Mohon tunggu...
indonesia barokah
indonesia barokah Mohon Tunggu... -

Ungkapkan curhatan ide-ide yang menggumpal kental di kepala...

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tak Seharusnya Presiden Cuti untuk Kampanye

15 Maret 2014   15:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:54 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ajang pesta demokrasi pemilu tinggal menunggu detik-detik hari. Menuju hari pencoblosan, partai politik akan melakukan kampanye terbuka mulai 17 Maret 2014, seperti dijadwalkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai even organizer (EO) hajatan demokrasi terbesar di Tanah Air. Partai politik tentu saja harus menyiapkan berbagai strategi dalam melakukan kampanye, agar bisa menarik konstituen pemilik suara sebanyak-banyak dan hasil akhirnya memenangkan pemilu, termasuk mendatangkan petinggi-petinggi parpol yang diharapkan bisa mendulang suara yang signifikan. Celakanya, para petinggi partai kebanyakan adalah pejabat yang menduduki pucuk pimpinan birokasi di pemerintahan. Yang terjadi kemudian adalah, para petinggi parpol, sekaligus pejabat pemerintahan itu akhirnya, mau tidak mau meninggalkan kerjaannya mengurusi negara. Meskipun sudah ada aturan mengenai hal tersebut, tetap saja, rasanya tidak elok dan kurang patut. Cuti pejabat negara untuk mengurusi parpol terus saja terjadi sepanjang perhelatan pemilu di negara ini yang digelar tiap lima tahun. Termasuk pula presiden. Bagi seorang presiden, cuti untuk kampanye bahkan rasanya lebih menyakitkan lagi.Kenapa? Karena presiden sudah diberikan jatah kampanye cukup panjang. Bahkan SBY diberi waktu berkampanye hampir 10 tahun! Lho, kok bisa? Bukankah selama ini Pak Presiden mengurusi negara, dan nggak boleh berkampanye. Jangankan kampanye, untuk hal-hal yang di luar urusan kenegaraan saja, banyak kritikan. Di mana kampanye-nya? Begini, Presiden adalah jabatan yang melekat, embeded. Siapa pun presidennya, kapan pun waktunya, di mana pun tempatnya, seorang presiden akan selalu menjadi presiden. Nah, begitu juga dengan profil sang presiden, baik saat ini atau masa lalu, dan orang akan melihatnya dalam satu kesatuan. Artinya, orang akan melihat Megawati Soekarno Putri (saat menjadi presiden) lengkap dengan partainya, PDI Perjuangan. Begitu pula Susilo Bambang Yudhoyono, presiden kita saat ini. Publik juga akan melihat partainya--entah apa jabatannya, ketua dewan pembina atau ketua umum atau apalah. Apa pun yang dilakukannya, SBY akan selalu membawa nama partainya. Diakui atau tidak, dilakukan sengaja atau tidak, Presiden SBY--dan presiden sebelum-sebelumnya--sudah melakukan kampanye pada saat memimpin negara ini. Nah, tinggal bagaimana mengemas "kampanye" itu. Kemasan itu juga tidak selamanya vulgar dan terbuka sebagaimana dalam kampanye iklan di media massa atau kampanye terbuka, seperti "Ayo coblos partai saya", dll. Cukup service dan layani bangsa ini dengan sebaik-baiknya, maka niscaya itu akan menjadi kampanye yang paling efektif dari kampanye apa pun yang pernah ada. Bukti dari itu semua adalah saat pemilu 2009, di mana SBY terpilih lagi untuk kedua kalinya. Masa itu SBY beruntung memiliki wakil presiden yang terkenal dengan aksinya yang cepat, tegas dan to-the-point. Meskipun pada akhirnya kita tahu bahwa di balik kerja-kerja yang positif--di antaranya perjanjian damai GAM-NKRI, swasembada pangan (beras), penghematan BBM dengan konversi minyak tanah ke gas--tetap saja yang menuai nilai adalah presidennya yaitu SBY. Saat ini SBY bermain sendiri. Lini dukungan dari gabungan parpol yang digagasnya tidak membuahkan hasil, malah menjadi kontra-produktif. Tapi intinya, jika rakyat puas dengan kinerja seorang presiden, maka citra dirinya, parpolnya pun akan terdongkrak naik, sehingga tidak perlu seorang presiden untuk cuti berkampanye dengan harapan perolehan suara parpolnya ikut terkerek. Ini bisa jadi pelajaran berharga buat siapa pun yang bakal jadi presiden nantinya--sudah bisa dipastikan presiden adalah juga petinggi parpol. Kalau citra parpol turun, coba introspeksi lagi, apa yang sudah dilakukan selama memimpin negara ini. Jika rakyat terlayani dengan puas, maka otomatis bayarannya pun besar, yaitu kepercayaan publik. Lalu apa yang terjadi dengan partai besutan SBY saat ini, yang surveinya tak kunjung mendominasi?  Apakah masyarakat tak terpuaskan? Anda yang menilai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun