Mohon tunggu...
Wahid Rizalluddin Habibi
Wahid Rizalluddin Habibi Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Alumni Sekolah Tinggi di Bintaro

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menengok Sekulerisme Negara Tetangga

5 Juni 2011   19:27 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:50 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Siang tadi setelah berlelah-lelahan melakukan perjalanan darat lebih dari 12 jam, akhirnya sampai juga di kontrakanku di daerah Bintaro. Saya memang seorang perantau di kota ini dan menuntut ilmu sebagai mahasiswa adalah kegiatan utamaku sekarang. Sejenak saya agak terusik dengan suatu majalah pendidikan, CAMPUS Indonesia, yang memuat artikel dengan judul "Belajar dari Cara Singapura Memperlakukan Agama" oleh Pitan Daslani.

Kenapa saya agak terusik dengan judul artikel demikian? Tentu kita tahu bahwa Singapura merupakan negara sekuler. Sedangkan negara kita jelas-jelas memiliki Pancasila dengan sila pertamanya "Ketuhanan yang Maha Esa". Dua hal itu tentu saja amat berseberangan. Lantas kenapa kita seakan disuruh untuk belajar dari mereka yang notabene memisahkan agama dengan kehidupan bernegara. Saya akan sedikit mengulas artikel ini.

Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, kembali menegaskan bahwa negaranya tidak akan memasukkan agama ke dalam kurikulum sekolah. Hal itu melanjutkan kebijakan ayahnya, mantan PM Lee Kuan Yew, 22 tahun silam yang menetapkan agama adalah urusan pribadi bukan urusan sekolah ataupun negara. Mereka berpendapat bahwa di Singapura ada banyak agama maka urusan agama di tempatkan dalam kawasan pribadi masing-masing orang, sementara pemerintah bertugas menjaga keseimbangan melalui perangkat hukum yang tegas. Singapura sebenarnya pernah memasukkan agama di kurikulum sekolah pada tahun 1984. Setiap siswa diberi kebebasan memilih satu dari beberapa pelajaran agama yang tersedia, yaitu Islam, Budha, dan Kristen. Namun lima tahun kemudian di bawah kepemimpinan Lee Kuan Yew pemerintah mencabut kebijakan tersebut karena terindikasi para siswa menjadi semakin terpisah satu sama lainnya. Ada juga kasus guru yang mengajari siswanya mengikuti agama tertentu sehingga terjadi ketegangan di sekolah. Sejak saat itu pemerintah melarang pendidikan agama di sekolah sampai sekarang. PM Lee berpendapat bahwa melarang agama tidak akan menghambat penduduk Singapura menjalankan agamanya masing-masing.

Sikap Singapura yang demikian tak lantas menjadikan negara mereka "kafir". Justru negara mereka bisa dibilang menerapkan ajaran agama dalam kegiatan sosial budaya mereka. Dalam hal tata kelola pemerintahan, Singapura dikenal sebagai negara paling bersih dan akuntabel di dunia. Ini berarti pemimipin mereka adalah pemimpin yang amanah. Bersih tidak ada korupsi. Walaupun mantan pemimpin mereka Lee Kuan Yew seorang diktator akan tetapi berhasil membawa negara ke arah kemakmuran. Dalam hal hukum mereka juga bisa dijadikan sebagai teladan karena hukum di sana jelas dan konsisten tidak tebang pilih. Yang bersalah dinyatakan bersalah tidak peduli status mereka. Untuk urusan kebersihan yang oleh agama Islam dianggap sebagai bagian dari iman, Singapura menerapkannya dengan sangat baik. Semua sudut kota terjaga kebersihan dan keindahannya. Singapura menetapkan bahwa kawasan mereka bebas asap rokok, maka bungkus rokok yang semua komoditas impor itu diberi gambar-gambar mengerikan semisal gusi berdarah, jantung perokok yang rusak, mulut terbalut kanker, dll. Kesehatan warga negara dianggap jauh lebih penting dari pendapatan pemerintah yang diperoleh dari cukai rokok. Bahkan di kalangan pelajar mereka, seorang dianggap sebagai manusia kurang beradab bila merokok.

Negara yang secara tegas melarang pengajaran agama di sekolah-sekolahnya justru telah berhasil mempraktekkan nilai-nilai agama dalam kehidupan nyata. Mereka punya pemimpin yang jujur (walau diktator tapi begitu peduli pada rakyatnya http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6132392), menjaga kesehatan sebagai anugerah Tuhan, menjaga kerukunan antar etnis dan agama, dan juga menjaga kebersihan.

Lalu bagaimanakah dengan negara kita tercinta Indonesia?

Negara kita adalah negara yang memiliki ideologi Pancasila dengan sila pertama yang berbunyi "Ketuhanan yang Maha Esa". Negara kita mewajibkan pendidikan agama sejak di taman kanak-kanak hingga ke perguruan tinggi. Agama menjadi syarat mutlak yang harus dicantumkan di kartu tanda penduduk. Namun entah kenapa perilaku kebanyakan orang di negara ini seakan tidak mencerminkan orang yang beragama. Pemimpin mengorupsi uang rakyat. Bahkan dari 524 daerah, sudah ada 128 kepala daerah yang ditetapkan menjadi tersangka korupsi. Korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah merebak di berbagai lembaga yang seharusnya menjadi panutan kita. Bahkan lembaga kehakiman yang menjadi benteng terakhir keadilan pun sudah tercemar. Saking parahnya sampai muncul anekdot bahwa Indonesia tidak akan pernah menjadi negara terkorup no. 1 di dunia. Karena sebelum panitia penilai memberi putusan pasti sudah disuap dulu supaya Indonesia turun peringkatnya. Kerusuhan yang mengatasnamakan agama juga sering terjadi di negara ini. Semua pihak merasa menjadi "paling" beragama. Mereka melakukan kekerasan dengan dalih agama. Padahal kita tahu tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan.

Mungkinkah ada yang salah dalam sistem pendidikan agama di negara kita. Agama hanya dipandang oleh siswa sebagai pelajaran. Bukan tuntunan berkehidupan. Sehingga kebanyakan siswa hanya mengejar nilai semata. Agama bukan lagi menjadi kesadaran namun lebih kepada paksaan kita harus berbuat ini itu dan sebagainya. Itulah yang perlu dibenahi dalam sistem pendidikan kita. Andaikan Indonesia mengikuti jejak Singapura melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah apakah kita akan tertib dan taat hukum seperti negara itu? Pastinya tidak. Dengan pengajaran agama di sekolah saja kita sering mengabaikannya apalagi jika tidak mendapat pelajaran agama. Bisa-bisa jadi semakin parah! Yang salah bukan agama melaikan orang beragama yang memermainkan agamanya. Nilai-nilai agama semakin pudar dalam kehidupan masyarakat di negara ini. Mengutip pernyataan Pitan Daslani, "Mungkin akan tiba saatnya, orang yang tidak beragama mengajari kita tentang nilai-nilai dalam agama kita masing-masing."

Ditulis oleh:

Wahid Rizalluddin Habibi

Alumni SMAN 1 Tuban

Referensi:

Daslani, Pitan. 2011. "Belajar dari Cara Singapura Memperlakukan Agama", Campus Indonesia, vol. 1 No. 2 hlm. 104-106

http://www.koruptorindonesia.com/2011/03/makin-banyak-kepala-daerah-terjerat-korupsi/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun