Mohon tunggu...
W. Pinayungan Gusti
W. Pinayungan Gusti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi S1 Pariwisata di Universitas Gadjah Mada.

Tertarik pada seni budaya, wisata, kuliner, olahraga, dan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Sehari Tanpa Sosial Media

8 Desember 2024   00:59 Diperbarui: 8 Desember 2024   01:00 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Terkadang dunia terasa terlalu bising dan sibuk. Notifikasi tanpa henti, banyak hal menguras energi. Pagi itu kuliah ditiadakan, aku dan sahabatku memutuskan untuk mengurangi distraksi dari dunia maya. Media sosial kami tinggalkan sejenak, tetapi peta digital tetap jadi teman perjalanan kami berdua. Dengan motor matic pinjaman, kami melaju, memulai petualangan menuju destinasi yang belum pernah kami jelajahi. Perjalanan ini dimulai tanpa target besar, hanya keinginan sederhana untuk mendengar debur ombak, merasakan hembusan angin pantai, juga membiarkan semuanya berjalan lambat dan begitu santai.

Kami berangkat ketika matahari sudah cukup terik, pukul 9. Langit biru cerah menjadi atap perjalanan kami. Jalanan menuju Gunung Kidul mulai menanjak dan berkelok, dikelilingi hutan yang menjulang tinggi. Sesekali panorama terbuka memperlihatkan lembah luas di bawah sana, dipenuhi petak-petak sawah dan rumah-rumah kecil yang tampak mungil dari ketinggian. Sinar matahari hangat menembus celah-celah dedaunan. "Weh keren rek, koyo lukisan yo!", kata sahabatku dalam bahasa Jawa sambil menunjuk bukit di kejauhan. 

Perjalanan ini bukan tanpa tantangan. Memasuki kawasan pohon jati, kami mulai menghadapi tamu tak diundang, ulat-ulat kecil yang menggantung di depan mata kami. "Awas, heh! Ono uler nempel jaketmu!" seruku sambil tertawa. Sahabatku refleks menghentikan motor sambil berteriak panik. Sementara aku mencoba menepiskan ulat yang entah sejak kapan menempel di lengan sahabatku. Pohon-pohon jati yang tinggi itu biasanya memiliki daun lebat yang indah dan hijau, kali ini ulat-ulat jati seolah menjadi cerita yang tak kalah indahnya meskipun dedaunan sudah habis dilahapnya.

Ujian hutan penuh ulat telah kami lewati. Google Maps telah menunjukkan bahwa kami berdua telah sampai di tujuan pertama kami, Pelabuhan Gesing. Kami memasuki kompleks pelabuhan yang baru beberapa bulan lalu diresmikan, tepatnya pada bulan September. Jalanan menuju Pelabuhan Gesing sangatlah curam. Kurasa karena memang lokasi pantai masih berada jauh di bawah sana. Meskipun curam, jalanan terasa mulus tanpa kerikil dan gronjalan. Kami melewati beberapa bangunan seperti villa atau rumah-rumah tingkat berjejer rapi. Selanjutnya berdiri tegak lokasi penjualan ikan yang biasa disebut TPI atau Tempat Pelelangan Ikan. Kami izin untuk memarkirkan kendaraan kepada beberapa warga yang sedang bercengkrama di teras TPI. Kemudian kami mulai berkeliling mengamati kapal-kapal nelayan yang terparkir rapi di laut biru kehijauan. Matahari mulai terasa menyengat, kami pun mengabadikan momen dan bergegas kembali ke TPI untuk berteduh sejenak. Kami berdua mengobrol sedikit dengan beberapa warga di sana. Mereka menceritakan bahwa pelabuhan Gesing sudah beroperasi sejak lama, namun pelabuhan ini baru saja direnovasi dan diresmikan oleh pemerintah. Kami juga mendengarkan secara seksama cerita mengenai wisata pantai yang terdapat di Gunung Kidul. Setelah selesai bercengkrama sedikit, kami berdua disarankan untuk mengunjungi pantai berpasir yang elok, Pantai Wohkudu. Kami pun bergegas untuk kembali melakukan perjalanan selama 30 menit.

Kembali melewati hutan jati, kali ini jalanannya lebih menantang. Ulat-ulat tampaknya menjadikan kami berdua teman perjalanan mereka. Lagi-lagi, beberapa menempel di baju dan helm. Kami hanya bisa tertawa, menganggapnya bagian dari petualangan. Akhirnya, setelah melewati medan yang menantang, kami tiba di sebuah pantai yang tersembunyi. Untuk mencapainya, kami harus menuruni jalan setapak selama 10 menit, diapit oleh pepohonan dan semak belukar yang hampir menutupi pandangan. Di hutan ini, kami lagi-lagi harus melewati ulat-ulat yang menggantung di depan mata. Di tengah perjalanan, aku mendengar suara gemerisik di semak belukar bagian atas. Kami berdua panik, aku pun tidak sengaja menyeletuk guyonan agar mencairkan suasana. “Pie bang nek kui suara harimau?”, ku bilang begitu. Padahal aku sudah tahu tidak mungkin ada harimau di tengah hutan ini. Namun sahabatku terlihat sedikit panik sambil tertawa geli. Kami pun melanjutkan perjalanan untuk turun lagi ke pantai. Ribuan kupu-kupu beterbangan menyambut kedatangan kami. Mereka seperti kilauan warna-warni yang menari di udara, membuat kami terpukau. Wah ternyata ada hikmahnya di balik ribuan ulat-ulat jati itu, mereka dapat berubah menjadi kupu-kupu yang merona.

Tujuan kami pertama setelah memasuki pantai adalah warung makan, karena perut kami sudah kehabisan cadangan makanan. Dipilihlah satu warung paling depan, milik seorang laki-laki paruh baya. Kami memesan 2 mangkuk mie telur. Sembari menunggu dimasak, kami berdua termenung menatap ombak berkejaran di depan mata. Masakan pun jadi, kami berdua menyantap mie dengan gesit sambil menceritakan liburan sahabatku akhir pekan lalu. Walau kami sudah lama tidak bertemu, obrolan siang itu terasa sangat erat. Sesekali bapak pemilik warung ikut tertawa mendengar cerita kami berdua. Waktu berlalu sangat cepat, sahabatku mengajak untuk berpindah posisi duduk di dekat bibir pantai. Sesampainya di sana, kami duduk tepat di bawah batu kecil yang teduh. “Waah harusnya dari tadi duduk di sini coy, lebih syahdu”, ucapnya sambil bermain pasir. Lagi-lagi kami bercerita tentang kehidupan, istilahnya adalah life update.  

Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 14.30. Kami memutuskan untuk kembali ke parkiran. Kami memulai perjalanan kembali menaiki jalur hutan. Napas sedikit tersengal, tapi senyum tak pernah hilang dari wajah. Sampai di parkiran, segelas es cokelat di warung sederhana menjadi hadiah manis sebelum perjalanan pulang. Istirahat kami tidak terlalu lama, kami memutuskan hengkang dari area parkir Pantai Wohkudu setelah mendengar gemuruh geluduk. 

Perjalanan pulang kali ini, aku yang menyetir motornya. Kami bergegas karena takut akan hujan deras, mengingat bahwa jalanan Gunung Kidul sangatlah curam dan licin. Lagi-lagi kami harus melewati hutan penuh ulat jati yang menggantung. Meskipun aku menyetir dengan sangat pelan, tapi tetap saja ulat itu tidak terhindarkan, lagi-lagi kawanannya menempel di baju dan celana. Menantang sekali memang jika mengemudikan motor sambil menghindari mereka. Langit semakin menggelap, kurasa sahabatku sudah mulai mengantuk di belakang sana. Aku pun memaksanya untuk memakai mantel hujan terlebih dahulu agar kami tidak buru-buru saat hujan mendadak datang di tengah perjalanan. Mantel hujan berwarna oranye dan kuning menemani perjalanan kami. 

Perjalanan pulang tak semulus yang kami harapkan. Benar, hujan tiba-tiba menyapa, membuat kami basah kuyup meski mengenakan jas hujan. Jalanan licin, dan kami harus ekstra hati-hati melewati genangan air dan ulat yang entah bagaimana masih bergelantungan. Untungnya kami baru menemui hujan badai ketika sudah berhasil melewati turunan terjal Gunung Kidul. Aku sedikit kesulitan melewati hujan ini, pun sahabatku menyuruhku untuk berkendara santai dan pelan-pelan saja. Aku setuju. Dingin sekali suasananya. Sampailah di daerah sekitar Taman Siswa, hujan mulai mereda. Kami memutuskan untuk berhenti di warung mie ayam untuk menutup hari itu. Semangkuk mie ayam hangat terasa istimewa untuk hari yang menantang. Kami tertawa saat mengingat bangsa ulat yang menempel di pakaian, indahnya pantai, dan derasnya badai yang mengiringi perjalanan pulang kami.

Hari itu berarti buatku karena memberikanku banyak hal. Tentang ketenangan yang hanya dapat ditemukan di alam, tentang kesederhanaan, persahabatan, dan tentang keberanian menghadapi hal-hal tak terduga. Hari tanpa sosial media mungkin hanya berjalan saat itu saja, tetapi memorinya akan bertahan lebih lama dari yang kukira.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun