Dunia pariwisata sungguh beragam. Berwisata tak lagi hanya 'pergi' ke wisata alam, wisata budaya, pun wisata kuliner. Kini seiring perkembangan pariwisata, muncullah sebuah tren berwisata ke destinasi wisata dark tourism.Â
Apa itu dark tourism? Menurut Stone (2006) dark tourism merupakan tindakan perjalanan dan kunjungan ke situs, atraksi, dan pameran yang memiliki kematian nyata atau diciptakan, penderitaan, dan sesuatu yang tampak mengerikan sebagai tema utama. Sementara itu, Lennon dan Foley (2000) menyebutkan bahwa dark tourism merujuk kepada daya tarik bagi wisatawan berupa kunjungan ke situs yang berhubungan dengan kematian dan bencana manusia.
Salah satu contoh destinasi wisata dark tourism yaitu Museum Sisa Hartaku. Museum yang terletak di lereng Gunung Merapi ini merupakan saksi bisu kedahsyatan erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 lalu. Pada awalnya, museum ini merupakan rumah milik warga, pemiliknya kemudian melakukan inisiatif dengan mengumpulkan sisa-sisa barang yang terkena erupsi kemudian menatanya kembali.
Ketika berada di sana, para pengunjung dapat melihat perabotan rumah yang meleleh, tulang-tulang hewan, hingga motor usang. Pada beberapa sudut, tertera pula tulisan-tulisan yang membuat trenyuh tentang ganasnya erupsi Gunung Merapi kala itu.
Beberapa pertanyaan mungkin muncul ketika mendengar wisata dark tourism tersebut. Mengapa pengunjung memilih untuk mendatangi tempat kelam dan penuh tragedi? Etiskah berwisata di tempat seperti itu?.
Sebagian pengunjung memiliki motivasi pada wisata tersebut sebatas keinginan untuk mengetahui suatu peristiwa yang telah terjadi, pun sebagian lain menganggap wisata tersebut bertujuan untuk memahami secara lebih dalam sejarah dari sebuah tragedi, atau motivasi-motivasi lainnya.
Terlepas dari beragamnya motivasi kunjungan para wisatawan, masalah etika berwisata belum terselesaikan. Pantaskah 'sisa-sisa' kesedihan orang lain dijadikan sebuah tujuan berwisata? Banyak sekali penelitian yang membahas terkait dark tourism, hal ini berarti bahwa ambiguitas mengenai dark tourism bukanlah sekadar permasalahan sepele.
Walau begitu, bisa saja dark tourism tersebut dijadikan oleh para pengunjung sebagai bentuk perenungan dan penghormatan kepada suatu tragedi yang telah terjadi. Namun sebenarnya, seperti menurut Kempa dan Strange, 2003, dark tourism sering menimbulkan pro dan kontra sebagai kegiatan relaksasi yang dicampur oleh tragedi. Lalu, bagaimanakah kita harus menyikapi fenomena dark tourism sebenarnya?
Referensi:
Essay, UK. (Desember 2022). Dark Tourism and Ethical Issues Tourism Essay. https://www.ukessays.com/essays/tourism/dark-tourism-and-ethical-issues-tourism-essay.php?vref=1
Gudang Info Kota Jogja. (Desember 2022). Museum Mini Sisa Hartaku I. https://www.gudeg.net/direktori/7741/museum-mini-sisa-hartaku-i-rumah-bapak-kimin.html
Stone, Philip R. (2006) A dark tourism spectrum: Towards a typology of death and macabre related tourist sites, attractions and exhibitions, Journal of Tourism Vol. 54, No. 2/ 2006, 145-160.
Lennon, J. dan Foley, M. (2000) Dark Tourism: The Attraction of Death and Disaster dalam Williams, Stephen (2009) Tourism Geography: A new Synthesis, (2nd edn.),Routledge, New York, 243, 244
Foto BY YSWITOPR
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H