CHAPTER I
KULON & WETAN PROGO
-------------------------------------------------------------------------------
" Subuh ,Sri ! Bangun . Katanya Dul Kamid,kamu yang hari ini giliran ngangkuti bawang di Bringin Harjo. Mau sampai pasar jam berapa ?"
"Jam piro to Mbah?"
"apa bedanya jam berapa,yang penting subuh yo sebentar lagi angkot ke Pasar penuh anak anak SMP . Katanya kamu isin kalau ketemu teman SMP mu?"
Ponisri segera melipat selimut ,merapikan bantal dan menghambur ke Jeding . Ia menyanggul rambut nya . Menatap cermin retak yang menggantung di dinding bambu anyam kamar mandi. Wajahnya jadi ikut tak beraturan seperti pecahan cermin. Sejenak ia mendesah dengan tarikan nafas yang dalam sebelum tenggelam dalam guyuran air dingin .
05.12 pagi
"Mbah . Aku mangkat nggih ?'' Ponisri menggengam dan mencium punggung tangan Mbah Siwuh untuk pamitan. Ditatapnya seraut wajah tua nenek satu satunya dimana ia hidup bersama.
"mbok ,dandan sing genah ,Sri," kata Mbah Siwuh ketus.
"Dandanan kuli panggul ya begini semua mbah . Gimana lagi?"
"Pakai Lipen ,kek"
"Itu bukan kuli panggul . Itu kuli kasur . Amit-amit mbah"
Ponisri berjalan keluar pintu dan menutupnya pelan pelan. "salamualaikum". Suara salamnya terdengar tipis menyelinap didinding dinding bambu dusun Tlogo santen. Angkot sudah menunggu dibibir gang . Ponisri duduk di bagian paling depan disebelah kiri sopir angkot. Sesekali matanya melirik spion kaca mobil untuk bercermin dan membasahi bibir kering nya.
" Parti ,mana Sri ? gak ikut nguli ?" tanya sopir angkot .
"Parti ning Batam lek mo,ikut Mardiyah. Katanya pingin cepat kaya. Kerja di pabrik apa gitu''
"lha kamu apa ndak pingin cepat kaya?''
"siapa yang mau lek mlarat begini''
"lha itu,awakmu. Masih muda koq jadi kuli panggul"
"lhoh,jadi...kuli panggul pasar Bringinharjo itu khusus manula yang putus asa gitu ,maksudnya?"
Ponisri mengekerucutkan bibirnya. Bahasa yang ia sampaikan tentang rasa tidak setuju. Protes dan ketidak sukaan.
" yo kamu kan cantik,muda dan...manis gini ...."
"lek....!!!! jangan kurang waras lek " Ponisri menangkis tangan sopir angkot yang mencoba memegang pipinya. Lalu sebuah cubitan mendarat di paha sopir angkot.
" Lo tenan Sri. Kamu itu ndak pantes jadi kuli panggul."
" awas ! Sekali lagi megang,angkot gratis "
Ponisri membetulkan posisi duduknya . Ia menatap ke arah hamparan sawah dan sungai . Pikiran nya mencari keadilan tentang kemanusiawian dan kelayakan nasib. Salahkah nasib yang membuat hidupnya harus bergelimang kulit bawang dan aroma wortel busuk,dan semua aroma pasar. Diusia belia nya yang harus nya masih duduk di bangku smp. Haruskah ia menyalahkan kedua orang tua nya yang hanya mitos pernah ada dibagian hidupnya. Haruskah ia menguliti kesalahan Mbah Siwuh yang melahirkan anak cucu miskin dan hidup dianehan kemiskinan Kulon Progo. Sejenak ia tersenyum sendiri. Wajah Parti menggoda nya dengan keluguan masa kecilnya terbingkai di bayangan nya. Ponisri membayangkan Parti yang menuai hidup enak di Batam dan memanen rejeki dan modernisasi. Hidup dirantau dan mengenal banyak orang. Kemudian bingkai bayangan Parti berubah ke suasana pasar Bringin Harjo yang carut marut,panas dan saling sikut diantara sesama kuli panggul.
"Sri ! turun mana?"
Suara sopir angkot memecahkan lamunan nya. "Aku turun sini lek,matursuwun"
"woi....mbayar" teriak sopir angkot .
" Kan tadi sudah pegang pipiku dua kali. yo itu bayarane. Kalau mau gratis ,pegang pipi bude mu sana "
Sopir angkot yang bernama Lek Trimo hanya tersenyum geli. Ponisri beringsut memasuki jalan kecil penuh dengan para pedagang . Pasar Bringin Harjo belum begitu rame. Namun beberapa orang sudah mulai lalu lalang memajang dagangan . Dari jauh teman teman sesama kuli panggul sudah menyambut Ponisri dengan teriakan teriakan.
TO BE CONTINUED ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H