Mohon tunggu...
Woro seto
Woro seto Mohon Tunggu... Jurnalis - menulis apa saja yang disuka

Konten kreator, Pengusaha kecil, suka nulis hal receh dan pengamat sosmed

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Mengapa Setelah Menikah Tekanan Sosial soal Kekayaan Makin Tinggi?

6 Maret 2020   18:00 Diperbarui: 7 Maret 2020   05:21 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setahun yang lalu, sejak saya memutuskan untuk menikah, di benak saya dan suami adalah saling berbagi cinta dan memberikan dukungan. Kami sepakat untuk saling mengisi, mendukung dan menjadi teman hidup seutuhnya. So sweet kan?? Uhuyyy.

Kami menjalani hari-hari berumah tangga seperti itu. Kami baik-baik saja. Jujur, saya sangat bahagia dengan segala kondisi yang saya alami bersama suami. Jangan bayangkan hidup kami lurus, lancar bebas hambatan seperti jalan tol ya. 

Hidup kami juga penuh lika-liku dan perjuangan, tapi kami tetap bahagia. Karena ukuran bahagia itu tidak bisa didefinisikan dan disamakan dengan standar-standar lainnya. Jadi ukuran bahagia kami dengan ukuran bahagia kalian pasti sudah beda.

Di kondisi kami yang tinggal di rumah kontrakan ukuran 25 meter persegi itu dianggap tidak bisa memenuhi unsur kebahagiaan. Kata orang begitu, padahal kami bahagia betul lho. Ukuran kamar 3x3 meter yang cukup berdua hingga tidurnya saling mepet dan makin mesra. 

Ruang tamu, dapur, dan kamar mandi yang dempet-dempetan, bikin kami makin bahagia bisa saling lirik-lirikan dan melihat sosoknya. Lebih lagi, kalau dari kamar dan ingin pergi ke toilet tinggal jalan 6 langkah. Setelah itu dari dapur ke ruang tamu tinggal jalan 4 langkah. Menarik bukan? Hidup kami terasa sangat asyik dan nyaman.

Namun lagi-lagi ukuran kenyamanan seseorang berbeda-beda. Hidup kami yang menganut konsep minimalisme ini dikatakan memprihatinkan untuk sebagian orang. Mereka iba dan bahkan terang-terangan menyebut hidup kami tidak maju alias regres.

"Kok hidupmu makin susah sih habis nikah? Orang-orang itu makin maju, makin kaya, punya mobil, dan rumah dan segala printilannya, kok kamu enggak?" tanya orang yang habis makan boncabe level 30.

Dari pertanyaan itu, saya mulai berpikir. Bukan berpikir tentang kesengsaraan hidup saya. Tapi saya berpikir mengapa hidup harus dihitung dari pencapaian nilai-nilai materialis. Mengapa enggak dilihat dari sisi-sisi peran kemanusiaannya?

Sebelum nikah, saya menjadi penulis konten kreatif dan suami saya freelance. Setelah menikah pekerjaan kami sama, tak berubah. Dulu gajiku cukup untuk memenuhi segala kebutuhanku. 

Dari belanja baju, kosmetik, makan enak, nongkrong di cafe, beli buku, dan segala kesenangan lainnya. Sementara suamiku juga sama. Lantas bagaimana kita bisa memupuk kekayaan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya? Apa kami harus memelihara tuyul?

Katanya, hidup berdua, jadi gajinya lebih banyak kan? Itu matematika-nya gimana? Meski gaji berdua digabung jadi lebih banyak tapi kan biaya hidupnya habis lebih banyak karena hidup berdua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun