Mohon tunggu...
Woro seto
Woro seto Mohon Tunggu... Jurnalis - menulis apa saja yang disuka

Konten kreator, Pengusaha kecil, suka nulis hal receh dan pengamat sosmed

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Setelah Menikah Tekanan Sosial soal Kekayaan Makin Tinggi?

6 Maret 2020   18:00 Diperbarui: 7 Maret 2020   05:21 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rumah idaman.| Sumber: Shutterstock/Leszek Glasner

blog.permatabogor.co.id
blog.permatabogor.co.id
Di kehidupan sosial yang memberikan standar selangit bagi pasangan yang sudah menikah pasti menjadi beban. Menikah harus punya rumah padahal gaji UMR. Ditambah harga properti Rp250-400 juta, berapa puluh tahun kita bisa memiliki sepetak rumah itu? 

Ditambah gaji UMR sudah habis dibelanjakan untuk kebutuhan pokok, bayar listrik, bayar air, bayar sampah, ditambah kalau ada teman-teman yang main ke rumah, ngasih ke orangtua, traktir keponakan, nongkrong di cafe, wisata kuliner, beli baju, kosmetik, beli es kopi susu, beli es thai tea dan boba bola lainnya. 

Belum lagi biaya traveling untuk ngasih feed di Instagram demi memanjakan mata netizen. Sepertinya harapan memiliki rumah hanya isapan jempol belaka.

Belum lagi ada tuntunan sosial untuk membeli mobil karena dianggap sudah berkeluarga. Menurut orang-orang sudah tidak zaman orang berkeluarga naik motor. Ya beli mobil lah. "Kasian ya kepanasan, kehujanan," kata netizen.

Bagi pasangan yang sudah disediakan rumah dan segala isinya, diberi mobil dan melanjutkan usaha orangtua, maka lain ceritanya. Terlebih mendapat warisan tanah di berbagai tempat, meneruskan dinasti politik orangtua, udah itu nggak usah ditanya bagaimana hidupnya. Mapan titik.

Tapi, yang bisa mendapatkan privilege itu hanya segelintir orang, kebanyakan hidupnya ya sama seperti saya. Udah ngaku aja. Hehehe. Hidup pas-pasan itu bukan aib kok.

Sebenarnya, tuntutan kaya bagi pasangan muda yang baru menikah itu sungguh menyesakkan dada. Alih-alih punya properti mahal, bisa makan, bisa hidup tanpa berutang saja sudah suatu kemewahan.

Ya kalau memang tujuan menikah untuk mengumpulkan kekayaan ya nggak masalah. Kalau menikah itu lebih mapan ya nggak masalah, lagi-lagi itu pilihan. Tapi sekali lagi, jangan paksakan pilihanmu kepada orang lain. Bahkan menilai hidup orang lain lebih menderita hanya karena ia tidak mengumpulkan kekayaaan sepertimu.

Bisa saja, seorang pasangan lebih suka kegiatan sosial, menyantuni anak yatim, menyukai gerakan cinta lingkungan, mencintai dunia literasi, lebih suka membantu orang lain, cinta hewan, cinta bermusik, yang nggak semua dihitung soal duit duit dan duit.

Menikah bukan berarti harus tambah kaya dan harus lebih mapan, tapi salah satu sarana menjadi manusia seutuhnya. Seberapa banyak peran kemanusiaan yang sudah dilakukan. Seberapa banyak sudah menebar cinta dan sayang untuk sesama. Kalau cinta ke pasangan udah nggak usah ditanya. Sudah lengkap dan utuh. Eheem.

Bagi kebanyakan orang hidup kaya adalah segalanya. Namun ada juga berpikir hidup nyaman dengan kondisi pas-pasan juga kemewahan. Melihat orangtua bisa bahagia dan makan enak dari gaji kita, melihat keponakan bahagia, teman-teman yang setia itu juga asset berharga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun