calo ini nggak penting juga. Tanpa diarahkan ke angkot pun kami pasti akan menuju angkot terdekat yang sudah siap sedia berangkat. Pasti beban pembayaran calo ini dimasukkan ke tarif angkot oleh pak sopir. Berarti saya dirugikan secara tidak langsung dong. Dengan menggunakan angkot kita menuju ke Stadion Gelora Bung Karno. Kita nonton AFF Suzuki Cup 2010. Sulit sekali ini untuk mendapatkan tiket pertandingan Leg kedua Indonesia vs Filipina. Maklum semifinal, terlebih penampilan Indonesia pada pertemuan pertama yang begitu memukau. Ribuan orang berebut tiket untuk melihat secara langsung pertandingan ini. Semangat nasionalisme mereka meletup-letup untuk mendukung timnas kesayangan. Dengan atribut kaos bolah merah seragam kebanggaan, para supporter ini memerah darahkan GBK. Sayang distribusi tiket sangat buruk. Antrian tiket mengular tidak teratur. Akibatnya terjadi desak-desakan yang bisa mengakibatkan pingsan bahkan kematian. Apalagi menjelang pertandingan diumumkan tiket dengan kelas tribun tertentu banyak yang sudah terjual habis. Padahal masih ada ribuan orang dari seluruh pelosok Indonesia yang masih mengantri tiket walau loket masih dibuka 3 jam lagi.  Akhirnya kerusuhan pun tak dapat dihindari. Massa bertindak anarkis dengan merusak kantor PSSI di GBK karena mereka menganggap PSSI tidak becus mengurusi distribusi tiket. Mereka juga menganggap banyak calo yang berkerjasama dengan orang dalam sehingga tiket yang dijual tidak mencukupi logika hitung-hitungan sederhana mereka berdasar estimasi orang yang mengantri dan lamanya penjual tiket dari saat loket dibuka sampai pengumuman tiket habis. Saya pun termasuk orang yang tidak dapat tiket padahal sudah mengantri dua hari. Sialnya hari ini adalah hari terakhir pembelian karena nanti sore sudah dihelat pertandingan akbar itu. Padahal kemarin saya termasuk orang yang mendapat janji manis dari pihak polisi dan panitia setelah ikut demo anarkis di depan kantor PSSI itu. Walau cuman demo sorak-sorak dari belakang sih. Kami yang berdemo kemarin dibuat tenang setelah dijanjikan akan diberi keistimewaan untuk mendapat jatah tiket tersisa. Kami diiberi kupon khusus supaya kami mendapat keistimewaan saat mengantri. Namu janji tinggal janji kosong belaka, kenyataannya jangankan diistemawakan. Panitia malah kerepotan dengan berbagai antrian ribuan orang di setiap loket yang buka. Wah kalau begini boro-boro mau antri, lihat antriannya saja sudah ngeri, taruhannya nyawa boi. Kalau sudah begini dari pada pulang dengan tangan kosong lebih baik cari calo saja. Kalau calo pasti bisa dapat tiket dan tidak perlu antri. Harga berlipat-lipat urusan belakanglah yang penting bisa dukung timnas. Tapi bagaimana cara mencari calo ini? Mereka pasti beroperasi secara diam-diam karena jika ketahuan bisa menjadi sasaran amuk supporter yang belum dapat tiket. Butuh keahlian khusus untuk mengenditifikasi calo atau orang biasa pada suasana seperti ini. Pada situasi seperti ini pengalaman saya mengamati praktek-praktek pencaloanlah yang berbicara. Dengan sekali observasi sekitar langsung saja saya dapatkan seorang terduga calo, seorang terduga Calo Tiket Bola. "Pak kamu calo ya", tanyaku dengan frontalnya. "Huss. Jangan keras-keras! kok tahu?", tanya si calo heran. Saya jawab sambil bercanda, "Karena bapak telah menaikkan harga hatiku eh harga tiketku pak." "Enak saja tiketmu, kamu kan belum beli. Kamu pasti mahasiswa ya?", tanya si calo. "Iya pak, kok tahu?", jawabku. Bapak calo membalas, "karena kamu telah mendemo-demo golongan pekerjaanku. Kamu kan yang biasannya demo di DPR. Lha mereka anggota DPR itu saudara sepercaloanku. Mereka itu sama-sama lulusan padepokan calo jurusan Calo Anggaran." Saya membatin di dalah hati, "Kurang asem bisa juga bapak ini bilang begitu." "Ayo kita cari tempat yang aman untuk transaksi. Kalau transaksi ini ketahuan nanti kita besi digebukin para supporter itu", ujar bapak calo sambil lirik kanan-kiri mengawasi situasi sekitar. Akhirnya saya mengikutinya menuju tempat sepi tempat transaksi bersama 4 orang temanku lain yang cupu. Empat orang teman ini bisanya nyuruh saja minim inisiatif memecahkan masalah. Setelah terjadi tawar menawar harga akhirnya saya berhasil mendapat tiket AFF Suzuki Cup 2010 dengan harga 100ribu, padahal harga aslinya 50ribu. Naik 100% dari harga resmi. Yah tapi mau bagaimana lagi, sudah antri 2 hari masak mau pulang dengan tangan hampa. Akhirnya kami berlima membeli tiket dari calo itu. Calo itu pun berbagi kisah pengalaman hidupnya. Ternyata memang untuk menjadi calo harus kenal orang dalam. Kalau tidak begitu mana mungkin mereka masih punya ratusan tiket, padahal untuk cari 1 tiket saja susahnya minta ampun sampai harus bertaruh nyawa saat desak-desakan. Si bapak calo juga bilang ada temannya yang hampir meninggal karena dikeroyok massa padahal mereka hanya mencari penghidupan dari even yang jarang terjadi ini. Keuntungan yang mereka peroleh juga tidak seberapa karena harga dari orang dalam juga sudah lumayan tinggi. Bahkan bapak ini memberi no teleponnya khusus kepada saya bila suatu saat butuh jasa calonya saat ada even pertandingan bola internasional. Boleh juga langsung saja kusimpan no si bapak calo itu 021**63869. Setelah ku-miss call ternyata memang bisa dihubungi tuh handphone si bapak. Puas mendengar curhat calo itu kami pun memohon diri untuk segera bersiap menonton pertandingan. Ternyata calo juga manusia, punya asam garam dalam hidupnya. Tak sia-sia saya mendukung timnas dan membeli tiket ke calo dengan harga yang mahal. Karena timnas kita menang 1-0 dengan gol yang dicetak Gonzales. Gol yang spektakuler. Permainan timnas juga memukau. Menonton secara langsung di stadion memang beda rasanya dengan menonton di tv. Puas menonton pertandingan bola kita melompat ke setahun kemudian. Tepatnya kita akan menghadiri acara Jakarta Fair 2011. Acara expo tahunan di Jakarta yang menyuguhkan berbagai bazar mulai dari BUMN, otomotif, furniture, kerajinan dan makanan khas daerah-daerah di Indonesia, teknologi, elektronik, kaos-kaos merek terkenal dari luar negeri, sepatu, dll. Saat dalam perjalanan menuju daerah Kemayoran saya menjumpai sebuah baliho.

Kita bisa melihat pada iklan tersebut ada kata-kata "BEBAS CALO". Hal ini menunjukkan calo memang sudah mengusai dunia usaha di RRC (Republik Rajanya Calo) ini. Suatu produk yang tanpa calo memang menjadi keunggulan tersendiri sehingga digunakan untuk meningkatkan daya tarik konsumen untuk membeli produk itu. "BEBAS CALO" pun jadi alat promosi di iklan.

Puas berkeliling di Jakarta Fair 2011 bersama teman, kami menuju ke Stasiun Senen. Mengantar teman untuk kembali ke kampung halaman di pelosok Jawa Timur. Kereta ekonomi Kertajaya pun jadi pilhan. Sialnya kami telah kehabisan tiket duduk. Tiba-tiba ada seorang berseragam rompi warna terang menghampiri. Dari tulisan di rompinya dapat diketahui dia anggota kelompok angkut barang di stasiun ini. Dia berbicara berbisik-bisik sambil menuntun kami ke arah tempat sepi.

"Mau tiket duduk tidak? cuma 60 ribu", kata orang berseragam rompi.

Oo ternyata orang-orang ini calo juga. Mereka lebih terorganisir dengan seragam rompi yang kompak warnanya. Memang calo ada di mana-mana. Mereka seakan mempunyai akses khusus ke pihak dalam sehingga mempunyai jatah eksklusif. Hal ini tentu saja mengecewakan kami rakyat biasa. Kami juga mempunyai hak atas tiket iku dengan harga sewajarnya. Tapi kenapa selalu saja sudah habis duluan dimonopoli oleh calo. Tapi mau bagaimana lagi? Masak mau berdiri dari Jakarta sampai Surabaya naik kereta ekonomi penuh sesak. Jangankan berdiri, duduk pun badan pegal semua dan begitu menyiksa. Transportasi rakyat ini bisa dibilang pasar berjalan. Aneka barang  jualan tersedia di sini.

"50 ribu saja bang. Uang tinggal sedikit ini. Lagian harga aslinya cuman 43 ribu", temanku mencoba menawar.

"Beli dari orang dalam tidak boleh segitu. Kami ini cuma mengambil sedikit untung buat makan keluarga di rumah bang. Tambah sedikit bang", jawab orang yang bisa kita sebut Calo Tiket Kereta Ekonomi Kertajaya Jakarta-Surabaya.

"55 ribu deh, kalau tidak boleh saya berdiri saja", tawaran terakhir dari temanku.

"Emm baik setuju. Terima kasih bang", jawab si calo senang.

Akhirnya kami pun merelakan tambahan uang untuk beberapa buah tiket pulang kampung. Calo-calo ini begitu meresahkan masyarakat golongan menengah ke bawah. Kalau segala jasa dan komoditi ada calonya tentu saja akan mengurangi daya beli rakyat secara signifikan. Harga jual terbebani dengan berbagai biaya tambahan dari para calo. Ini bisa sangat mengganggu perekonomian nasional. Dengan menurunnya daya beli masyarakat maka perputaran roda ekonomi akan melambat. Ekonomi akan menjadi lesu. Oleh sebab itu saya merasa perlu mengadu ke DPR. Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat. Namun baru saja mau melapor ke anggota DPR, saya dikejutkan dengan selembar koran Media Indonesia yang terbang tertiup angin menimpa wajah saya. Kubuka koran itu sekilas karena penasaran. Beritanya calo lagi! Dari tadi kok calo terus yang saya temui. Dasar calo, sebentar lagi kalian saya adukan ke DPR yang terhormat. Supaya dibuat undang-undang khusus untuk memberantas kegiatan-kegiatan meresahkan kalian ini. Calo apa lagi sih ini kok sampai-sampai masuk deadline koran?Calo Anggaran di Parlemen. Beginilah tepatnya koran yang iseng saya baca. http://www.mediaindonesia.com/read/2011/06/06/232129/70/13/Calo-Anggaran-di-Parlemen.

Lemas sudah diri saya setelah membaca harian itu. Harus mengadu ke mana lagi kalau sudah begini. Mereka yang wakil rakyat, orang terpilih dan terbaik untuk mewakili rakyat saja sudah jadi seperti itu. Masak saya mau mengadukan calo pada calo. Nonsense boy! Tampaknya benar kata kenalan saya si Calo Tiket Bola bahwa lulusan Padepokan Calo Indonesia telah menguasai lapangan pekerjaan di republik ini. Sehingga tak salah jika kita menyebut negeri ini Republik Rajanya Calo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun